Memiliki orang yang dikagumi adalah hal yang sangat wajar. Siapapun memiliki idola, termasuk Ibuku. Semenjak 15 tahun yang lalu beliau sangat menyukai sebuah grup idola asal Korea yang bernama BlueSea. Fans mereka disebut Starfish dengan warna lightstick pink dan hijau. Mereka beranggotakan 5 orang dan salah satunya bernama Air (baca: Bahasa Inggris dari Udara) yang berasal dari Indonesia. Dialah anggota yang paling difavoritkan oleh Ibuku.
Semenjak debut Ibuku sudah menyukai mereka. Beliau yang sudah berkeluarga saat itu bahkan tidak malu untuk pergi ke konser bersama teman-temannya yang masih remaja. Kalau mereka konser di Indonesia tentunya. Karena, Ibuku masih cukup rasional. Daripada berfoya-foya ke luar negeri, Ibuku lebih memilih untuk bersabar menunggu saat idolanya datang.
Air adalah anggota BlueSea termuda. Dia baru berusia 16 saat debut bersama BlueSea. Mungkin karena dia manis dan menggemaskan, Ibuku jadi suka padanya. Bayangkan saja, padahal usia mereka hanya terpaut 12 tahun, tapi Ibuku memanggil Air dengan sebutan 'Anakku'. Gara-gara itu dulu aku mengira Air sebagai kakakku.
Kalau diingat-ingat aku jadi malu rasanya. Dulu aku selalu bertanya, "Bu, Kak Air kok gak pernah pulang ke rumah? Kak Air gak suka sama Astrid, ya?"
Untung saja Ayahku cukup pengertian. Kalau tidak, mungkin Ayah akan mengira bahwa Ibuku punya anak di luar pernikahan.
Omong-omong Astrid adalah namaku. Lengkapnya Ratu Astrid Agustina.
Aku lahir dua tahun sebelum BlueSea debut. Artinya usiaku sekarang sudah menginjak 17 tahun.
Setelah sekian lamanya waktu berlalu, banyak hal yang telah berubah. Salah satunya adalah Ibuku yang sekarang sudah tidak lagi menjadi fans garis keras BlueSea. Bahkan grup idola BlueSea juga sudah tidak ada lagi, karena sudah habis kontrak dengan agensi mereka.
Semua itu berawal dari lima tahun yang lalu. Secara tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas, agensi mereka, Leopard Ent. Mengumumkan di sosial media mereka bahwa BlueSea telah bubar.
Semenjak itu Ibuku jadi tidak mengikuti lagi informasi apapun tentang BlueSea. Meski begitu, beliau masih mendengarkan lagu BlueSea dari waktu ke waktu. Seperti pagi ini saat aku akan berangkat ke sekolah.
Pagi ini seperti biasanya aku sarapan dengan nasi bungkus yang dibeli di warung milik tetangga. Bukan berarti orangtuaku maupun aku sendiri tidak bisa memasak. Tapi, itu kami lakukan karena kami tidak sempat.
Keluarga kami tidak kaya, tapi semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku sekolah dan dua orangtuaku semuanya bekerja. Jadi, dengan adanya warung nasi bungkus di dekat rumah, kami sangat terbantu.
"Neo wa hamke…" lantunku di akhir lagu.
Aku bukan fans BlueSea. Tapi, karena keseringan mendengarkan lagu mereka, lama-lama aku hafal juga.
"Kalian tuh apa gak bosen lagunya ini melulu?" tanya Ayah sambil menyantap nasi bungkusnya.
"Aku sih bosen, Yah. Tapi, gak bisa ngelawan orangtua." jawabku.
Ibuku lalu keluar dari kamar dengan pakaian setelan blus warna hijau muda dan celana kulot hitamnya.
"Kan kamu tadi ikutan nyanyi. Berarti gak bosen, dong. Jujur aja lah." sindir Ibuku.
Tidak dapat dipungkiri, lagu-lagu BlueSea memang banyak yang enak didengar. Bisa dibilang lagu-lagu mereka adalah tipe lagu yang timeless. Jadi, mau didengarkan sampai dua puluh tahun kemudian pun tetap enak didengar.
"Baiklah, Ibu Suri. Hamba mengaku." ujarku.
Ingat, gaes! Ngelawan orangtua, terutama ngelawan Ibu itu dosa.
Dan begitulah pagi hari kami yang selalu dibuka dengan obrolan ringan. Sampai tiba saatnya kami untuk berangkat ke tempat tujuan masing-masing.
Saking biasanya, aku pun tidak mengira bahwa akan ada hal spesial yang terjadi.
