webnovel

Jangan Beritahu Alasannya

Ada dua laki-laki yang sudah berhasil membuat Rahel jatuh. Merasa kekecewaan yang besar untuk kedua kali dalam hidupnya. Pertama Marcel Wijaya, sahabat kecilnya. Kedua Daniel Samudra, yang seharusnya selalu ada bersamanya. Tapi malah pergi tanpa meninggalkan kata. Sampai di bangku SMA, tepatnya di kelas dua belas, teror-teror aneh mulai menghampiri. Tersangka pertama yang Rahel yakini adalah Daniel. Bukan cuma itu saja, masih ada satu kebenaran yang belum terungkap, yaitu kepergian Daniel secara tiba-tiba dalam hidupnya. *** MOHON MAAF, CERITA MENTAH BELUM DIREVISI^^

kocakaja · 青春言情
分數不夠
13 Chs

Mantapkan Mental

"Bisa nggak sih kak, nggak usah ngeganggu. Ini gue lagi nikmatin coklat hangat, meresapi aromanya. Bukan kayak lo yang langsung ngehabisin punya gue."

Bukan Rahel jika dia tidak menggoda atau menjahili adiknya. Tingkah konyol itu sesekali muncul apabila hati sedang tidak baik-baik saja. Terkadang ingin sendiri, tetapi menjahili Nica juga menjadi salah satu solusi untuk menghibur diri. Contohnya seperti sekarang ini. Rahel menyahut. "Gaya lo, meresapi. Lo bilang apa tadi? Ngeganggu? Biasanya juga elo yang gangguin hidup gue."

"Halah, lo aja yang mulai pertengkaran, tapi nggak pernah mau ngaku."

Rahel menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan kiri sebelum membalas, "Lo bisanya nyalahin orang. Lo yang sering buat gue bad mood. Makanya gue galak kayak tokoh fiktif favorit lo."

Nica tak lagi menghiraukan. Dia justru melangkahkan kaki usai ke tempat pencucian piring menghabiskan minumannya. Mencuci gelas, dan menaruhnya di rak. Sambil melangkah menjauhi dapur dia melambai. "Terserah. Gue pamit. Siap-siap dulu. Bye!" serunya dengan langkah terburu-buru menuju kamar.

"Mau kemana sih itu anak?' Rahel duduk di kursi makan dan mengambil roti. "Kayaknya buru-buru amat," gumam Rahel sambil mengoleskan selai kacang di roti tawarnya. Tak berselang lama, Nica pun turun dan hendak memakai sepatu. Rahel yang telah menelan beberapa gigitan, menghampiri dan bertanya, "Lo mau ke mana, Nic?"

Nica menoleh, melihat kakaknya sekilas, dan dengan malas menjawab, "Kepo lo, Kak."

"Biasa aja," elak sang kakak sambil memerhatikan. "Tapi serius gue tanya sama lo, lo mau ke mana?" tanya Rahel mengulangi pertanyaan yang sama.

"Iyalah tanya sama gue, kan emang yang di rumah cuma gue sama lo. Otomatis lo tanya ke gue. " Tak ketinggalan, Nica menunjukkan cengiran kuda yang membuat Rahel melotot, ngeri juga melihat adiknya begitu.

Sambil bergidik ngeri, Dia menyahut, "Nggak usah mulai nyebelin deh, Nic. Jujur aja kenapa sih."

"Sama temen." Tangan Nica menggapai helm dan segera memakainya.

"Temen? Temen lo yang mana? Gue nggak pernah tahu kalau lo punya temen."

Memastikan tampilannya dulu dengan melirik sepatu dan memegangi pelindung kepala, Nica menatap Rahel. "Ngehina amat lo, Kak. Udah ah, gue berangkat," ucap Nica setelah merasa dirinya sudah rapi.

"Lo dijemput?"

"Enggak. Gue naik ojol. Bye," menyalami sang kakak lebih dulu, baru bergegas keluar halaman, karena sang driver sudah datang.

