webnovel

Petaka

Vera, yang sebelumnya tampak tertidur pulas, segera terbangun oleh tangisan itu. Dia memicingkan matanya dengan kebingungan, mencoba memahami apa yang terjadi.

"Oh, ada apa dengan Mia?"

Gumam Vera dengan nada khawatir.

"Entahlah, Nyonya. Tumben Mia rewel seperti ini."

Emma berusaha menenangkan bayinya, tetapi kali ini Mia tampak tidak mau diam.

Elio yang sedang mendengarkan musik dengan headset hampir tertidur, kini terganggu dengan kegaduhan di dalam mobil. Elio mencabut headset-nya, matanya penuh kebingungan.

"Ada apa dengan Mia? Apakah dia sakit?"

Emma menggeleng, wajahnya penuh kekhawatiran.

"Aku juga tidak tahu, Tuan. Mia tidak mau diam sama sekali."

Mia terus menangis dengan keras, tangisannya semakin membuat kegelisahan mereka bertambah. Mereka semua merasa khawatir dan bingung oleh perilaku yang tidak biasa dari bayi kecil itu. Tanpa jawaban yang jelas, tangisan Mia semakin membesar.

"Mungkin dia haus, Emma."

Kata Vera dengan nada cemas, matanya penuh perhatian pada bayi yang semakin gelisah.

"Mungkin juga, Nyonya. Mungkin dia lagi haus."

Dengan penuh kehati-hatian Emmamencoba menenangkan bayinya yang semakin gelisah.

Emma kemudian membuka sedikit bajunya untuk menjangkau payudaranya yang sangat besar, mempersiapkan diri untuk menyusui Mia.

Namun, saat ia mencoba menawarkan payudaranya pada Mia, bayi itu menolak dengan keras.

Ekspresi kebingungan semakin tergambar jelas di wajah Emma saat ia mencoba lagi untuk menawarkan payudaranya, tetapi Mia tetap menolak.

"Ayo, netek, sayang! Kenapa Mia nggak mau netek?!"

Emma merasa frustasi karena tidak bisa menenangkan Mia seperti biasanya.

"Kok, tumben Mia jadi rewel banget, Emma?"

Petrus yang sedang mengemudi juga merasa gelisah karena bayinya yang sedang berada di pangkuan Emma, istrinya, terus meronta dan menangis tidak mau diam meskipun akan disusui oleh Emma.

"Petrus, saya mohon, tetaplah fokus berkendara dengan hati-hati. Biarlah saya dan Vera membantu Emma untuk menenangkan Mia."

Ujar Elio dengan suara yang penuh pengertian, mencoba menenangkan Petrus.

"Baik, Pak Elio."

Petrus mengangguk singkat, namun kerisauan masih terpancar dari ekspresi wajahnya.

Tangisan Mia masih terus berlanjut, dan Emma tampak semakin cemas.

"Duh, kenapa ini? Biasanya Mia tak pernah seperti ini."

Ujar Emma dengan suara gemetar, mencoba mencari solusi.

Namun petaka terjadi, tiba-tiba tampak sebuah mobil mewah hitam melesat dengan kecepatan melawan arah. Petrus merasakan detak jantungnya mempercepat ketika ia melihat mobil itu mendekat dengan kecepatan mengerikan.

Dengan refleks yang tajam, Petrus memutar setir, berusaha menjauh dari mobil mewah itu yang tak terkendali. Namun, ruang untuk manuver semakin menyempit, dan dalam sekejap, kecelakaan tak terhindarkan.

Suara metal beradu dengan kekuatan yang mengerikan memecah keheningan, diikuti oleh suara kaca mobil yang pecah. Tubuh mereka terguncang hebat oleh kekuatan benturan di dalam mobil. Elio, Vera, Emma, dan Mia terperangkap ke dalam serentetan gerakan yang penuh kekerasan.

Mobil mereka terhempas ke samping, memutar-mutar sebelum akhirnya menabrak pembatas jalan dan berhenti dalam deretan suara yang menyeramkan.

Ketika kedua mobil itu telah bertabrakan dengan kondisi yang sangat mengerikan, suasana mencekam seketika menguasai jalan yang sunyi. Pecahan-pecahan kaca berserakan di atas aspal, asap hitam mulai mengepul dari kap mesin yang rusak, bau bensin yang tajam menyengat hidung, menciptakan rasa mual yang mengganggu di perut.

***

Saat Elio perlahan membuka mata, dia merasakan sentuhan lembut sinar lampu yang menyilaukan dari langit-langit ruangan. Matanya terasa berat dan kabur karena pengaruh obat bius yang masih tersisa dalam tubuhnya.

Seketika Elio terkejut ketika dia membuka mata, menyadari bahwa dirinya terbaring di tempat tidur rumah sakit. Dia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, dan saat ingatannya kembali, kekhawatiran tentang keadaan Vera, istrinya, menghantuinya. Dengan tergesa-gesa, dia mencoba bangkit, mengabaikan rasa sakit yang menusuk-nusuk.

