webnovel

Tak ingin pulang

Awan gelap memenuhi langit malam, matahari mulai berganti shift dengan bulan, jalan-jalan mulai terasa sepi dari kendaraan.

Seharusnya jam malam di pergunakan sebagai waktu untuk beristirahat sebagai mana yang banyak orang lakukan, tapi berbeda dengan Rafan yang masih saja sibuk di depan laptop yang menampilkan tulisan dan bagan-bagan lengkap dengan rumus-rumus bisnis.

Lembur adalah salah satu jadwal yang tak pernah luput dari jadwal kerjanya, walaupun lampu-lampu mulai di matikan, hanya lampu ruangan Rafan yang masih betah menyala, pria itu kini tengah fokus membaca juga menghitung rumus-rumus tersebut, ditemani secangkir kopi hitam Rafan begitu fokus bekerja.

Tok... Tok...

"Masuk!" ucap Rafan begitu dia mendengar ketukan pintu, dia berhenti sesaat dari pekerjaannya dan melihat kearah pintu ruang kerjanya yang terbuka menampilkan wajah Javas.

"Sudah jam sepuluh Pak," ucap Javas yang kini berdiri di depan pintu ruangannya tanpa sedikitpun berniat masuk.

Rafan membenarkan letak kacamatanya. "Oke..," gumamnya dengan kepala yang sedikit terangguk, Javas lalu menutup kembali pintu ruangan bosnya setelah mendengar jawaban Rafan.

Rafan menghelah nafas panjang sambil bersandar di bangku kerjanya, bahu tegapnya luruh dengan kepala tertunduk Rafan memijat tulang hidungnya lalu melepaskan kaca matanya, mungkin karena terlalu lama memandang layar laptop membuat mata dan kepalanya jadi terasa capek sekali.

Kenapa jam cepat sekali berlalu, rasanya ingin sekali aku memperpanjang waktu agar aku bisa lebih lama bekerja tanpa harus pulang kerumah atau beristirahat.

Rafan merogoh dalam saku celananya, mengambil handphone dan langsung menghubungi nomor kontak milik Kris.

"Halo... Kenapa Fan ?"

Rafan bangun dari duduknya begitu Kris mengangkat panggilannya. "Lo dimana ?" tanya Rafan, tangannya sibuk menekan tombol off pada laptopnya.

"Biasalah, lo mau kesini ?"

"Iya, lo jangan kemana-kemana, gua otw sekarang"

"Lo dimana sekarang ? masih di kantor kan ?" tanya Kris dengan alis berkerut.

Rafan menarik jas yang tersampir di kursi kerja itu, tanpa melepaskan genggaman telepon. "Iyalah, dari mana lagi coba" jawab Rafan santai.

Pria itu mulai berjalan keluar dari ruangan kerjanya setelah memeriksa semuanya sudah dalam keadaan benar, tak lupa mematikan lampu kerja juga lampu ruangan itu sebelum benar-benar keluar dari sana.

"Saran gua mending lo gak usahlah kesini, lo gak sayang badan lo apa ? mending lo istirahat aja di rumah Fan" nasehat Kris, terdengar suara iba dari pria itu yang berharap Rafan mau mendengarkan nasehatnya.

"Gak. Gua gak apa-apa, lagian kan lo tau kenapa gua begini." balas Rafan yang menolak mentah-mentah saran dari sahabatnya itu.

"Yaudah ya gua otw, lo jangan kemana-mana"

Bip! Rafan langsung menutup panggilannya takut kalau Kris akan kembali mengoceh dan menyuruhnya untuk tidak datang. Di depannya sudah berdiri Javas dengan mata tampak menahan kantuk.

"Kenapa ? kamu ngantuk ?" tanya Rafan dengan lirikan, si Javas hanya tersenyum canggung lalu menggeleng. "enggak Pak, cuma.. cuma..."

"Cuma ngantuk, iya ?" ledek Rafan tersenyum miring. "Yaudah kamu boleh pulang sekarang" ucapnya.

"Terimakasih Pak" Javas membungkuk.

Rafa hanya menjawab dengan anggukkan, dia lalu memperhatikan sekertarisnya itu dari atas sampai bawah. "Rumah kamu dimana ?" Rafan kembali bertanya.

"Di... kenapa Pak ? Bapak mau nganterin saya ? gak usah Pak Rafan, kebetulan saya bawa motor"

Rafan kembali tersenyum samar. "Enggak, saya gak mau nganter kamu" jawabnya cuek yang membuat Javas sontak mendelik menahan malu "Oh.. iya Pak, kirain mau..."

"Saya mau pesan taksi buat kamu" selak Rafan.

"Taksi ? buat saya ?" Javas bengong seketika.

"Kamu keliatan ngantuk banget, saya gak mau ngambil resiko kalau nanti di jalan kamu kenapa-kenapa karena nyetir dalam keadaan ngantuk, saya masih butuh kamu buat kerja soalnya"

Javas terbengong-bengong dengan mulut sedikit terbuka saat mendengar ucapan Rafan yang sangat amat jujur, bahkan terkesan tak berdosa, dia jadi bingung mau bilang bosnya itu baik atau menyebalkan karena kata terakhirnya benar-benar bikin kesal.

