webnovel

Bab 3 Malam Panjang

"Ahhh." Aku mengerang kesakitan. Rasa sakit efek zat kimia tadi masih dapat kurasakan. Rasa sakit yang menjalar di seluruh organ dalamku. Ditambah lagi aku yang baru saja jatuh tersungkur.

Tunggu sebentar, kenapa aku jatuh. "Fokus, Ryan! Coba ingat." Aku berusaha fokus.

"Hana!"

Kubuka mata, menegakkan tubuh dan langsung mencari keberadaan Hana.

"Hana! Kau baik-baik saja?"

Hana terbaring di lantai.

"Awww." Ucapnya kesakitan sambil mengusap bagian belakang kepalanya.

Aku mengecek tubuh Hana. Melihat apakah ada yang terluka. Kucoba mencari-cari keberadaan benda itu. Gelas tadi terlempar cukup jauh. Cairannya yang tumpah melelehkan lantai atap gedung ini.

"Hei kau tidak apa? Apa ada yang terluka."

Hana masih belum membuka matanya. Kubawa ia duduk perlahan.

"Apa yang baru saja terjadi. Aww sakit." Ucapnya. Matanya membuka perlahan.

"Hei kau baik-baik saja? Apa ada yang terluka? Kau bisa melihatku kan? Hei Hana?" Tanyaku padanya bertubi-tubi, panik.

Hana melihat ke arahku dan terdiam sebentar. Dia sadar dan mengingat semuanya.

"Menjauh dariku!" Teriaknya marah. Ia mendorongku dengan kuat hingga aku terjatuh.

"Apa... ada apa Hana..."

"Apa maksudmu melakukan semua ini!" Bentaknya. Memotong ucapanku. "Kenapa? Kenapa kau melakukannya?"

"A... aku."

"Kenapa kau melakukan semua ini? Kenapa kau merencanakan semua ini? Kenapa kau membawaku ke sini? Kenapa.." Hana mulai menitikkan air mata. "Kenapa kau membohongiku. Kenapa kau menipuku hingga seperti ini?"

"Lalu untuk apa air bodoh ini. Untuk apa kau membawa dan melakukan persiapan seakan-akan ini adalah racun yang sangat mematikan atau omong kosong apapun itu." Hana berdiri, mengambil botol berisi zat kimia tersebut dan marah-marah.

"Untuk apa semua aktingmu tadi? Kau meminumnya dan berakting seakan-akan kau sangat tersiksa akibat racunnya dan berpura-pura mati."

Aku hanya diam terduduk tanpa bisa melawan. Melihat dan mendengar semua bentakan dan amarah Hana.

"Oh akting yang bagus tapi sayang sekali aku tidak sedang mencari aktor berbakat sekarang."

"Aku ingin mati kau tahu, hanya itu yang kuinginkan." Ucapnya lirih.

Hana mulai duduk dan menangis. Kedua kakinya menopang dan tangannya menutup wajahnya yang dipenuhi oleh air mata.

"Kenapa kau melakukan semua ini, Ryan?" Tanya Hana.

Lagi-lagi aku hanya diam tak bisa menjawab.

"Apa kau melakukan ini hanya untuk melihat gadis bodoh ini jatuh ke perangkapmu? Apakah itu tujuanmu melakukan semua ini?" Hana kembali meninggikan suaranya dan melihat ke arahku.

"Ya benar, benar sekali. Pasti benar begitu kan? Pasti sangat menyenangkan menjebak dan mempermainkan gadis bodoh dan polos sepertiku." Ia tertawa sinis. Senyam-senyum tak karuan. "Melihatnya bermain-main di kedua tanganmu. Melihat gadis bodoh yang hanya ingin mati dan menipunya. Membuatnya menghabiskan seluruh uangnya hanya untuk mengikutimu hingga ke sini."

"Tidak Hana, bukan begitu. Aku tidak pernah ada keinginan untuk menipumu. Hanya saja..." Kataku beralasan.

"Hanya saja apa? Katakan padaku!" Bentaknya.

"Aku... aku tidak bisa mengatakannya."

"Omong kosong." Ucapnya.

Ia kembali duduk dan menangis, menutup wajahnya dengan kedua kaki beserta kedua tangannya.

