webnovel

Hello, Capt!

Kapten Satria Raghatajasa, Nahkoda tampan yang tidak mengetahui apapun selain berlayar, mendapatkan kabar buruk bahwa rumah miliknya secara paksa akan dijual oleh sang nenek lantaran kesal cucunya itu tak pernah memiliki waktu untuk sekadar berkunjung. Sharazea, bekerja sebagai Editor novel romansa —yang justru sulit menjalin hubungan dengan orang lain— ditipu hingga mau tak mau menjadi seorang gelandangan dalam semalam. Memulai kehidupan baru bersama orang asing atas alasan tak masuk akal, perjanjian kontrak demi sebuah tempat tinggal. "Seorang pakar sosiologi mengatakan, orang menikah atas alasan tertentu. Salah satunya, mereka dapat keuntungan dibanding hidup sendirian. Jadi, aku menyetujuinya." "Menyetujui untuk menikah dengan saya?" Dua orang yang memutuskan menikah karena sebuah kebutuhan, bak simbosis mutualisme. Satria yang kebetulan mencari seseorang untuk merawat tempat tinggalnya selama ia bertugas, dan Sharazea yang sulit menolak tawaran setelah insiden kehilangan rumah, tak punya tujuan harus kemana. "Bagian pertama dari hubungan kami memang tak ubahnya hanya pernikahan di atas kertas perjanjian. Tapi aku ingin bagian kedua kami adalah cinta." Keinginan untuk dapat terus tinggal bersama, rasa kasih yang mulai tumbuh secara diam-diam dihati keduanya, bisakah mimpi menjadi sepasang dapat diwujudkan oleh mereka? Ujian pernikahan, sampai kegagalan dari menjalin hubungan, dapatkah perasaan cinta diantara keduanya sanggup menggugurkan kontrak yang mengharuskan mereka berpisah setelah dua tahun melewati hari-hari bersama? "Karena aku mencintaimu, itu sebabnya aku memilih menikah denganmu. Karena itu kamu, tidak ada alasan lain."

Paussbiru02 · Urban
Not enough ratings
15 Chs

The Sea and Missing

Gadis dengan rambut panjang terurai, mengenakan sebuah dress berwarna putih selutut, dan sepatu kaca indah yang membungkus sempurna kaki mungil miliknya itu nampak menyapukan diri menyusuri pantai nan memesona.

Sesekali langkah ragunya itu berhenti, membiarkan dirinya diterpa oleh angin laut yang membuat perasaan nyaman timbul di dalam hati. Aroma laut yang berbeda selalu dirindukan olehnya.

"Bukankah sudah lama sekali?" tanyanya, pada hamparan samudra yang begitu luas —membentang sejauh mata memandang. Gadis itu dapat merasakan bagaimana sejuknya udara pantai menyapa kulitnya yang putih bersih tersebut.

Lama membiarkan dirinya terhanyut oleh suasana melankolis, pada kenangan-kenangan yang terus menghampiri kepalanya saat ini, si cantik dengan sepatu kaca tersebut memutuskan untuk duduk dan beristirahat sejenak.

Tak takut gaun indah satu-satunya yang ia miliki itu kotor, ia duduk dengan memeluk lututnya. Cantik, bagai lukisan.

Gadis itu melepaskan pemberian terindah dari sang ibunda dan menatapnya lama, larut pada keistimewaan kilaunya yang diterpa sinar matahari senja.

"Sepatu kaca dan birunya laut. Kombinasi yang sangat pas! Seperti sesuatu yang memang ada untuk ditakdirkan saling melengkapi." tukasnya dengan mata dan bibir tersenyum.

"Bu ... Tidakkah kali ini merindukan Ara?" merasa bahwa yang terjadi begitu menggemaskan —setiap kali ia harus kesana dengan hadiah terakhir dari sosok Ibunda tercinta— gadis yang menyebutkan nama singkatnya itu tiba-tiba melirihkan kalimat lainnya.

Terdengar pilu, suaranya bergetar.

Laut memiliki begitu banyak misteri, sama seperti halnya kehidupan. Dalamnya samudra dan luasnya dunia tidak jauh berbeda.

Manusia selalu mengartikan bahwa sejatinya hidup hanya sekadar menikmati apa yang ada. Padahal, tidak demikian. Tidak hanya tentang menjalani apa yang sudah menjadi takdir, tetapi juga belajar dari setiap hal yang terjadi.

"Selamat ulang tahun, Bu."

Salah satu dari banyak hal yang harus manusia pahami adalah tentang bagaimana caranya belajar untuk dapat menerima.

Menerima, ikhlas pada keadaan yang tidak selalu berpihak pada pemberian Yang Kuasa.

"Ara selalu berdoa, bahwa dimanapun Ibu sekarang berada, semoga Yang MahaKuasa memberikan tempat yang begitu indah, membuat Ibu bahagia di sana." mengucapkan kalimat tersebut membuat gadis itu tanpa sengaja menjatuhkan air mata pertama miliknya.

Bagaimana caranya ia dapat dengan sempurna mencoba untuk baik-baik saja sementara hatinya tidak demikian?

Bagaimana caranya seseorang bisa dengan sukses menyembunyikan luka padahal rasa sakitnya datang dengan perih yang luar biasa?

"Ara bahagia dan sangat-sangat baik di sini. Jadi ... Ibu tidak perlu cemas dan khawatir. Semuanya berjalan seperti apa yang Ara harapkan."

Bohong.

Walau sampai sekarang gadis itu belum juga bisa untuk dapat berbohong dengan baik, setidaknya diantara tempat indah tersebut ia dapat menyembunyikan kebenarannya meski sejenak.

