webnovel

Hello, Capt!

Kapten Satria Raghatajasa, Nahkoda tampan yang tidak mengetahui apapun selain berlayar, mendapatkan kabar buruk bahwa rumah miliknya secara paksa akan dijual oleh sang nenek lantaran kesal cucunya itu tak pernah memiliki waktu untuk sekadar berkunjung. Sharazea, bekerja sebagai Editor novel romansa —yang justru sulit menjalin hubungan dengan orang lain— ditipu hingga mau tak mau menjadi seorang gelandangan dalam semalam. Memulai kehidupan baru bersama orang asing atas alasan tak masuk akal, perjanjian kontrak demi sebuah tempat tinggal. "Seorang pakar sosiologi mengatakan, orang menikah atas alasan tertentu. Salah satunya, mereka dapat keuntungan dibanding hidup sendirian. Jadi, aku menyetujuinya." "Menyetujui untuk menikah dengan saya?" Dua orang yang memutuskan menikah karena sebuah kebutuhan, bak simbosis mutualisme. Satria yang kebetulan mencari seseorang untuk merawat tempat tinggalnya selama ia bertugas, dan Sharazea yang sulit menolak tawaran setelah insiden kehilangan rumah, tak punya tujuan harus kemana. "Bagian pertama dari hubungan kami memang tak ubahnya hanya pernikahan di atas kertas perjanjian. Tapi aku ingin bagian kedua kami adalah cinta." Keinginan untuk dapat terus tinggal bersama, rasa kasih yang mulai tumbuh secara diam-diam dihati keduanya, bisakah mimpi menjadi sepasang dapat diwujudkan oleh mereka? Ujian pernikahan, sampai kegagalan dari menjalin hubungan, dapatkah perasaan cinta diantara keduanya sanggup menggugurkan kontrak yang mengharuskan mereka berpisah setelah dua tahun melewati hari-hari bersama? "Karena aku mencintaimu, itu sebabnya aku memilih menikah denganmu. Karena itu kamu, tidak ada alasan lain."

Paussbiru02 · 现代言情
分數不夠
15 Chs

Knight in Surfing Armor

"Siap ijin," sosok itu terlihat sangat sibuk dengan barang bawaannya yang menumpuk, ia meletakkan separuh. Pria bertelanjang dada, tampan tetapi nampak sangat polos.

"Ini saya sudah dapat papan selancarnya, Kapt." dengan gerakan memberi sebuah benda berbentuk bak perahu versi kecil dan sederhana, pria yang sebelumnya bicara itu seolah memberikan laporannya.

Begitu kaku.

Seakan menjadi kebiasaan yang sulit hilang.

"Tapi sebelumnya, ijin bertanya, Kapt. Mau pakai selancar yang warna apa?"

"Ini saya bawakan satu, tapi sebenarnya ada dua warna yang barangkali bisa digunakan. Ada—"

"Santai aja, Ham." potong sosok yang lain, menimpali. Suara baritonnya terdengar khas sekali. Dingin, dapat diandalkan dan ... Entahlah, tampan? Benar, beberapa orang memiliki suara yang begitu menegaskan bahwa mereka memiliki wajah yang menawan.

Pria itu terlihat merima pesanan yang sebelumnya ia pinta itu dengan baik, "Kita ke sini mau liburan, bukan mau berperang." memeriksa apakah barang ia ia pinta seperti harapannya atau tidak, sesekali pria tersebut melontarkan kalimat tanpa menatap lawan bicaranya.

"Enggak perlu sekaku itu sama saya." memperingati, kemudian berlalu. Ia sudah dapat apa yang dirinya butuhkan untuk melancarkan tujuan pertamanya.

Berlibur setelah sekian lama.

Papan selancar putih dengan sisi-sisinya yang dilukis warna tambahan, biru, nampak sangat pas dan menawan tatkala yang pria mengenakan surfing armor tersebut membawanya dengan baik.

Hanya dengan satu tangan.

