webnovel

Ancaman Dari Natan

Saras hentakkan kakinya berkali-kali sambil menggerutu sendiri.

"Bodohnya aku. Harusnya aku tidak terlena dalam ciuman pria itu terlalu lama. Jadinya, sekarang Natan senewen itu akan memerasku."

"Saras! Saras Sayang! Kamu tidak apa-apa?" teriak Viana dan Livia sambil berlarian mendekati sahabat mereka.

"Pria bodoh itu punya bukti, Vili. Sekarang aku harus bagaimana?"

"Bukti apa? Kamu pasti sembunyikan sesuatu dari kami!" tagih Livia sudah berdiri tegak dan bersedekap.

"Jangan begitu, Li. Dengar dulu penjelasan dari Saras. Lihat, dia sudah begitu berantakan karena ulah pria tadi." Viana tampil dengan gayanya yang lemah lembut. Selalu mencoba jadi pahlawan di segala suasana yang mungkin saja bertentangan dengan apa yang barusan ia ucapkan, tiga menit sebelum suatu kejadian.

"Bukannya aku sudah cerita pada kalian? Aku mau pulang sekarang. Bilang saja pada dosennya kalau aku sakit!" sahut Saras sudah tidak ada motivasi lagi untuk dengarkan kuliah.

"Yah, sedih deh kalau tinggal kita berdua saja. Apa kita ikutan tidak masuk ruangan saja?" tanya Viana.

"Jangan aneh! Ayo, kita ikut kuliah biar bisa lapor ke dosen kalau Saras sakit," sahut Livia sudah tarik tangan sahabatnya.

Sedang Saras sudah langsung menuju tempat parkir, mencari mobilnya.

Ia ingin segera kabur dari sana dan segarkan pikirannya.

Setiap berjumpa dengan Natan, energi positifnya terkuras habis.

Sementara pemuda kaya raya itu tidak tinggal diam.

Ia tidak sabaran lagi untuk bisa tunjukkan pada kedua orang tuanya kalau ia serius untuk bisa dekat dengan Saras.

Dia langsung menuju kantor pusat dari bisnis mereka dimana ayahnya bekerja.

Natan langsung melenggang masuk saja, tanpa menunggu ijin dari sekretaris yang biasa atur jadwal pimpinan.

Meja sekretaris memang sedang kosong saat Natan tiba.

Pemuda itu dorong pintu geser yang kebetulan sedang tidak terkunci.

Natan harus berhenti sebentar untuk mencerna apa yang sedang terjadi di depannya.

Ia lihat kalau ayahnya sedang sibuk di atas meja kerjanya.

Tapi, bukan di depan laptop atau tumpukan dokumen tapi dengan tubuh seseorang. Tentu saja lawan jenis. 

Tapi Natan tidak begitu kenal dengan wanita itu.

Keduanya begitu asyik sampai tidak sadar kalau ada tamu yang sudah ada di depan pintu.

Wajah Natan sendiri memerah karena ia lihat betapa ayahnya begitu menikmati menyentuh gundukan membusung dari lawan mainnya sambil pejamkan matanya. Si wanita sendiri juga memeluk leher pebisnis ulung tersebut dengan mata yang merem dan melek tapi akhirnya membeliak karena sekilas bertatapan dengan netra Natan.

Natan bergeming. Si wanita yang langsung lepaskan pelukannya dan bebaskan tubuhnya dari dekapan kekasihnya. Ia rapikan rambut dan pakaiannya dan bergerak mundur dan menghilang ke balik pintu yang tersamarkan oleh rak buku.

Ayah dari Natan rapikan dasinya dan berbicara, masih dalam posisi membelakangi pintu masuk ruangannya, "Siapa?"

"Ini Natan, Papa."

"Kenapa kamu tidak telepon dulu sebelum datang?"

"Untuk apa, Pa? Supaya Natan tetap bisa lihat Papa yang selalu akan jadi teladan, bukan sebaliknya, seperti siang ini?"

"Ini juga salah satu teladan dari Papa yang harus kamu ikuti. Hiburan seperti ini adalah bagian dari pertahankan perkawinan agar tetap langgeng. Kamu hanya boleh punya satu orang istri tetapi kamu bisa terima pelayanan dan dibahagiakan oleh banyak wanita."

"Natan memang datang untuk bicara soal satu orang wanita. Natan mau Papa bertemu dengan teman Papa yang diplomat agar putrinya bisa dilamar untuk Natan."

"Jangan gegabah Natan. Kamu harus pelajari betul untung dan rugi dari setiap keputusan yang akan kamu ambil."

"Natan sudah pertimbangkan semuanya, Pa. Tenang saja."

