webnovel

Three : // A Dead Woman (3)

Happy Reading

"Terima kasih banyak, maaf telah merepotkan." Kata Ava merasa tak enak hati.

Mr. Keefe manggut-manggut. Raut mukanya sirat kecemasan. Ia mengenal Heaven dengan baik, dia salah satu mahasiswi cerdas. Rekapan nilai di atas rata-rata. Nilai akademisnya paling tinggi selama 3 semester berturut-turut.

Heaven juga pernah berpartisipasi olimpiade internasional, torehkan prestasi luar biasa di kancah olimpiade antar negara dibidang sains. Perubahan signifikan terjadi setelah dia naik ke semester 4. Hal-hal aneh mencuat, kadang-kadang Heaven kebingungan sendiri. Patah arang dan tidak rasional.

"Saya cemas terhadap putri anda, dia adalah gadis jenius. Menyenangkan hati. Jujur saja saya sedih, melihat putri anda begini. Pihak universitas berupaya segala cara, mengajaknya bicara tapi kami tidak temukan solusi. Heaven menutup diri. Bersosialisasi pun jarang. Saya harap, anda sebagai orang tuanya bisa lebih intens mengawasi Heaven. Kurasa dia sedang butuhkan bantuanmu, mungkin dia tidak tahu bagaimana cara sampaikan keluhnya." Ungkap Keefe panjang lebar sebagai dosen ia turut prihatin.

"Anda tahu? Heaven sangat disayang oleh principal universitas. Berkali-kali harumkan nama kampus tapi selama di kelas, dia kacau. Sering melamun atau menangis sendiri tanpa sebab. Sebaiknya kau cek kesehatan Heaven."

Dengan tatapan sendu, Ava pandangi putrinya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. "Baik, Saya mengerti. Mr. Keefe. Saya sangat berterima kasih sekali. Saya akan lebih memperhatikannya."

"Kalau begitu saya permisi." Keefe menarik diri.

Ava mengempas napas letih. Betapa terjal jalan hidup ini. Nestapa yang amat dibencinya. Jemari mulus Heaven digenggamnya erat. Mata Ava berkaca, kekhawatiran jelas teraut di muka. Heaven tidak pernah sekali pun mengeluh, rasa bersalah mengungkung di hati Ava. Sesali tindakannya tempo lalu. Sungguh. Ava tidak sengaja menampar Heaven sehingga meninggalkan bekas memar di pipi putrinya.

Sebagai seorang ibu mestinya Ava bisa lebih sabar, hadapi tuntutan Heaven yang terus bertanya perihal Michael. Dia salah telah lukai hati putrinya, memukul jiwanya yang rapuh. Jika Ava mampu memutar waktu, dia takkan lakukan itu. Heaven tertekan akibat ucapan dan tindakan Ava sampai-sampai dia hancur begini.

"Maafkan aku, sayang. Harusnya aku tidak berlaku keras terhadapmu. Semua ini salahku." bisiknya nyaris tak terdengar mengecup punggung tangan dingin Heaven. Mengusap lembut kepala anak gadisnya. "Nyatanya berjuang sekeras apa pun agar perhatianmu teralihkan, tetap tidak bisa mengisi kekosongan hatimu."

Sekarang Ava harus bagaimana? Ke mana lagi ia harus membawa Heaven pergi. Ava memupus airmatanya. Meski pun dia juga sebenarnya amat lelah, Ava mesti kuat demi Heaven.

"Mrs. Summers?"

"Iya." Sahut Ava menoleh.

Wanita di belakangnya tersenyum hangat, dia mengenakan pakaian juga atribut perlengkapan dokter. Menggenggam silabus di tangannya dan diserahkan ke tangan Ava. "Maaf, aku harus sampaikan ini. Putrimu... Dia harus temui psikiater. Dia depresi-ringan."

Ava terperangah. Diagnosa macam apa ini, mengapa dia bisa memvonis putrinya sakit mental. "Apa maksudmu? Putriku, waras. Bagaimana bisa kau memvonis dia depresi. Apa kau tahu apa artinya ini? Jangan bicara sembarangan." Protes Ava mengelak.

