webnovel

Merencanakan Masa Depan

Setelah waktu beranjak malam, Alva langsung meluncur pulang ke rumah. Meskipun masih banyak pekerjaan yang sebenarnya masih harus Alva kerjakan, tapi kalau sudah menyangkut ibunya, semua itu tidaklah penting bagi Alva.

Tak lupa, laki-laki itu mampir ke toko brownies kesukaan ibunya. Dia memang selalu membawakan apa saja yang disukai oleh malaikatnya itu ketika pulang bekerja.

Namun, saat hendak kembali masuk ke dalam mobil, netranya tanpa sengaja menangkap siluet tubuh yang sangat di kenalnya.

"Bukankah itu calon sekretaris ku? Kenapa dia ada di sini? Siapa orang yang bersamanya itu? Kenapa dia terlihat tegang?" gumam Alva heran, "Tapi …. Ah, sudahlah! Aku malas kalau harus berdebat dengan wanita itu. Lagipula itu adalah urusannya sendiri. Mau dia berdebat atau saling Jambak pun dengan orang itu aku tidak peduli. Yang penting, dia besok datang ke kantor dengan penampilan yang sempurna," lanjut Alva yang lebih memilih melanjutkan perjalannya dari pada mengurusi urusan sekretaris barunya.

Laki-laki itu langsung tancap gas meninggalkan Rania yang entah sedang beradu mulut dengan siapa. Sepertinya, gadis itu memang sangat bar-bar hingga menyukai perdebatan. Buktinya tadi saja, sudah jelas gadis itu yang bersalah tapi tetap tidak mau minta maaf.

"Dasar gadis bar-bar! Bagaimana bisa Paman Kriss mengatakan kalau dia adalah kandidat yang pas untuk menjadi sekretaris ku? Sedangkan kelakuannya jauh dari kata anggun atau bintik-bintik kelakuan wanita baik-baik. Ah, benar-benar menyebalkan! Sepertinya aku harus kembali menguji kesabaranku untuk menghadapi sekertaris bodoh berikutnya," gerutu Alva penuh kekesalan.

Setelah beberapa saat berkendara, akhirnya Alva tiba juga di pelataran rumahnya. Laki-laki itu langsung turun dari mobil dengan bibir yang sudah merekah karena sang ibu yang sudah menyambut kedatangannya. Tak lupa, di tangannya laki-laki itu membawa brownies yang tadi dia beli.

"Akhirnya kamu benar-benar pulang, Sayang," ucap Marissa yang langsung memeluk anaknya.

"Tentu saja aku akan pulang, Bunah. Aku tidak mungkin mengabaikan keinginanmu. Lagipula, aku harus tidur di kantor itu bukan karena keinginanku. Aku harus menyelesaikan banyak sekali pekerjaan karena aku tidak memiliki sekretaris yang pas," keluh Alva begitu lesu.

"Bubund tahu, Paman Kriss menceritakan segalanya pada Bunund. Kamu sebaiknya jangan memporsir tenagamu, sayang. Bubund enggak mau kalau kamu sampai sakit," ucap Marissa mengingatkan sang anak agar tidak abai pada kesehatan.

"Iya, Bunah. Aku janji akan selalu menjaga kesehatanku. Aku juga tidak berminat kalau harus melihat Bunah sedih. Oya, aku membawakan brownies kesukaan Bunah," ucap Alva sambil menyerahkan brownie yang dia bawa.

"Wah, makasih ya, Sayang. Kamu selalu tahu apa yang Bunah mau," sahut Marissa buru-buru mengambil brownies dari tangan anaknya dengan penuh antusias.

"Hem, tentu saja. Aku kan, anaknya Bunah. Ya sudah, aku mandi dulu. Masih bau ini," pamit Alva sembari mengecup kening ibunya.

"Hem, oke. Jangan-jangan lama-lama! Ayah dan adikmu sudah kelaparan," ucap Marissa mengingatkan.

"Hahaha …. Tentu saja, Bunah." Alva melanjutkan langkahnya menuju lantai atas dimana kamarnya berada.

Semuanya memang masih sama dan tidak ada yang berubah. Hanya orang-orang nya saja yang beranjak menua.

Sedangkan Marissa yang melihat punggung tegap anaknya, mengulas senyum penuh haru. Tidak terasa anaknya sudah menjadi laki-laki tampan nan gagah sekarang. Rasanya, baru kemarin dia kabur dari sang suami tapi kini, bahkan hasil kejahilannya itu sudah pantas menimang bayi.