Seorang perawat yang berada di sebelahnya mencoba menenangkan Elio.

"Tenanglah, Tuan. Anda masih dalam proses pemulihan. Anda harus istirahat."

Namun, kata-kata itu seakan tak didengar oleh Elio. Dengan perasaan panik yang semakin memuncak, ia menolak untuk beristirahat. Dengan susah payah, ia mencoba bangkit dari tempat tidur, merasakan nyeri yang menusuk setiap gerakannya.

"Tuan, Anda tidak boleh bangun! Anda masih dalam kondisi yang rawan."

Ujar perawat dengan nada yang agak ketegangan, mencoba mencegahnya.

Tapi Elio tidak mendengarkan. Matanya masih mencari Vera dengan keputusasaan yang tak terkendali.

"Saya mau mencari istriku, saya harus memastikan dia baik-baik saja."

Perawat mencoba meredakan kepanikan Elio.

"Kami akan memberitahu Anda segera setelah kami mendapat informasi tentang istri anda, Tuan. Anda harus tenang dan beristirahat."

Namun, tekad Elio tak tergoyahkan. Dengan langkah goyah, ia memaksakan diri untuk berdiri, mengabaikan rasa sakit yang melilit tubuhnya. Dalam keadaan yang kacau dan kekhawatiran yang tak tertahankan, ia melangkah keluar dari kamar, memasuki lorong rumah sakit yang penuh dengan ketidakpastian.

"Tuan, tolong berhenti, Tuan! Kondisi Tuan masih belum baik."

Meskipun perawat terus berupaya untuk mencegahnya, tetapi Elio tetap tidak bergeming.

Dengan tatapan penuh keteguhan, dia memanggil dua orang perawat yang kebetulan lewat,

"Permisi, saya korban kecelakaan siang tadi. Dimana keluargaku yang lainnya? Aku mohon tunjukkan!"

Kedua perawat itu dalam keadaan bingung, suara hati Elio dipenuhi oleh kecemasan yang mendalam akan keadaan Vera dan keselamatan anggota rumah tangganya.

"Saya mohon, tolong beritahu saya di mana mereka berada. Saya tidak bisa duduk diam jika belum mengetahui kondisi mereka!"

Pinta Elio, suaranya terdengar gemetar karena ketidakpastian.

Para perawat saling bertatapan, terlihat ragu untuk memberikan informasi kepada Elio. Namun, setelah beberapa momen yang tegang, salah satu dari mereka memberanikan diri untuk memberi arahan.

"Baiklah, Tuan. Ikuti kami."

Ajak salah satu perawat dengan nada cemas.

Kedua perawat itu membawa Elio masuk ke dalam sebuah kamar. Dengan langkah gemetar, Elio memasuki ruangan yang berdesakan dengan peralatan medis dan berbagai bau obat-obatan. Saat Elio memandang ke sekeliling, dia terkejut melihat Emma terbaring di atas ranjang, wajahnya penuh dengan bekas luka dan balutan perban.

"Emma."

Gumamnya dengan suara yang terengah-engah.Emma, yang awalnya terpejam, membuka matanya perlahan ketika mendengar suara Elio.

"Tuan Elio..!" 

Ekspresi keterkejutan dan kebahagiaan menyelinap ke wajah Emma yang lelah saat dia melihat Majikannya itu. 

"Tuan! Tuan Elio... selamat." 

Ucap Emma dengan suara yang penuh haru, sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.Elio melangkah mendekat, mengabaikan rasa sakit yang masih menusuk tubuhnya, dan meraih tangan Emma dengan lembut. 

"Ya, aku selamat, Emma."

Emma menangis tersedu-sedu saat dia merasakan kehangatan tangan Elio. 

"Aku khawatir pada Tuan Elio. Terima kasih Tuhan, Tuan Elio selamat."

Keduanya saling berpelukan, dengan tangisan-tangisan haru yang semakin mendominasi suasana, merasakan kelegaan dan kehangatan satu sama lain. Meskipun tubuh mereka terluka, kebersamaan mereka menjadi sumber kekuatan di tengah musibah yang menyelimuti mereka.

Elio duduk di samping ranjang tempat Emma terbaring, mencoba menguatkan hatinya yang sedang menangis dengan erat menggenggam tangan Emma. 

"Semua akan baik-baik saja. Aku yakin itu."

Elio merasa getar kekhawatiran yang sama, tetapi sebagai seorang majikan, dia merasa bertanggung jawab untuk memberi kekuatan pada Emma.Emma menangis lebih keras, mewakili kecemasan yang memenuhi hatinya. 

"Dimana Petrus, Tuan? Bagaimana kondisi Nyonya Vera dan Mia?"