"Hati-hati, Yul. Bye...!"

"Siap, Kak Ros!" teriak Nica dari teras.

Nica menutup pagar rumah setelah dirinya sudah di luar halaman. Menaiki motor yang akan membawanya pergi.

Rahel yang melihat Nica dari dalam rumah hanya menggelengkan kepala. Tak habis pikir mengapa adiknya tidak ingin mengatakan siapa yang menemaninya pergi, dan ada keperluan apa yang membuat Nica mau keluar rumah tanpa Rahel.

"Enggak biasanya Nica kayak gini. Aneh. Apa dia udah punya gebetan? Kalau punya, tapi kok enggak cerita apa-apa ke gue? Biasanya tuh anak suka jujur. Apa mungkin itu anak belum siap cerita?" batin Rahel yang sedikit penasaran.

Baru saja Rahel ingin mendaratkan pantatnya di kursi ruang tv, mendadak ia urungkan karena ada suara ketukan yang berasal dari pintu rumah. Ia bangkit dari sana, secepat mungkin berjalan mengarah pada pintu. Melihat siapa yang datang berkunjung, dan ternyata Marcel.

"Marcel? Kenapa dia ke sini? Perasaan dia belum bilang kalau mau main ke rumah," kata Rahel membatin heran.

"Hai," sapa Marcel membuyarkan lamunan sahabat masa kecilnya itu. Rahel pun tersenyum ramah dan mengajaknya untuk masuk. "Permisi, ya, Hel."

"Oke. Santai aja kali, Cel. Lo duduk dulu di mana aja yang lo mau. Gue ambilin lo minum dulu." Dengan senang hati Marcel mengiyakan dan menempatkan dirinya di ruang tamu. Sembari duduk bersandar pada punggung sofa, ia memperhatikan Rahel yang berjalan menuju dapur.

"Gimana cara gue ngomong ke Rahel? Gimana kalau dia nolak gitu aja?" resahnya masih di batin. "Kenapa rasanya jadi rumit gini? Perasaan gue cuma mau bilang gitu aja. Coba gue tanya pelan-pelan aja kali, ya?" batin Marcel lagi mempertimbangkan apa yang hendak ia katakan pada Rahel.

Rahel yang sudah selesai membuat minuman, kini membawa dua gelas tersebut ke ruang tamu, di mana tamunya berada. "Ini Cel, diminum dulu," ujar Rahel seraya menyodorkan salah satu gelas ke Marcel. Marcel menerimanya dan berterima kasih karena Rahel telah repot-repot membuatkan minuman segar. "Iya, sama-sama. Ngomong-ngomong ada apa sampai lo tiba-tiba ke rumah gue? Kok nggak kasih tahu gue sebelumnya?" tanya Rahel yang benar-benar sudah penasaran dengan kehadiran Marcel yang tiba-tiba.

"Sorry, Hel. Gue memang nggak suka aja, bilang suatu hal yang menurut gue penting sama lo lewat ponsel. Enak ngomong langsung," terang Marcel tersenyum.

"Bukan gitu maksud gue, cuma … kalau lo mau main ke rumah itu bilang dulu. Biar kalau misal pas lo ke sini, gue ada di rumah. Gimana kalau misal gue pas pergi? Nanti kita nggak jadi ketemu, nggak jadi ngobrol …," jelas Rahel.

"Oke deh, besok-besok gue kasih tau lo dulu, kalau gue mau ke sini."

Rahel mengacungkan jempolnya seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Emang hal penting apa yang mau lo kasih tau ke gue?" tanyanya yang membuat Marcel mengusap-usap belakang leher.

"Itu Hel, gue mau nga--" ucapan Marcel terputus karena mendengar bunyi ketukan di pintu rumah Rahel yang cukup membuat dua orang itu kaget, dan menoleh ke arah pintu bersamaan.

Rahel bangkit tanpa basa-basi pada Marcel dan sedikit berlari. "Maaf mbak, mengganggu," kata seorang pria setelah melihat Rahel.

