Beberapa minggu kemudian, lagi-lagi sebuah paket besar datang ke depan pintu rumah Olivia dan Elisa. Tapi entah apa isinya, Elisa sampai lompat-lompat senang saat melihatnya.
Makanya saat Elisa kelihatan mengangkat paketnya dengan bahagia begitu, Olivia pun mulai merasa curiga. "Kau memesan sesuatu?" Tanyanya saat Elisa membopong kotak itu dengan susah payah.
"Iya, tapi ini paket untukmu." Sahut Elisa. "Jeng jeng. Hadiah kehidupan dariku."
Mengerutkan alisnya bingung, Olivia pun mengalihkan pandangannya dari televisi dan melihat kotak itu, lalu melihat Elisa, lalu melihat kotak itu lagi. "Jangan bilang…"
Tapi Elisa sudah terlanjur merobek selotip kardusnya dan membukanya. Dan benar saja dugaan Olivia. Isinya seragam dan buku-buku sekolah. "Aku sudah mendaftarkanmu ke sekolah di dekat sini. Dan kau mulai masuk senin depan."
Mendengar itu Olivia membuka mulutnya dan terdiam sangat lama sambil memandangi Elisa. "Tapi kau kan tahu Aku sudah selesai sekolah saat umurku 12. Dan sekarang kau mau Aku sekolah lagi??"
"Habisnya Aku baru tahu kalau di dunia ini manusia sekolah sampai umur 18 tahun. Dan kau masih 16 tahun, jadi..." Balas Elisa seperti sudah merasa menang. "Bahkan kudengar kalau kau mau jadi profesor atau semacamnya kau harus sekolah terus sampai tua."
Terdiam lagi, Olivia mencondongkan tubuhnya untuk melihat isi kotak itu lebih dekat. Tapi dari sekian banyak hal yang sudah dia lihat di dunia ini, seragam dan buku-buku itu anehnya memancarkan aura yang tidak menyenangkan. "Daftar sekolah kan harusnya merepotkan. Bagaimana kau melakukannya?"
"Aku minta tolong pada tuan Harry yang waktu itu membantu kita membeli rumah ini. Dia sangat baik, kau tahu. Walaupun Aku perlu menghipnotisnya sedikit saat dia mulai curiga sesuatu." Jelasnya.
"Tapi setelah melakukannya Aku jadi sadar kalau hipnotis merupakan jalan pintas yang sangat mudah ya." Gumamnya kemudian. "Rasanya Aku juga bisa minta uang pada siapapun hanya dengan menghipnotis mereka. Olivia, kau tidak pernah melakukan itu kan?"
Tapi Olivia mengabaikan pertanyaan itu. "Sekolah… Kau serius nih?" Katanya kemudian. Karena dia sudah menyelesaikan sekolahnya bertahun-tahun lalu, daftar sekolah sama sekali tidak ada di rencana kehidupan barunya.
Ditambah, Olivia sebenarnya tidak begitu suka banget dengan sekolah. Karena semua orang di sekolahnya dulu hanya diisi oleh para bangsawan yang suka menjilat. Peraturannya juga terlalu mengekang dan posisinya sebagai tuan putri juga membuatnya tidak bisa melakukan banyak hal di sana. Makanya dulu dia jadi belajar mati-matian supaya bisa buru-buru lulus.
Dan sedikit-banyak, Elisa juga tahu hal itu. Makanya kemudian dia menambahkan, "Tidak seperti sekolahmu yang dulu, Aku mendaftarkanmu ke sekolah yang biasa kok. Ditambah, tidak ada yang tahu juga siapa dirimu di sini. Jadi nanti kau bisa dapat teman betulan—Ah, siapa tahu nanti kau bisa ketemu teman yang seperti Lunia. Pokoknya pasti menyenangkan!" Katanya mulai kelihatan semangat sendiri sekaligus putus asa. "Ya, mau ya?" Tambahnya memohon.
Mendengar Elisa seperti itu, Olivia akhirnya jadi agak ragu untuk menolaknya lagi. Jadi walaupun belum yakin banget, dia pun kemudian memutuskan untuk memeriksa isi kardus itu lagi dan mengeluarkan seragamnya. "Hm, seragamnya lumayan bagus."
"Iya kan! Aku memang pilih sekolah yang ini karena seragamnya lumayan bagus." Timpal Elisa, meskipun nyatanya dia hanya pilih sekolah itu karena katanya Hina merupakan lulusan dari sana.
Tapi mengabaikan Elisa, Olivia sekarang mulai sibuk memeriksa buku-buku yang ada di dalamnya. Karena walaupun dia sudah sering baca macam-macam buku semenjak dia suka main ke dunia manusia, dia tidak pernah benar-benar baca buku pelajaran sekolah. Itu kan memang bukan buku yang biasa dibaca turis.
Makanya selagi membacanya seperti itu, tiba-tiba saja muncul sebuah pertanyaan di kepalanya. "...Di dunia ini Aku tidak termasuk bodoh kan ya?" Gumamnya pelan, meski Elisa tidak begitu mendengarnya.
"Bagaimana? Mau ya?" Kata Elisa lagi. "Kalau nanti tidak menyenangkan kau boleh berhenti… Dan Aku akan carikan sekolah lain, tentu saja…"
"...Yasudah."
"Kenapa tidak mau? Pasti menyenang--Eh…? Eh?! Mau nih?"
"Tapi kalau sekolahnya menyebalkan, Aku akan beli komputer baru dan kau tidak boleh protes."
"Yey! Oke, iya, apa saja asal kau mau sekolah!" Balas Elisa sudah kegirangan.
"Tapi Elisa, bagaimana kalau kau masuk sekolah juga?"
"Eh? Tapi Aku kan sudah 22—"
"Bukan sekolah sepertiku, tapi sekolah mengemudi." Sela Olivia. "Kupikir sudah waktunya kita punya mobil juga."