webnovel

Apakah Itu Dia?

 Agaknya aku paham kenapa beberapa temanku mengataiku 'lemot' alias lemah otak. Aku tidak bodoh, hanya saja sedikit… em… sangat terlambat dalam berpikir. Aku juga lemah dalam hafalan maupun keterampilan lain yang menggunakan ingatan. Salah satu buktinya adalah hari ini.

Setelah sekian jam lamanya aku mencoba mengingat-ingat mirip siapa guru baru itu, ingatan itu baru datang saat aku sudah sampai di rumah sore itu.

Yang mengingatkanku adalah sebuah poster grup idola pria yang terpampang di dinding ruang keluarga. Ada lima orang yang berpose di sana, namun hanya satu yang menarik perhatianku.

Air.

"Wah! Beneran mirip banget!" pekikku.

Ini baru dugaanku saja. Untuk memastikannya, aku segera membuka laptop dan mencari beberapa video yang berkaitan dengan BlueSea. Kali ini kuperhatikan sungguh-sungguh orang yang kubilang mirip dengan guru kesenianku itu.

"Tapi, masa, sih?"

Pertanyaan baru pun muncul. Pasalnya Air itu memang orang Indonesia, tapi kan bisa saja Pak Erlangga hanya mirip. Umurnya juga…

Sekarang aku cari biodata Air di internet. Untuk ini aku mendapatkan informasinya langsung dari Pak Erlangga saat salah seorang temanku menanyakan umurnya padanya. Beliau menjawab bahwa saat ini beliau berumur 30 tahun. Sementara itu, Air…

"Lah… beneran sama, dong! Tapi, nama aslinya di sini tertulis bukan Erlangga Adi Dharma. Malah Bayu Aji. Gimana, sih? Tapi mirip banget sumpah." gumamku.

"Siapa yang mirip?" tiba-tiba Ibuku datang. Rupanya Ibu juga sudah pulang bekerja.

"Itu, Bu. Di sekolah tuh ada guru baru, terus aku ngerasa kalau beliau tuh miriiiiip banget sama Air." jawabku jujur.

Tidak ada yang perlu ditutupi. Toh paling-paling Ibuku cuma akan excited sebentar, lalu normal lagi. Bagaimanapun Ibuku bukanlah remaja histeris yang suka kepo kalau ada berita apapun tentang idolanya.

"Beneran? Wah… Ibu jadi penasaran." responnya.

"Mau ku kasih lihat fotonya?" tawarku.

"Ih! Ngambil foto diam-diam itu gak sopan!" hardik Ibu.

"Ghaaah…" aku mendengus. Jawabku, "Bu, beliau literally pasang foto sendiri di profil e-mail-nya!"

Kuperlihatkan kontak info Pak Erlangga yang pagi tadi beliau bagikan. Beliau memang hanya membagikan alamat e-mailnya pada kami, bukan akun medsos pribadi maupun Whatsapp. Dengan wajah seperti itu, tidak mengherankan kalau beliau enggan berbagi kontak yang lebih pribadi dengan muridnya. Tapi, entah dengan rekan-rekan guru. Mungkin beliau memberikan kontak pribadinya juga.

"Lah, iya mirip, Sayang. Tahi lalat di lehernya juga mirip."

Inilah perbedaanku dengan Ibuku yang sangat mencolok. Aku lemot, sedangkan Ibuku sangat teliti. Hal sekecil tahi lalat pun tidak luput dari perhatiannya.

"Jadi pengin lihat langsung. Kangen banget Ibu sama anak Ibu yang ini."

Lagi-lagi Ibuku menyebut Air sebagai anaknya. Jadi teringat masa-masa kelam dulu. Aku sungguh-sungguh mengira bahwa Air adalah kakakku dan membanggakannya di TK. 

Ah… kenapa hanya ingatan menggelikan yang bisa kuingat!!?

"Tapi nih, yaa. Menurut Ibu kalau ini beneran Air, kita harus menghormati keputusan dia. Toh sekarang kan dia guru, bukan idol lagi. Jadi, Ibu pasti gak bakalan ungkit-ungkit soal Air lagi di depan dia. Mending semangatin aja dari jauh."

Aku mengangguk setuju. Lagipula aku cuma penasaran saja. Kalaupun Pak Erlangga cuma mirip pun apa peduliku?

"Eh, omong-omong gimana reaksi di sekolah. Dia pasti populer, ya?" tanya Ibuku kemudian.

"Suwangaaadh!" sahutku lebay.

Kata populer bahkan tidak sepadan dengan apa yang terjadi selama di sekolah tadi.

"Mau ke toilet aja gak bisa. Kasihan banget lah pokoknya." lanjutku.