"Maaf saja Ryan, atau siapapun nama asli lelaki brengsek sepertimu." Hana berdiri perlahan. Rambutnya yang kini terjerai menutupi sebagian wajahnya. "Aku tidak akan menyerah hanya karena lelaki sampah sepertimu. Aku tidak akan membiarkanmu mempermainkanku dan menertawaiku seperti orang bodoh."

Hana berbalik membelakangiku, menghadap ke arah pemandangan yang tadi kami lihat bersama. Senyuman samar terbersit di wajahnya sesaat sebelum berbalik.

Apa yang akan dia lakukan. Ekspresi macam apa itu tadi. Pikirku heran, bertanya-bertanya.

Hana mulai berjalan perlahan. Selangkah demi langkah.

"Terima kasih. Terima kasih Ryan." Ucap Hana.

Terima kasih? Apa maksudnya? Aku mencari-cari alasan ia mengatakannya. Apa maksudnya, kenapa dia berterima kasih.

Aku menyadari maksud Hana, namun terlambat.

"Terima kasih karena telah membawaku ke tempat ini, Ryan."

"Hana! Tidaak!"

...

"Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku. Lepaskan aku sekarang juga." Hana memberontak.

Hana berlari menuju ujung atap. Dia ingin menjatuhkan dirinya dari gedung 20 lantai ini. Mengakhiri hidupnya.

"Untunglah aku masih sempat." Pikirku. Aku berlari mengejar Hana. Berlari sekuat tenaga mengerahkan seluruh kekuatanku. Aku terus berlari tanpa menghiraukan rasa sakit yang masih kurasakan.

Terlambat sedikit saja dia bisa mati. Pikiran yang terus memacuku untuk berlari lebih cepat, menghiraukan rasa sakit ini, untuk mengejar Hana.

"Lepaskan! Lepaskan aku! Jangan sentuh aku dasar kau brengsek!" Teriaknya memberontak. Hana berusaha melepaskan diri dari pelukanku.

Aku berhasil mengejar dan menghentikannya tepat di ujung atap, secara reflek memeluk dan menahan pergerakannya.

"Hentikan Hana, kau tidak seharusnya melakukan ini. Kau itu masih hidup!" Kataku menasehati. Aku membawanya perlahan menjauhi ujung atap. Ujung atap berlantai 20 yang jika terjatuh saja kau akan hancur berantakan saat sampai di bawah.

Hana tak menyerah dan terus memberontak. Gadis itu memukul-mukul tanganku. Menendang-nendang ke segala arah. Mencoba segala cara untuk melepaskan diri.

Kubawa Hana terus menjauh. Menjauhi ujung atap gedung tanpa memedulikan rasa sakit akibat pukulan serta tendangan-tendangannya yang tidak berarah.

Gadis itu mulai tenang. Ia sepertinya mulai kelelahan dan memutuskan menyerah. Kubawa dia ke sisi lain atap gedung yang dilindungi oleh pagar dan mendudukkannya.

Hana terduduk lesu. Ia lagi-lagi berpose seperti sedang menangis. Aku yang kelelahan membawa diriku duduk ke salah satu sudut atap dan menyandarkan tubuhku pada pagar pembatas.

Hah...hah...hah. Nafasku berat dan melaju cepat.

"Selamat tinggal bodoh." Ucap Hana. Ia berdiri dan berlari ke ujung atap, lagi.

Aku terkejut dan mengejarnya.

"Hana berhentilah." Kataku menghentikannya. Aku berhasil menggenggam tangan Hana sebelum ia melewati setengah dari lebar atap gedung.

"Tidak! Lepaskan aku!" Teriaknya. Lagi-Lagi ia memberontak berusaha melepaskan diri.

"Kumohon..." Ucapnya lirih. Hana berhenti memberontak dan terduduk lesu "Kumohon lepaskan aku. Aku hanya ingin mati."

"Tidak, aku tidak akan membiarkanmu melakukannya." Kataku.

Hana yang mendengar jawabanku mulai menangis, menangis sejadi-jadinya. Ia banjir air mata. Hana berulang kali mengusap tangisnya dengan lengan jaket yang ia kenakan, membuatnya basah oleh air mata.