Saat sedang asyik-asyiknya melamun, sepasang tangan kekar melingkar di perutnya. Tak lupa kecupan manis pun dia terima dari orang itu.

"Apa yang kamu lihat, Sa?" tanya Rifki dengan wajah yang semakin laki-laki itu tenggelamkan di ceruk leher istrinya.

"Anakmu, By. Anakmu sudah pantas menimang bayi," jawab Marissa sambil terkekeh.

"Apa kau benar-benar merindukan menimang bayi di rumah ini?" tanya Rifki yang langsung membalikan tubuh istrinya.

"Ya, dan kamu tidak mengijinkan aku untuk memilikinya lagi, By. Padahal aku sangat merindukan tangisan malaikat mungil itu," keluh Marissa dengan bibir yang mengerucut.

Cup.

Dengan gemas Rifki mengecup bibir istrinya. Sudah tak aneh jika mereka memamerkan kemesraan seperti ini. Apalagi, Rifki si laki-laki berdarah dingin itu merupakan laki-laki bucin akut pada istrinya. Hingga di setiap kesempatan yang ada dia akan selalu menunjukan rasa cintanya.

"Aku akan meminta anakmu untuk segera menikah dan memiliki bayi, Hem."

"Siapa yang mau menikah dengannya, By? Sementara dia selalu menyingkirkan setiap wanita yang mendekat. Aku bahkan sering sakit kepala saat mendengar kalau anakku itu seorang impoten. Aku yakin jika dia tidak seperti itu," keluh Marissa yang benar-benar kesal karena anaknya selalu menolak setiap wanita.

"Sayang, Alva itu seperti diriku. Hanya saat menemukan wanita yang tepat maka dia tidak akan melepaskannya lagi. Dia seperti itu untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi kadal buntung. Kamu harus bersyukur karena anak kita tidak terjerumus pada hal yang seperti itu," ucap Rifki menenangkan istrinya karena dia tahu benar bagaimana tabiat sang anak.

"Aku tahu dia itu titisan mu, By. Tapi sampai kapan aku harus menunggu untuk mendapatkan menantu dan juga cucu?"

"Kita do'akan saja semoga jodohnya segera datang. Semoga, wanita itu bisa membuat anak kita jatuh hati dan memutuskan untuk segera menikah dalam waktu dengat ini," ucap Rifki dengan senyum yang begitu menenangkan.

"Huft, semoga saja, ya, By."

"Bunda sama Ayah lagi ngomongin apa?" celetuk Alvia dengan tatapan yang begitu tajam pada tangan ayahnya yang masih anteng melingkar di pinggang sang ibu.

"Sedang merencanakan masa depan," sahut Rifki sambil mengurai pelukannya.

"Ish, benar-benar tidak tahu malu. Kalian itu sudah lanjut usia. Masih saja seperti ABG," ketus Alvia yang memang selalu merasa cemburu jika kedua orag tuanya memamerkan kemesraan. Maklum anak bungsu. Jadi, dia selalu ingin menjadi yang utama mendapatkan kesempatan untuk bermanja-manja seperti itu.

"Makannya kau cepatlah mencari laki-laki yang pas, Via. Nanti kau juga akan merasakan bagaimana indahnya jatuh cinta setiap detik pada suamimu," sahut Rifki sambil mengacak gemas rambut putrinya.

"Ayolah, Ayah. Apa kau pura-pura lupa bagaimana kelakuan kakakku? Dia akan langsung memenggal kepala siapapun laki-laki yang berani mendekatiku," keluh Alvia dengan bibir yang mengerucut.

"Itu karena Abang sayang padamu, Dek. Dia tidak ingin jika ada buaya buntung yang berani mendekat pada adiknya. Kamu tenang saja, di saat yang tepat akan datang laki-laki yang tepat pula untukmu," ujar Marissa yang tahu kegalauan anak gadisnya.

"Bunda benar. Lagipula kalau aku nakal, bisa-bisa Kak Alva memenjarakan aku di rumah," sahut Alvia dengan bibir yang semakin mengerucut.

Melihat kekesalan di wajah putrinya, Rifki dan juga Marissa langsung tergelak. Memang begitulah Alva, selalu bertindak tegas jika itu bersangkutan dengan ibu dan juga adiknya.