"Gak usah Pak, saya gak..."

Ucapan Rafan terhenti saat melihat Rafan mulai merogoh saku celananya, mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang. "Nih... kamu pulang naik taksi aja, jangan nyetir, motor kamu tinggalin aja di kantor" ucap Rafan sambil menyerahkan beberapa lembar uangnya pada Javas.

"Saya harus pergi sekarang, sebelum kamu pulang jangan lupa matiin lampu-lampu yang masih menyala, saya duluan"

"Baik Pak, terimakasih banyak Pak Rafan"

Rafan berjalan melewati Javas, meninggalkannya sendirian, dari sini Javas bisa memperhatikan punggung lebar milik bosnya yang perlahan menjauh, punggung yang menyimpan banyak beban, menyimpan banyak luka, banyak orang yang bersandar disana, bergantung dan juga berharap kalau dia tetap kuat, bertahan walaupun badai terus datang menyerang.

***

Setengah jam berlalu berkendara di jalanan yang lumayan licin karena malam ini kota Jakarta di guyur rintik-rintik hujan, meski tidak terlalu besar, tapi tetap saja mampu membuat jalanan aspal yang dia lalui terasa agak licin.

Aku sampai di sebuah restoran malam yang terletak tak jauh dari kantorku, sebelum turun dari mobil aku memutuskan memakai kembali jas kerjaku saat badanku merasa sedikit kedinginan, tanpa semangat aku membuka pintu dan turun dari mobil.

Ting!

Aku membaca deretan pesan yang baru saja masuk, ternyata pesan yang di kirim oleh Kris, pria itu yang bertanya dimana keberadaanku sekarang. Tanpa menjawab pesan tersebut, aku mempercepat langkahku untuk masuk kedalam restoran mewah tersebut sampai aku tidak memperhatikan langkahku dan... BRUK!

"Haduh gimana sih. Buta lo ya!"

Pundakku tak sengaja menabrak pundak seseorang, lebih tepatnya seorang wanita berambut panjang yang berdiri tepat di hadapanku dengan tubuh yang tidak stabil.

"Sialan ketemu cewek mabok lagi!" umpat Rafan dalam hati.

Tak mau membuat masalah panjang aku putuskan untuk kembali berjalan dan mengabaikannya yang masih meracau tidak jelas memakiku.

"Heh malah kabur lagi! Tanggung jawab lo!"

Aku terus berjalan mengabaikan teriakannya, beruntung resto mahal tak begitu banyak pengunjung setidaknya tidak membuatku terlalu malu, aku semakin mempercepat langkahku sampai benar-benar masuk kedalam restoran itu dan mencari keberadaan tempat duduk Kris.

Tempat di dekat meja besar yang terhubung langsung dengan meja bartender Kris mengangkat tangan dan melambaikannya begitu dia melihat kedatangan Rafan, pria itu langsung berjalan kearah dimana Kris duduk sekarang, tapi baru beberapa langkah dia berjalan jasnya kembali di tarik.

"Mau kemana lo ?! Tanggung jawab dulu!"

Rafan membalik badan dan langsung menghempaskan tangan yang menarik jasnya. "Ck... apaan sih lo!" kesalnya yang langsung emosi begitu melihat wanita yang tak sengaja bertabrakan dengannya mengikuti dia sampai kedalam.

"Tanggung jawab sialan!" teriak cewek tersebut dan tangannya kembali menarik jas yang dikenakan oleh Rafan, beberapa pengunjung mulai melihat kearah mereka, termasuk Kris yang langsung berdiri dari duduknya dan berjalan kearah Rafan.

"Tanggung jawab apa ?! Lepas!"

Perempuan yang tidak di ketahui namanya itu terlihat sempoyongan, tak bisa berdiri tegap dan pandangan yang kabur sembarang arah, membuat Rafan risih saat wanita itu beberapa kali tak sadar bersandar di tubuhnya.

"Raf, ada apa nih ?" tanya Kris begitu dia berdiri tepat dihadapan Rafan dan memperhatikan wanita asing yang terus menarik jas Rafan.

"Ck! Gak tau. gua juga gak ngerti nih cewek kenapa, tolong dong, gua takut dia muntah!"

"Bentar deh gua panggil satpam dulu"

"Eh! lo mau kemana ?! Bawa nih cewek sekalian, gua capek banget" tahan Rafan pada tangan Kris saat pria itu ingin pergi.

"LO! DASAR BRENGSEK LO!" teriak wanita tersebut yang langsung menampar pipi Rafan tiba-tiba.

"Bangsat!"

Kris langsung menahan tubuh Rafan yang langsung bereaksi maju dan ingin memberi wanita itu pelajaran, di pipi kanannya kini terlihat jelas ruam merah lengkap dengan jiplakan tangan wanita tersebut.

HOEEK!

"Aishhh! sialan. apes banget gua malam ini!"