Happy Reading
"Astaga, ada apa sebenarnya dengan putriku?"
Jeritan keputusasaan yang kukuh dipendam Heaven. Apa yang menjadi penyebab utama kemunduran putrinya ini? Ava malah linglung sendiri, bagaimana caranya membantu Heaven. Kembalikan kehidupan lamanya yang penuh tawa. Menghela napas berat, Ava termangu. Pikirannya malah kacau balau. Mengutuk diri; karena telah berikan Heaven kehidupan yang merana.
Menutup pintu di belakangnya, Heaven diam. Perasaannya campur aduk antara sedih, benci sekaligus mengutuk hidupnya. Kesedihan ini perlahan merambah pada keputusasaan. Duduk di tepi ranjang, mata beningnya menilik kosong; cermin almari pakaian di depannya.
Ratapi garis wajahnya yang ringkih dan pucat pasi. Semangat jiwanya padam, luyu. Ini bukan dirinya. Heaven menutup muka dengan kedua tangan, menangis sendu. Ia benci hidupnya, bertanya-tanya mengapa dilahirkan dengan takdir dan nasib begini.
Dibesarkan tanpa ayah, kasih sayang yang tak utuh, ditempa berbagai hal aneh, dan... astaga. Apa salahnya? Dosa apa dia? Mengapa kedamaian juga ketenangan begitu sulit di minta? Insomnia membuatnya frustrasi.
Jendelanya terbuka lebar tanpa sebab angin dingin berembus kencang membelai tengkuk Heaven. Raven itu hinggapi kasau jendela kamar. Heaven melirik dari balik bahu; matanya menyipit. Lagi-lagi burung hitam itu hadir di hadapannya. Heaven tidak tahu kenapa dia terus mengikutinya. Memupus air mata---ia pun berdiri dekati burung berjenis Crow itu.
"Pergilah, di sini bukan rumahmu!" usir Heaven. Dia merupakan salah satu pertanda sial. Heaven tak mau dia ada di sini.
Bukannya menjauh, dia malah bertengger di bahu Heaven. Dia mempunyai sayap lebar, paruh runcing agak ke bawah, badannya sedikit lebih berbobot dari gagak biasa. Kali pertama Heaven menepaknya, Raven itu nyaris terempas namun dia kembali lagi ke bahu mungil Heaven.
Dia tenang dan jarang bersuara. Berkali-kali bertemu, Heaven belum dengar suaranya seperti apa. Dia malah penasaran pada Raven ini karena dia tidak mau pergi, akhirnya Heaven capek sendiri. Membiarkan Raven tetap berada di bahunya.
Terselip rasa iba membuncah di jiwa Heaven. Dia selalu membungkuk, kelihatan patuh. Melukai Heaven pun sama sekali tidak. Entah dari mana datangnya dia. Heaven jadi kasihan padanya. Dia seolah sedang bersedih, merasakan hal serupa dengannya. Raven pindah ke lengan Heaven merasa nyaman ketika jemari lembut Heaven mengelus tiap serat bulunya.
"Kau sebatang kara, ya? Atau tersesat?" Heaven bertanya. "Ternyata nasib kita tak jauh berbeda, ya. Yah, kau boleh berada di sini tapi jangan buat keributan, ya. Sebelumnya aku tidak pernah memelihara sesuatu, kau tidak terlalu buruk juga. Aku sempat berpikir kalau kau pembawa sial bagiku."
Astaga, mungkin Heaven sudah gila mengajak seekor burung aneh tersesat bicara. Sampai kapan pun Raven itu takkan mengerti yang Heaven katakan. Bulu Raven amat lebat, sehalus sutera, legam mengilat. Heaven suka burung ini tapi kiranya tidak mungkin memelihara hewan di kamar, Raven juga sejenis burung liar dan bebas, kalau dikurung atau di dalam sangkar tampaknya dia takkan kerasan.