"Tidak ada tanda-tanda penyakit kronis apapun, Mrs. Summers. Putrimu tertekan karena sesuatu hal, dia kelelahan. Apa kau tahu, dia alami insomnia parah? Sebelum ini, dia pernah menemuiku, dia keluhkan insomnianya." Urai dokter tersebut mencoba tetap sabar. "Untuk sementara ini depresi ringan adalah diagnosa awal. Mungkin saja, ada faktor lain penyebab utama dari kelelahan parah. Bukan berarti dia sakit mental. Tenanglah. Putrimu baik-baik saja, tidak ada yang perlu kau cemaskan; tapi tak ada salahnya juga dia kunjungi psikiater."

Ava terdiam agaknya masih mangkel. "Aku mau bawa putriku pulang."

"Biarkan dia istirahat sebentar. Aku permisi."

Ava membanting silabus di tangannya, pedar sekali. Duduk menunggu Heaven sadar. Ponselnya terus bergetar, kantor pusat menghubungi tiada henti. Pekerjaannya memang sedang menumpuk, besok adalah kunjungan investor penting dari Jerman. Ava wajib hadiri pertemuan tersebut sebab mereka hanya ingin bertemu kalau Ava datang, kesepakatan bisa saja batal.

Pikirannya tengah fokus pada Heaven. Insomnia parah? Jadi selama ini, Heaven kesulitan tidur di malam hari. Ava tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Masalah Heaven nyatanya serius, Ava terlalu meremehkan; dia kecolongan. Kurang perhatikan kondisi putrinya.

"Maafkan, aku. Sayang."

.

.

Heaven....

Bisikan itu sadarkan Heaven. Kedua matanya terbuka pelan, samar dan berbayang. Kepalanya berputar, dia pegangi dahi sambil meringis. Ava merengkuh Heaven erat, membantunya untuk bangun dari tempat tidur.

Sebentar Heaven terduduk, kumpulkan segenap energi, tubuhnya amat lemas dan letih, seolah energinya digerus secara paksa. Ava sodorkan segelas air yang diminum Heaven kemudian.

"Mum... "

"Apa yang sakit, Heaven?" tanya Ava menyibak lembut rambut Heaven. "Kita pulang, kau kuat berjalan?"

Wajah Heaven pucat seputih kapas, rona di pipi yang biasanya cerah pun pudar. Ringkih, lesu, semangat hidupnya seakan direnggut dengan cara buruk. Dia tampak menyedihkan. Ava baru sadar betapa menderitanya anak gadisnya. Terlalu sibuk mengurusi pekerjaan, menutup telinga juga matanya selama ini.

"Iya, Mum. Aku kuat." kata Heaven turun dari ranjang.

Ava menyambar lengan Heaven dengan ringan, "Pelan-pelan saja, sayang."

Ia ingat apa yang telah terjadi, halusinasi mengerikan itu kian menekan kewarasannya. Mulai menyerang secara sadar. Pikiran Heaven sakit. Batinnya amat tersiksa. Dia kolaps, tak tahan hadapi gambaran yang terus menyakiti tubuhnya.

Matanya berkaca. Heaven ingin menyerah tetapi siapa yang bisa menolongnya? keluar dari semua ini. Ia jadi kesulitan bedakan antara kenyataan dan ilusi. Sosok berjubah hitam itu---tak tahu makhluk macam apa. Yang Heaven tahu, dia merasuki pikirannya kemudian menyerangnya dengan gambaran mengerikan.

Bungkam sepanjang perjalanan pulang, Heaven membisu. Tatapan mata kosong memancang langit yang tengah bermuram durja. Ava iba, mengelih kondisi putrinya. Kenapa jadi begini? Ava takkan tahu jawabannya jika Heaven diam. Ava pikirkan saran dokter universitas tadi agar menemui psikiater namun dia segera menelengkan kepala, percaya kalau Heaven baik-baik saja.

Rumah menjadi sangat asing di mata Heaven, diindahkan sebagaimana rupa pun tetap lain. Ia amat lejar cuma ingin istirahat. Berbaring di atas tempat tidur empuk, hangatkan diri di balik selimut. Hanya ingin tidur nyenyak. Salju turun lebat di sore hari, Heaven relakan kepalanya basah oleh butiran salju. Ava kuakkan pintu utama, mendudukan putrinya di sofa guna melepas sepatu.

"Bisa kita bicara?" pinta Ava agak memohon. Betapa lembut suara itu.