Ia berbahagia bisa mengatakan semua hal indah tersebut kepada ibunya yang tentu saja memperhatikan dirinya jauh di atas sana.

Apa yang selama ini dirinya impikan, harapkan, dan cita-citakan. Rupanya seluar biasa ini mengatakan semua hal tersebut menjadi nyata.

Menyenangkan.

"Ah, iya!" bak teringat telah melupakan sesuatu, ia memukul pelan keningnya, "Ara juga punya sesuatu untuk Ibu."

"Bagaimana Ara bisa melupakannya?!" gadis itu dengan segera bangkit. Panik karena terlambat menyadari hal paling penting dari kunjungannya saat ini.

"Sebentar, ya, nanti Ara kembali."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Sharazea meninggalkan tempat dimana sebelumnya ia berbicara sendiri dan langsung menghampiri kendaraan paling canggih —sebuah sepeda tua— yang sengaja ia letakkan tak jauh dari tepian pantai tempatnya bertemu Ibunda.

Tepat di keranjang depan sepeda itu terdapat sebuah kotak persegi yang isinya adalah apa yang Ann buat sendiri pagi ini.

Cake.

Kesukaan keduanya —ia dan malaikatnya.

"Bagaimana perayaan ulang tahun bisa dikatakan perayaan tanpa sebuah kue?!"

"Astaga, Ra, kamu benar-benar gadis yang ceroboh!" mengumpati kelalaian yang ia lakukan, setelahnya dengan hati-hati gadis itu kembali membawa kue tersebut ke tempat semula ia menikmati keindahan pantai.

Namun hal yang ia rasa tidak benar tiba-tiba menghampiri perasaannya.

"Sebentar," gadis itu mengedarkan pandangannya ke pasir putih yang begitu lembut, menyapa kaki telanjang miliknya, "Dimana aku letakkan sepatuku?"

Sebelum Sharazea memutuskan untuk mengambil cakenya yang sempat tertinggal, gadis itu ingat benar bahwa ia meletakkan kedua sepatu kaca miliknya di tempat yang semula ia gunakan untuk duduk dan menikmati pemandangan pantai.

Tetapi saat ini hilang kemana?

Bagaimana benda itu bisa lenyap begitu saja?

"T-tapi ...." ia mulai panik, tidak tahu harus merespon apa. Gerakan tubuhnya hanya memutar seperti binatang kecil khas laut yang bersembunyi di balik pasir pantai.

"Aku bahkan tidak membutuhkan waktu sampai berjam-jam untuk mengambil cakenya. Lalu bagaimana sepatu itu bisa menghilang dalam sekejap?"

Suasana pantai memang tidak tergolong cukup ramai. Bahkan ia hanya dapat melihat beberapa perahu dan orang yang sedang bermain selancar. Tidak ada pengunjung lain yang bisa ia tanyakan perihal sepatunya yang hilang.

"Apa ada yang mencurinya?"

Tidak bisa Sharazea pungkiri, bahwasanya barangkali ada kemungkinan sejak tadi terdapat sosok pencuri di tempat ini.

Pencuri?

Kenapa terdengar konyol?

Kenapa pencuri itu mencuri sepatu Anthena?

Gadis mengusap wajahnya frutasi, nampak terlihat kerutan muncul dikeningnya sebab berpikir terlalu keras. Sebelum tiba-tiba air laut naik dan tidak sengaja menyapu kakinya.

Sebentar, sepertinya gadis itu tahu siapa pelaku dari hilangnya benda favoritnya tersebut.

Menyadari itu, Ann membuka mulutnya lebar, kedua matanya membulat sempurna.

"Bagaimana? B-bagaimana ini?" ia kemudian berlari mengejar air laut yang kembali ke samudra —tempatnya berasal.

Karena ombak yang naik, Ara tidak sampai memahami beberapa hal yang harusnya ia ingat ketika berada di pantai. Bahwa apapun bisa tersapu bersih oleh si ratunya samudra —ombak besar nan indah itu.

Ceroboh.

Ia kini menghilangkan kenangan yang begitu berarti di dalam hidupnya —yang diberikan kepadanya hanya karena sikapnya yang selalu ceroboh terhadap banyak hal.

Shara ambruk. Memikirkan apa yang terjadi padanya membuatnya menjadi lemas seketika.

"Tidak bisa begini." tiba-tiba, ia memikirkan tentang sesuatu, dan segera bangkit seolah mendapati kembali keberanian yang hilang darinya. Kepalan tangan mungil itu seolah menumbuhkan tekad yang besar —yang dapat menyelesaikan segala permasalahan yang sedang ia hadapi.

"Tidak apa-apa, Bu. Ara akan dapatkan sepatunya kembali."

Tepat ketika gadis dengan gaun indah itu membulatkan niat, ia langsung —tanpa menunggu lama— pergi untuk mencari apa yang hilang darinya.

Ann bisa merelakan apa saja, ia bahkan bisa menerima bahwa ada begitu banyak kesempatan hilang darinya. Orang-orang yang ia cinta, meninggalkannya begitu saja. Tetapi kali ini gadis itu tidak akan membiarkan sepatu kaca miliknya juga direnggut pula.

Langkahnya tidak lagi ragu. Bahkan sebelumnya, ia tidak seberani ini, memasuki samudra tanpa gentar seolah ia sudah siap akan segala resiko yang ada. Semakin lama tubuhnya semakin hilang di antara air yang membentang jauh.

Ia tidak memikirkan bagaimana caranya dan apakah hal itu —tindakan konyolnya itu akan berhasil atau tidak— yang ia tahu ia harus segera menemukan kembali miliknya.

"Bu, Ara tidak mau kehilangan Ibu."

"Untuk yang kedua kalinya."