"Sekarang kita ke mana?" Tanya Hana
"Ke tempat yang sudah kusiapkan. Tempat semuanya akan berakhir." Jawabku sambil terus berjalan.
Aku menoleh ke belakang. Hana terdiam di tempat dan melihat ke atas langit. Aku sontak berhenti.
"Ada apa? Kau gugup?"
"Tidak kok, aku tidak apa-apa." Katanya sambil berlari kecil menyusul.
Kami sampai, tidak, hampir sampai.
"Sekarang kita ke atas." Aku menunjuk ke atas langit.
"Ke atas?" Tanya Hana heran.
Tanpa mengiraukannya aku membuka pintu dari besi dan masuk. Dibalik pintu itu terdapat tangga yang akan membawa kami langsung ke atas gedung ini. Aku terus berjalan tanpa menunggu Hana yang tertinggal.
Puluhan anak tangga terlewati. Aku sampai di atas. Aku bergegas ke tengah atap gedung untuk mengecek zat yang kubawa, takut ada yang bocor atau apapun itu.
Semuanya aman. Syukurlah
"Wahh indahnya." Teriak Hana. Ia akhirnya sampai, tak lama setelah diriku.
"Ryan lihatlah ke sini! Pemandangannya sangat menakjubkan." Panggil Hana.
Aku tak mengacuhkan dan lanjut dengan persiapan.
"Kubilang ke sini!" Hana tiba-tiba menghampiri dan menarikku paksa.
"Ehh ehh." Ia menarikku hingga ujung atap. Memperlihatkanku pada pemandangan indah itu.
"Indah kan." Tanya Hana.
"Ya."
"Ah aku tidak menyangka bahwa aku masih bisa melihat hal-hal yang indah seperti ini saat hidup." Ucap Hana.
...
Kini kami duduk berhadapan. Di hadapan kami sebuah botol berisi senyawa kimia berbahaya yang telah kusiapkan dan dua buah gelas khusus. Gelas yang dapat menahan sifat alami dari senyawa mematikan ini.
"Ini adalah racun. Racun yang dapat membunuhmu tanpa rasa sakit. Satu teguk saja dan kau akan langsung mati." Kataku berbohong, seraya menuangkan cairan dalam botol ke dua buah gelas itu. Aku melihat ke arah Hana. Ia memperhatikan dengan serius.
"Kau yakin ini dapat membunuhku tanpa rasa sakit kan?" Tanya gadis itu berwajah ngeri.
"Ya aku cukup yakin."
Semua persiapannya sudah siap. Zat kimia mematikan yang bisa membunuh sudah tertuang di gelas dan siap untuk diminum. Tapi sebelum itu, ada hal terakhir yang harus kupastikan.
"Hana, ada yang ingin kutanyakan untuk terakhir kalinya." Kataku serius. "Apa kau benar-benar ingin mati?"
Hana terdiam. Berpikir.
"Bagaimana denganmu, Ryan?" Tanyanya balik.
"Aku?" Aku tertawa kecil. Sungguh pertanyaan yang bodoh. "Ya, aku ingin mati. Sejak lama. Sangat-sangat lama."
"Sama denganmu, aku juga sangat ingin mati." Jawabnya.
Mendengar jawaban Hana, aku kecewa. Kecewa dengan pilihannya. Aku sudah memberinya kesempatan terakhir. Kesempatan terakhir untuk menghentikan kegilaan ini. Kesempatan terakhir baginya untuk menyadari betapa berharga hidup yang ia miliki. Tidak seperti hidupku. Aku seharusnya sudah mati sejak lama. Beratus-ratus tahun yang lalu.
"Begitu ya." Gumamku pelan.
"Hana! Ada hal terakhir yang ingin kuminta padamu."
"Eh eh, hal terakhir. Apa maksudmu? Apa itu sesuatu yang... kau tahu kan... ci ci ci." Pipinya memerah merona. Entah apa yang sedang ada di pikirannya.
"Bisakah kau biarkan aku meneguk racunnya duluan?"
"Apa maksudmu? Bukankah kita akan melakukannya secara bersamaan?" Tanya gadis itu tidak setuju.
"Kau benar. Tapi kau tahu, aku ini sebenarnya pengecut. Aku bisa saja lari dan membiarkanmu meminumnya sendirian. Jadi tolong... biarkan aku meneguknya duluan dan tolong pastikan aku sudah mati." Aku berakting di depannya. Memohon-mohon.
"Baiklah. Aku hanya perlu memastikan kau mati kan?" Hana ragu-ragu.
"Ya benar."