"Uwaaa. Kenapa, kenapa kau tidak membiarkanku. Uwaaa."

Aku yang tak bisa berbuat apa-apa hanya membiarkannya menangis. Kubawa lagi diriku duduk untuk beristirahat, tanpa menurunkan pengawasanku terhadap gadis itu.

...

Waktu yang berlalu terasa cukup panjang. Kami berdua hanya berbuat seperti tadi sampai sekarang. Hana yang menangis dan aku yang duduk mengistirahatkan tubuhku. Tubuhku sudah terasa lebih baik sekarang. Rasa sakitnya hampir hilang sepenuhnya,

"Ikutlah ke rumahku malam ini." Ajakku menawarkan tangan kepada Hana yang masih duduk tak bergerak. "Hari semakin larut. Jam segini kereta juga sudah berhenti beroperasi."

"Kau pikir aku mau menerima tawaran dari laki-laki brengsek sepertimu? Enyahlah!" Bentak Hana. Ia memukul tanganku, menyingkirkannya dari hadapannya.

Hana berdiri, mengambil tas kecil yang ia bawa dan mulai berjalan mendekati tangga. Tangga untuk menuruni gedung ini.

"Hei Hana, mau ke mana kau?" Tanyaku padanya yang semakin mendekati tangga.

"Bukan urusanmu. Aku bebas pergi ke manapun aku mau." Jawabnya.

"Hana!" Aku berlari ke tangga mengejar Hana.

"Berhenti sampai disitu!" Teriaknya tanpa menoleh ke belakang. Menghentikanku tepat di depan anak tangga pertama munuju ke bawah. Kedua tangannya mengepal dengan kuat menahan emosi yang ia rasakan. "Jangan mengikuti. Jangan ikuti aku Jangan tunjukkan lagi wajah brengsekmu di hadapanku. Aku tak ingin berada di dekatmu lagi."

Hana memperbaiki posisi tasnya dan lanjut berjalan pergi. Menuruni satu per satu tangga turun ke bawah.

Aku menghela nafas panjang dan menjatuhkan diri ke lantai.

BRUK

suara tubuhku menghantam lantai.

"Awww sakit." Kataku tertawa kecil. Aku berbaring dan melihat ke atas langit yang penuh bintang. Bulan juga bersinar tak kalah terang.

"Hahhh." Menghela nafas panjang. "Yang kulakukan tadi sudah benar kan? Aku tidak membuat kesalahan kan?" Tanyaku pada langit malam.

"Ya, pasti benar begitu. Aku sudah berbuat hal yang benar." Kataku mencoba meyakinkan, padahal keraguan terus memenuhi.

Ah entahlah. Aku tidak tahu lagi. Aku tidak tahu lagi mana yang benar dan salah.

"Haaahh... rasanya ingin mati saja."

"Itu pun kalau aku bisa." Ucapku lirih.

Aku tertawa. Tertawa sendirian di atap gedung itu. Menertawai betapa menyedihkannya diriku ini. Betapa menyedihkannya hidupku ini. Sebelum akhirnya mulai menitikkan air mata dan menangis.

"Tidak Ryan, tidak. Jangan menangis. Jangan menangis." Kataku menguatkan diri tanpa bisa menahan air mata yang terus keluar.

"Kenapa, kenapa kau keluar sekarang. Kenapa aku menangis." Aku terus mengusap air mata yang bercucuran keluar. "Setelah sekian lama. Setelah beratus tahun yang lalu aku memutuskan untuk tidak menangisi hal ini lagi. Menangisi betapa tersiksanya hidupku ini. Kenapa harus sekarang."

Aku menangis sejadi-jadinya. Menangisi hal yang sudah kuputuskan untuk tak perlu ditangisi lagi.

Kedua tanganku menutup mataku yang terus saja menitikkan air mata. Menyembunyikan wajah memalukan itu dari langit malam yang terus menatap tanpa henti.

.

Terima kasih telah membaca

Jika kalian suka, jangan sungkan untuk memasukkan cerita ini ke dalam koleksi dan memberi power stone. Dukung author biar semangat bikin ceritanya

Ikutin terus cerita Ryan dan Hina yaa ><

Kirizey_79creators' thoughts