"Iya, pak. Ada perlu apa, ya?"

"Apakah benar ini rumah ibu Ribka Anastasia?"

"Iya Pak ini rumahnya, saya anaknya. Ada yang bisa saya bantu?"

"Begini Mbak." Si bapak mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya sambil melanjutkan, "Saya hanya ingin mengantarkan barang pesanan bu Ribka. Mohon tanda tangannya, Mbak." Lalu menyodorkan dua lembar kertas dan pena pada Rahel, yang langsung ditandatangani tanpa membaca. Rahel tahu bahwa itu memang bingkisan yang berisi pesanan Ana.

"Terima kasih. Permisi."

"Iya Pak. Sama-sama."

Rahel kembali ke dalam rumah setelah menutup pagar rumahnya, dan buru-buru masuk kembali. Begitu duduk, Marcel pun bertanya, "Siapa?" kemudian meneguk minuman dari Rahel.

"Nih. Pengirim barang, punya mamah." Ditaruhnya paket itu di atas meja. "Gimana tadi? Belum jadi ngomongkan lo …," lanjut Rahel yang masih ingat bahwa ucapan Marcel sempat terputus gara-gara barang sang mama datang.

"I-iya."

"Terus mau ngomong apa?"

"Gue mau ngajak lo."

Rahel diam beberapa detik sebelum ekspresi berlebihannya keluar. Tanpa ragu dia bertanya, "Ngajak apa? Nikah?"

Marcel yang mendengar itu jelas merasa tertantang. "Pengen?" tanya lelaki itu dengan tatapan menajam pada sepasang netra Rahel. "Gue nikahin sekarang aja gimana?"

"Enggaklah, bercanda gue. Serius amat sih lo."

"Kalau serius juga nggak masalah, Hel. Seratus persen gue siap nikahin lo sekarang."

"Gue yang belum siap." Marcel terkekeh melihat Rahel yang mulai tidak nyaman, terlihat dari mimik wajah gadis itu yang berubah total. "Terus ngajak apa nih?" tanya Rahel di saat hatinya mulai tenang melihat Marcel tertawa santai.

"Ngajak lo liburan. Masa iya, libur panjang nggak dimanfaatin? Sayang banget, 'kan kata lo?"

Rahel tertawa, menertawai dirinya yang berbeda dari teman-temannya. "Oh iya, ya? Gue nggak kepikiran buat liburan, untung lo ngingetin." Rahel berdeham sebelum menambahkan, "Baik amat lo mau ngajak gue berlibur."

"Iyalah. Gue kan sahabat lo."

"Iya," jawab Rahel seadanya.

"Oke. Nanti gue kasih tahu yang lain, ya."

Rahel mengangguk setuju. "Atau nanti lo buat aja grup, biar kita semua ngobrol di sana. Lebih enak ngobrol di grup, 'kan?"

Marcel terdiam sebentar, sebelum menyetujui, "Oke. Ya udah, gue balik dulu. Ada perlu sama temen gue. Anak-anak lain gue kabarin lewat grup ajalah," tambahnya seraya berdiri.

"Lah. Lo dateng cuma bilang gitu doang?" tanya Rahel yang ikut berdiri. Keduanya berjalan menuju pintu depan.

"Enggak, Hel. Gue niatnya mau main, tapi temen gue pada mau ngumpul. Gue nggak enak kalau nggak dateng. Apalagi temen deket gue. Nggak papa, 'kan?"

"Iya deh kalau gitu. Hati-hati, ya." Rahel dan Marcel berjalan menuju pagar rumah. Setalah melambai pada sahabat lelakinya, ia menatap Marcel sampai masuk, dan menaiki mobil. Begitu mobil yang dikendarai Marcel pergi, ia pun masuk ke dalam rumah.

***

Rahel kini tengah mencari halaman yang terakhir kali ia baca. "Duh, pakai acara lupa kasih pembatas lagi …," ucapnya sambil membolak-balik kertas itu. Sesekali membaca kalimat terakhir di bagian bawah, dekat nomor halaman.