"Apa nilai tambahnya untuk bisnis kita jika kamu menikah dengannya? Apakah dia bisa ambil peran nanti? Apa latar belakang pendidikannya? Orang tuanya memang terkenal tapi tidak berjiwa bisnis. Perhatikan dengan baik, calon istri yang mesti dipinang."

"Jadi, Papa tidak ingin penuhi permintaan Natan?"

"Papa belum yakin saja. Kamu harus suguhkan alasan yang lebih masuk akal. Papa anggap permintaan kamu tadi belum serius."

"Bahkan jika Natan ancam Papa untuk beberkan semua ulah Papa pada Mama pun, tetap tidak akan ubah pandangan Papa?"

"Mamamu wanita yang cerdas. Dia paham betul kalau posisi istri sah itu yang paling utama. Dia juga sudah tahu kalau Papa memang punya banyak kenalan rekanan bisnis wanita."

"Bagaimana dengan gundik yang disimpan dalam kamar rahasia di ruang kerja Papa?"

"Kalau pun kamu cerita padanya, dia tidak akan percaya. Sudah ada saling pemahaman antara suami dan istri. Ikatan yang tidak dimengerti orang lain termasuk anak kandung. Kamu tidak bisa ancam Papa, Natan."

"Kita lihat saja nanti, Pa. Keinginan Natan terkabul atau tidak."

Natan lalu tinggalkan ruang kerja Brata Santoso, salah satu pebisnis sukses di kota metropolitan itu.

Di kediaman keluarga Kusuma yang lengang.

Hadi Kusuma adalah ayah dari Saraswati. Seorang diplomat ternama yang sering dapat penghargaan karena kepiawaiannya cegah dan selesaikan konflik dalam hubungan politik dengan negara tetangga.

Pria itu sedang ada di ruang kerjanya. Ia pulang lebih awal karena akan ada pertemuan global di malam hari, dan ia lebih nyaman hadir dengan sambungan internet dari rumah.

"Saras! Kemari sebentar," teriak Hadi melihat bayangan putrinya yang baru saja lewat dengan tergesa-gesa. 

Saras terpaksa berbalik dan berjalan cepat penuhi panggilan dari Hadi.

Ia sudah ingin mendekam di kamar dan berteriak hingga puas karena kamarnya ada peredam suara. Tapi, harus ia urungkan karena rasa hormat pada orang tua.

"Ada apa, Pi?"

"Kenapa putri Papi jadi jelek karena manyun seperti sekarang?"

"Ada banyak tugas dan Saras masih belum bereskan karena buku sumbernya sudah tidak ada di perpustakaan, dipinjam habis oleh mahasiswa lainnya. Menyebalkan!" elak Saras panjang lebar.

Dia memang paling pandai merangkai kata, meski ia tidak selalu berbohong seperti sekarang.

"Kenapa tidak langsung beli dari internet saja?"

"Iya, Pi. Nanti Saras cari setelah ini. Ada yang mau Papi bicarakan?"

"Kenapa kamu kabur dari acara makan siang minggu lalu? Papi masih belum sempat dengar alasan yang jelas darimu."

"Oh, masalah itu? Saras tidak tahan saja jadi topik perbincangan semua orang. Saras bukan boneka, Pi. Sudah bukan jamannya lagi, orang tua jodohkan anak-anaknya."

"Kata siapa kami sudah jodohkan kamu. Tidak ada. Untuk apa?"

"Itu yang Natan bilang ke Saras. Dia bahkan sampai mengejar Saras di kampus hari ini. Sungguh pria pemaksa," omel Saras dibuat sedramatisir mungkin nada dan ekspresinya agar papinya terpancing dan timbul rasa muak pada Natan.

"Pemuda itu ternyata punya inisiatif juga. Tidak buruk sama sekali," puji Hadi.

"Papi! Saras tidak suka dijodohkan. Saras tidak mau jalankan suatu hubungan yang diatur-atur. Saras juga baru mau menikah kalau sudah berusia empat puluh tahun ke atas," teriak Saras kesal.

"Sudah! Sudah! Papi tidak akan bicara lagi. Sungguh kamu bertingkah seperti Papi telah lakukan kesalahan fatal padamu."

"Maafkan Saras, Papi karena berteriak tadi. Tapi, apa pun perkataan Natan, tolong papi dan mami tanyakan lagi kepada Saras. Sudah ada banyak masalah yang Saras hadapi di kampus terkait tugas kuliah. Jadi, Saras tidak ingin kuras waktu dan tenaga untuk meladeni pemuda manja itu."

Hadi menatap putrinya. Rupanya, upaya yang telah ia rancang bersama istrinya kemarin, gagal total. Harus coba cara lain lagi dengan pemuda yang berbeda.