"Derita orang ganteng. Ckckck…"

Begitu mengatakannya, Ibuku langsung pergi ke kamarnya sendiri. Agaknya Ibu tidak begitu tertarik untuk melanjutkan pembicaraan tentang Pak Erlangga.

Kepopuleran Pak Erlangga pun terus berlanjut ke hari berikutnya. Banyak sekali murid perempuan yang terus mengikutinya untuk sekedar menyapa maupun berpura-pura tanya tentang pelajaran. Ke manapun dia pergi, selalu ada sedikitnya 5 orang murid perempuan yang mengekorinya. 

Aku yang melihatnya terpaksa mundur, saking enggannya bergabung. Padahal seperti hanya mereka, aku juga merasa penasaran dengannya. Apalah daya, aku terlalu lemah untuk menerjang badai ikan teri yang mengelilingi Pak Erlangga.

Tidak hanya dikelilingi penggemar, meja kerjanya di ruang guru juga selalu penuh dengan hadiah dan surat dari penggemar. Akibatnya, baik Pak Erlangga pun mendapatkan protes dari guru yang lain. Beliau bahkan ditegur Kepala Sekolah, karena dianggap sering menimbulkan keributan.

Beberapa bulan setelahnya pun kepopuleran Pak Erlangga tidak juga surut. Apalagi kemudian Kepala Sekolah menunjuknya sebagai pembina ekskul paduan suara. Karena itu, ekskul panduan suara yang sebelumnya dipenuhi anggota bayangan pun menjadi salah satu ekskul paling populer dengan anggota terbanyak hanya dalam waktu seminggu. 

Lalu, semenjak itu ruang ekskul paduan suara digunakan sebagai berkumpulnya fan club Pak Erlangga yang disebut dengan 'Erlang's eyes'. Nama tersebut diambil dari nama seorang dewa perang dalam Taoism yang memiliki mata ketiga, Er Lang Shen.

Kepopuleran itu lama-lama tidak hanya menimbulkan hal baik. Ada juga hal buruk yang menimpa Pak Erlangga. Misalnya saja penguntitan yang dilakukan oleh beberapa siswi. Untungnya Pak Erlangga masih selamat hingga saat ini. Namun, bukan berarti kesialan Pak Erlangga sudah selesai sampai di situ.

Kejadiannya dimulai satu tahun setelah Pak Erlangga menjadi guru di sekolah ini. Tiba-tiba, tidak ada petir ataupun hujan, salah satu temanku yang bernama Gina mengatakan sebuah berita yang begitu mengguncang.

Dengan suara yang serak dan sesenggukan, Gina berkata, "Aku hamil anak Pak Erlangga…"

Aku dan seorang temanku lagi, Windy namanya, pun tersentak kaget. Secara kompak kami membulatkan mata dan saling memandang satu sama lain saking sulitnya kami untuk percaya.

Namun, dilihat dari sikap Gina sekarang, sepertinya Gina benar-benar serius. Tapi, jujur saja aku sangat merasa ragu untuk langsung percaya pada berita yang bagaikan petir di siang bolong itu.

"Kok bisa? Sejak kapan kalian berhubungan seserius itu?" tanya Windy dengan penuh perhatian.

"Hiks… kami mulai pacaran diam-diam sejak dua bulan yang lalu. Pak Erlangga bilang kalau aku gak boleh bilang siapa-siapa tentang hubungan ini."

Sebagai teman, aku juga ikut menunjukkan kepedulianku.

"Apa kamu sudah kasih tahu ini ke Pak Erlangga?"

Sambil terus menangis, Gina menggelengkan kepalanya.

"Aku gak berani…" sahutnya.

"Mau kami bantu? Gimanapun beliau kan calon Ayah dari anak kamu." kataku.

Lagi-lagi Gina menggelengkan kepala. Ujarnya, "Gimana kalau dia gak mau ngaku dan nolak keberadaan anak ini?"

Gina yang terus menitikkan air mata terdengar cukup meyakinkan. Tapi, entah apa itu, aku merasa ada keganjilan di sini. Pasalnya selama mengenal Gina, gadis itu selalu memiliki cerita yang mengada-ngada. Seperti misalnya, bahwa dia pernah mengaku berpacaran dengan seorang artis Ibu Kota. Tapi, setelahnya dia ketahuan berbohong. Bahkan saat itu Gina sampai mengedit banyak sekali foto untuk dijadikan bukti kebersamaan mereka.

Waktu itu Gina mengatakan bahwa dia hanya bercanda. Kami berdua pun menganggapnya tidak serius. Jadi, meskipun kesal ditipu, aku dan Windy masih tetap berteman dengannya.

Kalau kali ini juga seperti itu, Pak Erlangga jelas akan sangat dirugikan. Sebagai murid yang baik, aku tidak ingin semua itu terjadi. Sepertinya kali ini aku harus menerjang barisan para ikan teri itu.