Heaven cuma tertunduk dalam. Merenung. Tidak bisa putuskan bahwa ia berani atau tidak kendati melirik Ava. Pasrah saja kalau ibunya juga ikut menghakiminya. Heaven akan dengarkan tiap lontaran amarah beliau. Heaven capek dengan hidupnya. "Aku dengarkan..." katanya lesu.

"Mr. Keefe telah jelaskan segalanya padaku. Terkait nilai akademismu yang turun, kelakuan menyimpang, dan aneh---aku tak marah. Aku ingin tahu, apa yang terjadi padamu, sayang?" Ibu lebih tulus sekarang padahal di hari sebelumnya, ketulusan itu nyaris lenyap karena mereka bersikukuh pada ego masing-masing.

"Maafkan aku, kalau kurang memperhatikanmu, kurang menyediakan waktu untukmu. Kau pasti tahu betul posisi juga kesulitanku. Maaf, aku bukan seorang mum yang sempurna. Jauh di lubuk hatiku, aku menyesal, apa yang telah aku perbuat padamu. Semua ini aku lakukan---karena aku mencintaimu."

Jujur bukanlah hal semudah membalikkan telapak tangan, Heaven merasa dirinya menyedihkan, tidak punya keberanian untuk beritahu Ava segalanya. Insomnia parah di malam hari, mimpi terburuk yang amat pengaruhi tiap helaan napasnya. Heaven krisis kepercayaan pada diri sendiri juga orang lain. Adakah yang akan memahaminya?

"Dokter universitasmu bilang kau sempat menemuinya karena keluhkan insomniamu. Ceritakan padaku. Aku akan mengerti bila kau katakan sejujurnya."

"Lantas, apa mum akan percaya?"

Ava mendesah berusaha sabar. "Tentu aku percaya, kau putriku---meragukan aku?."

"Teramat rumit dijelaskan, Mum. Yang menimpaku sangat kompleks."

"Aku punya waktu luang, ayolah. Ceritakan padaku, mungkin aku bisa membantu," rayu Ava. "Aku sangat mencemaskanmu. Selain aku masih banyak orang yang sangat menyayangimu. Janganlah kau kecewakan mereka. Izinkan aku memahamimu, rasakan penderitaanmu. Aku di sini untukmu, Heaven." katanya merengkuh bahu putrinya.

Telepon rumah berbunyi nyaring, memotong kebersamaan antara ibu dan anak yang jarang sekali terlihat. Mata Heaven siratkan bahwa ingin akhiri pembicaraan ini secepatnya. Ia bersikukuh diam. Meskipun sebenarnya Heaven putus asa, berkali-kali ingin menyerah tetapi ia merasa masih bisa selesaikan masalah ini sendiri.

Awalnya Ava tak menjawab telepon itu namun mesinnya terus berdering tiada jeda. Ponsel miliknya di dalam tas pun terus bergetar.

"Sebaiknya mum jawab teleponnya."

"Kita belum selesai, sayang."

Heaven mengibas tangannya. "Mum, beri aku waktu... Aku ingin sendiri." Sendunya.

"Okay, jika memang itu yang kau inginkan. Aku menunggu, kapan pun kau siap, sayang. Ya ampun, mereka terus saja menelepon. Kapan aku bisa istirahat walau cuma satu hari?"

Ava pikir pembicaraan ini merupakan awal yang baik. Heaven mulai bisa diajak bicara santai. Tanpa ketegangan seperti waktu kemarin. Mereka saling mengerti dan memahami. Ava temukan titik kelemahan Heaven. Hubungan mereka ke depan harus diperbaiki. Pekerjaan terlalu menyita waktu Ava sehingga kurang perhatikan Heaven. Dengan menuruti kemauan Heaven; segalanya pasti membaik.

"Boleh, aku ke kamar?"

"Ya, istirahatlah. Aku buatkan makan malam, ya."

Heaven tersenyum simpul, yakinkan Ava bahwa ia baik-baik saja. Tetapi tampaknya senyum manis itu tak cukup mengusir kegundahan di hati Ava. Jelas, dia gelisah. Ada yang salah dengan putrinya, sorotan matanya hampa. Ava merasakan betul penderitaan tiada ujung di dalam diri Heaven.

.

.

Tbc