Kuambil gelas berisi zat kimia tersebut. Perlahan mendekatkannya ke bibirku. Bersiap-siap untuk meminumnya. Jantungku berdegup dengan kencang. Berharap dengan keras bahwa kali ini akan berhasil. Berharap pada kemungkinan 50 50. Antara mati atau hidup, berhasil atau gagal.
Kumohon berhasil, kumohon berhasil, kumohon berhasil. Kata-kata itu memenuhi otakku.
"Kumohon, kali ini...." Kataku penuh harap pelan. Dengan cepat kuteguk seluruh cairan di gelas kecil itu. Meminumnya hingga habis tak bersisa.
Tubuhku langsung bereaksi terhadap cairannya. Cairan yang sebenarnya adalah senyawa asam. Cairan tersebut langsung melukai dan menghancuran organ-organ bagian dalamku. Aku berteriak dan memegang bagian dada dan leherku, tempat rasa sakitnya berasal.
Aku jatuh ke lantai. Setiap detik cairan tersebut menghancurkan organ tubuhku lebih dalam. Rasanya seperti ada yang mencabik-cabik tubuhku dari dalam. Aku mengerang kesakitan. Rasa sakitnya tak dapat kutahan. Aku melihat Hana menatapku dengan tatapan yang ngeri. Ketakutan dengan apa yang ia lihat.
Aku senang. Aku senang karena sepertinya rencanaku berhasil. Aku merasa senang walaupun sedang merasakan rasa sakit yang teramat sangat. Sangat sakit hingga aku kehilangan kesadaran.
...
Aku terbangun di sebuah tempat yang serba hitam. Sangat hitam sampai aku tak dapat melihat tubuhku sendiri. Rasanya hampa, seperti berada di suatu tempat yang tidak ada. Aku Membawa diriku berbaring. Berbaring di ketiadaan.
Rasanya nyaman. Berada di sini terasa nyaman. Sangat hening dan damai. Apakah ini kematian? Apakah aku berhasil? Apa aku sudah mati sekarang? Tanyaku dengan perasaan terkejut dan senang, tak percaya.
"Bangun!"
"Bangun Ryan." Ucap seseorang. Suaranya bergema di kegelapan tak berujung itu.
"Siapa kau." Tanyaku
"Siapa aku? Entahlah, aku juga bertanya-tanya." Jawabnya.
Kucoba mencari-cari keberadaannya, namun ia tak ada di manapun. Yang kulihat hanya warna hitam hampa yang merasuki kedua mataku.
"Apa kau.... apa kau malaikat, dewa, atau semacamnya? Kalau begitu aku sudah mati kan? Kau ada di sini karena aku sudah mati kan?" Kataku.
"Entahlah Ryan, sudah kubilang kalau aku tidak tahu siapa diriku. Malaikat, dewa, entahlah, aku tidak tahu. Tapi yang kutahu hanya satu hal. Kau belum boleh mati. Masih ada yang harus kau lakukan." Ucap suara itu.
"Yang harus kulakukan?" Tanyaku.
Ia tak menjawab dan menampilkan penglihatan kepadaku.
"Menurutmu apa yang akan dia lakukan?" Tanyanya
"Apa? Hana... apa yang dia lakukan."
Di penglihatan itu, Hana, memegang gelas yang telah kusiapkan dan bersiap untuk meminumnya.
"Hana, apa yang kau lakukan! Lepaskan itu!"
"Percuma saja, ia tidak bisa mendengarmu dari sini."
"Apa..." Kataku putus asa. Hana terus membawa gelas di tangannya mendekat ke bibirnya.
"Kau sudah tahu kan, alasanmu masih belum boleh mati."
Aku terdiam sejenak.
Dia benar. Aku masih belum boleh mati. Aku masih harus hidup. Pikirku.
"Suara aneh, bagaimana caraku keluar dari sini."
"Tutuplah matamu dan hitung dari satu sampai tiga." Jawabnya.
"Ternyata mudah sekali ya." Aku tertawa kecil.
"Hei, apa aku ini bisa mati?" Tanyaku dengan suara lirih.
"Entahlah."
"Begitu ya. Ya sudah, sampai jumpa lain waktu, suara aneh." Ujarku memberi salam perpisahan.
Kututup mataku dan bersiap menghitung. Satu... dua... tiga.
Kesadaranku mulai kembali. Tubuhku masih merasakan sakit dari cairan kimia tadi. Di hadapanku, Hana, sudah hampir meminum cairan itu. Gelas kecil tersebut hanya berjarak beberapa sentimeter dari mulutnya.
Tidak Hana, berhenti! jangan melakukannya. Kubawa diriku sekuat tenaga berlari ke arahnya.
Kumohon, semoga masih sempat.
"Hei! Apa yang kau...!"
semuanya menghitam seketika.
.