Seolah bukan apa-apa.

Sementara di sisi lain pria yang bertubuh tinggi dengan kepala botak —mengenakan kaos hitam polos, sangat sederhana — tersebut hanya diam terpaku.

Bagaimana caranya ia bisa bersikap santai?

Selama menjadi seorang prajurit, ia selalu diajarkan untuk dapat bersikap sopan dan patuh kepada seniornya. Bahkan cara mereka bicara saja terdengar sangat berbeda dengan cara mereka bicara kepada orang lain.

Bukan dikarenakan ingin memuja atau bak harus sepatuh itu, mereka bukan Tuhan untuk senantiasa disanjung. Hal ini diajarkan agar dapat terbiasa bersikap menghargai siapapun dimanapun.

Haruskah ia mencoba untuk santai?

Tanpa memikirkan hal tersebut lebih lanjut, pria berbaju hitam itu berlari dan menyusul sosok yang sangat ia hormati. Baiklah, ia akan mencoba sebisanya. Lagipula seniornya itu benar, saat ini mereka sedang berlibur. Mungkin tidak apa-apa barangkali tidak sekaku biasa.

Dengan aura luar biasa yang pria itu miliki, bahkan tanpa seragam yang selalu mereka banggakan saja orang-orang disana tetap menatap kugum ke arah keduanya.

Tidak butuh waktu lama langkah mereka saat ini tlah sejajar. Pria yang mengenakan surfing armor itu melirik sekilas, menarik sudut bibirnya. Mengetahui juniornya itu rupanya mulai memikirkan apa yang sebelumnya ia katakan.

"Mau apa?" diantara perjalanan mereka menyapa samudra, pria yang notabenya adalah senior —dengan papan selancar di tangannya itu— bertanya. Alih-alih membiarkan keheningan menyapa keduanya, bersikap santai adalah pilihan yang terbaik.

"Selancaran bareng Bang Sat."

Sebentar.

Ada sesuatu yang terdengar keliru di sini.

"Apa? Ulangi,"

Menyadari seniornya menanggapi dengan nada yang tak sama seperti sebelumnya, itu dengan cepat menghentikan langkahnya. Bersamaan dengan itu, sang senior juga berlaku demikian.

Memasang sikap tegap ala prajurit pada umumnya, "Siap. Mau selancaran, Bang, Sat!"

"Lho?"

"Eh?"

Meneguk savilanya, entah mengapa mereka berdua sama-sama merasa konyol, "Siap salah, Kapt!" mengakui kekeliruan yang dilakukan tanpa sengaja, dengan segera pria yang tetap terlihat manis walau kulitnya tidak seputih para lelaki idaman —sawo matang— itu mengatakan alasannya.

"Tadi, Kapten Satria sendiri yang bilang kalau saya boleh bersikap santai. Jadi ...."

"Oh benar." senior yang dipanggil Kapten Satria itu mengangguk-anggukan kepalanya samar. Pertanda mengerti dan sadar atas apa yang sebelumnya ia katakan.

Dihadiahi tawa oleh sang junior. Ternyata begini rasanya bersikap santai. Seasik ini rupanya. Mengapa tidak sedari lama saja?

"Turun."

Sebelum tiba-tiba, tepat tatkala sang junior ingin kembali melangsungkan niatnya untuk bermain air, dengan suara dingin Satria memberikan aba-aba.

"Siap laksanakan, Kapt!"

Tidak butuh waktu lama, junior turun dan memasang sikap push up. Seperti apa yang diperintahkan kepadanya.

"Seratus kali dalam waktu tiga menit." imbuh sang senior kembali. Ia meletakkan sejenak papan selancar miliknya dan mengawasi seseorang yang membuatnya geleng-geleng kepala.

Gerakan demi gerakan dilaksanakan dengan baik. Bagi orang pada umumnya, hal tersebut tentu saja merepotkan sekali. Atau bahkan tidak banyak yang akan mengeluh kesulitan. Tetapi untuk mereka, ini seperti makanan yang selalu disantap setiap hari.