…
Sesampainya di sekolah, aku langsung disambut dengan sebuah berita bahwa ada seorang guru baru yang akan mengajar di sekolah ini.
"Denger-denger orang tadi tuh yang bakal gantiin Pak Surya." ucap salah satu teman satu kelasku.
"Pak Surya beneran pensiun toh." ujar yang lainnya.
"Iya lah. Kan bulan lalu udah perpisahan."
"Berarti itu orang bakal ngajar di kelas kita dong! Pak Surya kan cuma ngajar Seni di Kelas IPS-1 sampai 4."
"Wah… gue jadi gak yakin bisa konsen."
"Sama, Bestie. Serius itu guru baru ganteng luar biasa."
"Bentar! Kesenian kan hari ini, berarti kyaaa!"
"Kyaaa!"
Selayaknya perempuan pada umumnya, mereka begitu heboh membicarakan guru tampan yang baru bergabung di sekolah ini. Wajar, sih. Karena, tidak banyak guru muda laki-laki yang ada di sekolah ini. Adapun yang masih muda rata-rata perempuan.
Aku sendiri juga melihat guru baru itu dari belakang. Entah seperti apa wajahnya, tapi dari postur badannya saja siapapun bisa mengira bahwa dia adalah pria yang tampan atau setidaknya gagah.
Jujur saja aku juga penasaran. Namun, kakinya terlalu panjang sehingga langkahnya begitu lebar dan cepat. Aku yang tidak terlalu tinggi ini pun kesulitan mengikutinya. Ditambah lagi di belakangnya juga sudah banyak siswi-siswi lain yang mengikutinya.
"Lo lihat guru baru kita gak? Sumpah ganteng banget, njir! Kayak artis Kpop!" seru Friska teman sebangkuku dengan semangat.
"Iya kah? Kayak siapa?" tanyaku sambil melepas kacamataku untuk dilap.
Friska meletakkan jari telunjuknya di jidat, memperlihatkan bahwa dia sedang berpikir.
"Itu loooh… siapa tuh namanya yang di BTS?"
"Yang mana? Ada tujuh ganteng semua."
Well, Friska itu bukan Kpoper. Paling dia cuma tahu BTS saja tanpa mengenal membernya. Tidak seperti Ibuku yang setidaknya hafal semua nama artis di bawah naungan satu agensi.
"Pokoknya yang itu lah!" Friska menyerah.
Kebuntuan otak Friska diiringi dengan bunyi bel masuk. Aku pun tidak melanjutkan lagi pertanyaanku dan masih fokus membersihkan kacamata.
"Eh, jam pertama kan kesenian."
Hm… ternyata masih ada yang ingin melanjutkan obrolan tentang guru baru itu. Mari kita lihat sampai kapan topik ini akan berlangsung. Tapi, sebelum itu kami harus bersiap menghadapi pelajaran pertama terlebih dahulu.
'Ckreak'
Pintu kelas pun terbuka, memunculkan seorang pria tua berusia 50 tahunan yang tidak lain adalah guru Sosiologi yang seharusnya mengisi di kelas sebelah.
"Ini kelas XI IPS 2. Silakan, Pak Erlangga." ucap kepala sekolah itu mempersilakan.
"Baik, Pak. Terima kasih." sahut suara pria yang lain.
Suara pria itu terdengar jauh lebih muda dari suara guru sosiologi tadi. Jadi, pemiliknya pun pasti juga lebih muda.
Kemudian, masuklah pria pemilik suara tadi. Dengan kaki jenjangnya dia berjalan ke meja guru. Pada saat itu pula, terdengar suara nafas yang tercekat dari para siswi di kelas. Ada pula yang secara terang-terangan berteriak dengan histeris.
Walau begitu, aku yakin sekali bahwa tidak ada hal berbahaya yang tengah terjadi. Entah apa yang tengah terjadi, aku yang penasaran pun memasangkan kacamata minus 7-ku supaya bisa melihat dengan lebih jelas. Baru setelah itu aku paham apa yang sedang mereka gegerkan.
Guru baru itu benar-benar tampan.
"Tunggu! Kok aku kayak kenal, ya?" gumamku lirih.
Pria tampan itu mengambil sebuah spidol dari laci meja guru, lalu menggunakannya untuk menulis di papan tulis. Dia tuliskan namanya di sana.
"Selamat pagi. Perkenalkan nama saya Erlangga Adi Dharma. Saya yang akan menggantikan Pak Surya untuk mengajar Kesenian. Mohon kerja samanya ya, Anak-anak."
Tuh kan! Suaranya saja kalau dipikir-pikir familiar sekali dan cocok dengan wajahnya. Tapi, aku pernah ketemu di mana, ya?