"Kau tidak boleh berada di kamarku. Di mana, ya? Oh! di garasi saja. Sebagian jendelanya ku buka agar kau bisa keluar masuk. Ayo, kutunjukkan rumah barumu."
"Charlie, aku... dengar... Putriku sakit, aku tidak bisa meninggalkannya sendirian di rumah maka dari itu aku ajukan cuti. Hanya tiga hari saja." Ava tegaskan permintaan cutinya sekali lagi kendati pengajuannya ditolak oleh kantor. Satu tangan Ava repot mengocok telur sementara teleponnya dia jepit di telinga.
"Ava, mereka hanya ingin bertemu denganmu. Kau wajib datang kalau tidak proyek besar ini batal. Ayolah, Ava. Ini kesempatan emas, kau bisa dipromosikan ke jabatan lebih tinggi." Charlie terus berupaya membujuk Ava. Dia memelas.
"Memangnya loyalitasku bertahun-tahun ini masih diragukan? Kau mulai menyebalkan." Ava nyengir agak mengejek.
"Sekali ini saja, aku mohon bantuanmu. Setelah pertemuan itu selesai. Kau boleh cuti sesukamu." Charlie pantang menyerah, terus goyahkan pendirian Ava. "Aku telah memesan tiket malam ini ke Paris. Kau cuma perlu duduk manis saja. Semua fasilitas executive untukmu. Menunggu."
Ava berkacak pinggang, menghela napas berat. Berpikir. Menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Buntu sembari menatapi jam dinding. Sebetulnya dia berat hati meninggalkan putrinya demi tugas luar kota yang memakan waktu 3 hari ini. Mengingat kondisi Heaven yang kurang baik.
Charlie menunggu jawaban di sambungan telepon. Heaven membuka pintu kulkas meraih kotak jus. Menguping pembicaraan ibunya.
"15 menit lagi aku hubungi, Charlie."
"Kenapa, Mum?"
Ava tampak sedih melihat Heaven jadi makin memberatkan kepergiannya. Padahal rencananya, ia hendak habiskan waktu bersama putrinya. Cuti demi temani Heaven. Liburan ke tempat indah. Ava sudah membayangkan perjalanan itu akan menyenangkan tetapi sekarang semuanya berantakan.
"Aku diperintahkan terbang ke Paris, meeting penting. Aku tak bisa meninggalkanmu. Kau kan sakit."
Meletakkan gelas bibir Heaven merekah manis. "Oh, aku pikir apa. Kalau memang sangat penting. Mum pergi saja. Aku di rumah tak apa. Biasanya juga sendiri."
"Biarkan sajalah, mereka punya orang lebih baik daripada aku." Ava bersikeras pada pendiriannya. "Kau tak senang, ya. Aku berada di rumah."
Heaven menggeleng cepat. "Bukan begitu maksudku, rekan mum saja sampai memohon dan memelas. Mum tega padanya? Pergilah, Mum. Aku akan baik-baik saja. Aku tahu pikiranmu tertuju ke sana. Selesaikanlah, kau mum-ku yang paling hebat."
Mata Ava menyipit, pandangi putrinya dengan curiga. "Kau mengusirku?"
"Ucapanmu ngawur. Jangan khawatirkan aku, tenang saja. Aku masih tangguh." Kilah Heaven mengedipkan matanya.
Ava mengangkat bahu, kurang mengerti cara pikiran Heaven. "Ya ampun, ada apa denganmu? Kenapa suasana hatimu cepat sekali berubah? Okay. Aku pergi ke Paris, setelah aku menyewa orang yang bisa menjagamu."
"Mum?! Aku bukan bayi?!" Protes Heaven. Kadangkala memang sulit memahami jalan pikiran Ava. Keputusan ini yang paling dibencinya. Pengasuh?. Astaga. Heaven tak percaya ini terjadi. "Biarkan aku memanggil salah satu teman kuliah saja, ya?"
"Aku akan hubungi jasa pengasuh. Jangan membantah."
"Ya tuhan..." Heaven menutup mukanya, menggelengkan kepala.
.
.
Tbc...