"Lain kali, saat saya suruh kamu bersikap santai, tetap saja kamu harus ingat satu hal, Ilham Bratayudha." dengan berujar demikian, senyuman di wajah Satria tidak luntur sedikitpun.

"Jangan panggil nama saya hanya sebagian." ia menepuk pundak milik rekannya itu kemudian kembali berlalu.

Sebenarnya bukan apa-apa. Satria hanya tidak terbiasa bilamana namanya dipanggil separuh. Apalagi ada embel-embel 'Bang' di depan namanya. Lebih terdengar seperti umpatan.

Tetapi terlepas dari semua hal tersebut, perasaan senang timbul dibenak Satria.

Kadang, mengerjai seseorang seasik ini.

Tentu saja pria bernama lengkap Satria Raghatajasa itu tidak marah pada prilaku kekanak-kanakan yang ditunjukkan oleh juniornya. Hanya saja, diantara liburannya kali itu akan sangat menyenangkan bila mereka bisa memberikan satu dua candaan satu sama lain.

Baiklah, lupakan apa yang terjadi. Kali ini pria itu akan berpokus kepada hal yang sejak tadi ia ingin lakukan. Bermain selancar.

Entahlah, pria dengan tubuh tegap nan gagah memesona itu juga tidak dapat mengingat kapan tepatnya terakhir kali dirinya dapat menikmati kesenangan melakukan hobbynya ini. Semenjak tinggal dan bertugas, hari-hari yang Satria lalui hanya yang berkaitan dengan kewajiban serta tugas dan tanggung jawab, tidak yang lain.

Maka sampai beberapa jam kedepan, ia akan kembali menekuni kebiasaan lamanya setiap kali berada di pantai, bersantai di atas selancar.

Membayangkannya saja membuat Satria merasa bahagia.

Tinggal seorang diri di tengah lautan sembari memandangi langit biru, ditemani burung yang terbang bebas, ombang bak mengayunkannya diatas ayunan ala seorang Ibu, ah, maka nikmat mana yang bisa Satria dustakan? Gambaran peristiwa menyenangkan itu membuat sudut bibirnya terangkat.

Dengan senyuman seperti itu ketampanan yang dimiliki Kapten Satria jelas bertambah. Tidak senyum saja membuat auranya nampak sangat kuat, apalagi segurat garis tipis itu terlukis di wajahnya.

Seperti lukisan, ia menjelma menjadi ciptaan terindah Yang MahaKuasa hadirkan kala sedang berbahagia.

Sebelum benar-benar turun ke dalam air, Satria melambaikan tangannya ke arah sang junior yang masih sibuk membawa beberapa barang baru —apa-apa saja yang mereka butuhkan untuk berlibur.

Ia memberi tanda bilamana kesenangan akan dirinya mulai lebih dulu.

"Okay! Saatnya bersenang-senang."

Satria mulai masuk ke dalam air, berenang perlahan ke tengah sebelum menyapa ombak-ombak indah di pantai tersebut. Lihatlah, bahkan hanya dengan mangayunkan tangannya diantara air yang dingin menyapa tubuhnya itu, Satria bisa merasakan semangatnya membara.

Tetapi kejutannya baru saja dimulai.

Sepersekian detik setelah ia mampu berdiri tegak di atas papan selancar miliknya.

Sepertinya hari ini semesta belum juga berpihak kepadanya, memberikan kejutan yang sungguh tidak terduga-duga, tanpa aba-aba.

Bukannya menikmati liburan Satria justru melihat tangan seseorang seperti melambai di tengah lautan, ia terkejut hingga ingin pingsan rasanya.

Siapa itu?

Siapa yang dengan begitu berani bermain diantara ombak besar kala itu?

Apa sang legendaris —penunggu pantai yang seringkali dibicarakan oleh penduduk sekitar— tengah menunjukkan eksistensinya?

Kepada Satria?