Belum sempat ia menemukan, ponselnya berbunyi. Tanda ada pesan masuk. Ternyata dari Rika.

Rika : Gue ikut lo liburan. Kata Andi, dia diajak Marcel buat ikut. Jadi, kita berempat liburan bareng. Ntar agak sorean kita ketemuan. Lo gue jemput.

Rahel membalas, "Oke, ntar kasih tahu gue kalau lo udah mau jemput gue. Jangan mepet chatnya, biar gue bisa siap-siap dulu!"

Diletakkanlah gawai itu setelah membaca pesan terakhir dari Rika, dan beralih pada buku. Rahel melanjutkan aktivitas yang sempat terjeda. "Akhirnya," gumam gadis itu setelah berhasil menemukan halaman terakhir yang dia baca. Sudah ukup lama ia membaca novel, dan tertarik dengan satu kalimat. "Lupakan kelamnya masa lalu, mantapkan mental, meraih masa depan," kata di dalam buku tersebut yang membuat senyum Rahel terbit tanpa diduga. "Harus!" sambungnya berkomentar atas kalimat itu.

Waktu berjalan dengan cepat. Rahel memutuskan untuk tidur sejenak. Mengistirahatkan matanya yang lelah, setelah membaca novel cukup lama. Butuh waktu dua jam untuk dirinya menyegarkan mata kembali. Kini Rahel bersiap untuk mandi. Ia ingin pergi ke minimarket, membeli beberapa camilan untuk persediaan di rumah.

Rahel mengambil kunci motor di kamar, yang tergeletak di sebelah buku, tentunya sehabis menyelesaikan kegiatan bersih-bersih badan. Tak lupa untuk membawa dompet dan jaket, juga ponsel. Kini Rahel sengaja tidak memakai helm karena jarak dari rumah ke minimarket cukup dekat.

"Satu atau dua, ya? hm ...," gumamnya bimbang memilih susu kesukaannya. "Mending dua deh, buat ntar malem kalau pengen lagi," sarannya pada diri sendiri, sambil memasukkannya ke keranjang. Kembali melihat-lihat yang lain lagi, dan beberapa detik Rahel mendelik. "Lagi promo?! Untung nggak telat. Kenapa baru tahu kalau promo pas hari terakhir? Menyesal saya enggak belanja dari kemarin-kemarin," katanya lalu dengan cepat mengambil beberapa makanan ringan yang sedang diskon itu.

Sesudah membayar barang belanjaannya, Rahel segera menuju motornya. Naik, lalu menyalakan, dan menjalankan benda roda dua itu dengan kecepatan sedang. "Permisi," katanya saat melihat beberapa tetangga sedang mengobrol di depan rumah. Mereka membalas dengan senyuman dan anggukan. Baru saja ia mematikan mesin motor, tiba-tiba ponselnya berbunyi.

Rika : Gue otw ke rumah lo.

Rahel : Oke, gue tunggu.

Rika memberitahu bahwa ia sudah dalam perjalanan ke arah rumahnya. Gadis cantik itu pun menaruh barang-barang yang ia beli di ruang televisi. Dengan cepatan tangan, Rahel mengganti pakaian rumahan dengan jeans dan kaos berlengan pendek, ia memang tak ingin memakai pakaian yang heboh. Cukup kaos dan jeans itu yang membuat dia merasa nyaman.

***

Dua gadis itu berjalan memasuki resto pilihan Rika. Mencari tempat duduk yang sekiranya akan membuat pantat mereka merasa nyaman. "Pojok aja. Deket jendela lebih enak," usul Rahel.

"Boleh."

"Gue titip barang ya, mau ke toilet sebentar." Rahel tentu saja mengiyakan. Tak lama Rika datang, beberapa menit setelah Rahel selesai memesan makanan untuk mereka berdua.

Sambil menunggu pesanan mereka tiba, Rika sibuk memainkan ponsel. Sedangkan Rahel memandang penuh kagum pada langit senja yang akan berganti menjadi petang. "Permisi, ini pesanannya ...," ucap seorang pelayan yang datang lalu meletakkan satu persatu makanan serta minuman keduanya.

"Iya, Mbak. Terima kasih," kata Rahel menjawab perkataan sang pelayan.

"Makasih," balas Rika menambahi.

"Iya, Mbak sama-sama, ya. Permisi ...," jawabnya terdengar sangat sopan, tak lupa senyum cerah tercetak di wajah. Rahel dan Rika membalas dengan senyum juga anggukan yang tak kalah ramah.

"Sebentar lagi Marcel sama Andi dateng," sela Rika setelah meminum jus mangga pesanan Rahel untuknya.

"Ya udah, tunggu mereka sekalian aja. Nggak enak kalau makan duluan ...." Rahel yang melihat Rika sangat menyukai jus mangga, ia pun segera meminum jus tomat kesukaannya.

Rika lantas meletakkan sendoknya. "Ya udah deh." Padahal perutnya sudah lapar. Agak terpaksa membatalkan suapan pertamanya karena menghargai saran Rahel yang ingin menunggu dua lelaki yang belum juga datang.

"Ini kita mau ngomongin soal liburan, Rik?" tanya Rahel.

"Iya Hel. Lebih enak kalau ngomong langsung gini."

"Iya, sih. Berarti mereka udah tahu kalau kita bakal ngobrol di sini?"

"Udahlah. Gue yang bilang. Waktu gue ngabarin lo, gue juga ngasih tahu langsung ke mereka."

Rahel yang bingung, berpikir sejenak. Ia teringat akan pembicaraannya dengan Marcel pagi tadi. "Padahal Marcel udah gue suruh buat bikin grup aja loh, Rik."

Rika tampak kaget mendengar itu. "Kapan?"

"Tadi pagi, waktu ke rumah gue."

"Lupa kali."

Rahel manggut-manggut seadanya, dan berkata, "Mungkin." Namun, di dalam hati dia merasa aneh dengan Marcel. Tidak mungkin Marcel pikun, apalagi mereka masih muda, belum lanjut usia.

Andi yang sudah berada di hadapan mereka sekarang, menyapa, "Hai, Rik, Hel! Udah pada makan apa belum, nih?"

"Eh, udah dateng, Marcelnya mana?" tanya Rika yang tidak melihat Marcel di samping Andi.

"Pesen langsung dia. Terus gue disuruh nyusul kalian aja, ya udah gue ke sini duluan."

"Kok lo bisa tahu kita di sini?" tanya Rahel.

"Tahu lah. Besar segitu masa nggak kelihatan."

"Sialan lo!" sembur Rahel yang sudah ingin mengamuk. "Lo ngatain gue besar? Gemuk gitu maksud, lo? Atau mananya yang besar?! Kurang ajar, lo!"

"Eh.! Bukan gitu, Rahel! Maksud gue itu bukan gemuk, gini loh …," belum sempat Andi meneruskan ucapannya, Marcel memotongnya.

"Udah deh, nggak usah dipermasalahin. Rahel udah kesel tuh mukanya," potong pria berjaket hitam kulit dengan di dalamnya memakai kaos berwarna biru, lalu duduk tegak di sebelah Andi.

Andi menyikut lengan Marcel. "Ganggu orang ngomong aja lo. Gue udah mau jelasin biar nggak jadi salah paham."

Rahel berdeham sambil menatap Andi. "Udah. Gue biasa aja kok. Ayok, katanya mau ngobrolin liburan," sahut gadis itu dan kini dengan tangan menopang dagu.

"Iya." Marcel tersenyum kecil menatap perempuan itu. "Gue ada sih tempat yang seru. Antara pantai atau pegunungan, menurut kalian yang mana?" balas Marcel meminta pendapat teman-temannya yang malah sibuk mengurus makanan. Marcel maklum, mungkin rasa lapar sudah menyerang.