Harimau Penjaga II
Part 2
Pindahnya Si Anak Nakal
Part sebelumnya :
Ayah tentunya menyarankan agar kiranya aku dapat berkuliah di Singapura ataupun di Malaysia mengingat kemampuan otak yang kupunya tidak terlalu rendah. Namun berbeda dengan Ibu. Ia tidak menyetujui saran dari Ayah dan membiarkan aku untuk memilih tempat kuliahku sendiri. Lagipula menurutnya jika aku berkuliah di kota tersebut. Ia dapat dengan mudah bisa mengunjungi aku. Awalnya Ayah menentang saran dari Ibu, hingga akhirnya Ayah pun luluh dan memberikan izin tentang kepindahanku ke kota tersebut. Awal mula kisah merantauku yang penuh liku ini akan dimulai dari sekarang.
***
Jauh hari sebelum aku diberangkatkan menuju kota ini. Ibu sudah memberikan pesan kepada adiknya yang tidak lain adalah Tante Rysa agar mencarikan sebuah rumah kost-kostan untukku tinggal selama nantinya berkuliah. Perkara kuliah aku sudah tidak perlu lagi ambil pusing. Hal ini dikarenakan semuanya sudah diatur oleh Ayah dan juga para koleganya. Setidaknya untuk sekarang ini. Hal yang masih kuingat kala itu adalah ketika Ibu sibuk memberikan wejangan sebelum aku pergi merantau ke kota lain. Ia benar-benar sibuk menjelaskan apa saja yang harus aku lakukan nantinya. Mulai dari hormat kepada orang lain, menjaga sopan santun dan juga tutur kata yang sopan ketika berada di tempat orang lain. Semua hal yang berhubungan dengan ramah-tamah kehidupan sosial diajarkan oleh Ibu panjang lebar kala itu.
Ayah tidak banyak berkata apa-apa. Ia hanya berharap agar aku dapat segera menyelesaikan kuliahku dan kembali ke kerajaan bisnisnya, setidaknya ia benar-benar berharap agar aku dapat meneruskan merintis semua pekerjaan yang sudah ia peroleh saat ini.
Aku segera berpamitan tak lama setelah mobil yang dikendarai oleh Mang Dirman supir keluargaku memasuki pelataran parkir. Mang Dirman ditugaskan untuk segera mengantarkan aku menuju kota dimana nantinya aku akan berkuliah, jarak antara rumah dengan Ibu kota Provinsi itu tidak kurang dari 5 jam perjalanan yang ditempuh dengan jalur darat, sebenarnya bisa saja menggunakan pesawat dan hanya memakan waktu 45 menit saja. Tapi yang menjadi masalah adalah bandar udara tidak tersedia di Kabupaten Kota ini yang tentunya mengharuskan aku untuk menempuh setidaknya 2 jam perjalanan lagi menuju kota sebelah agar bisa berangkat dengan pesawat kecil menuju kota Palembang tempat dimana nantinya aku akan berkuliah.
Mang Dirman segera membukakan pintu mobil dan mempersilahkan agar aku segera masuk ke dalam, "Silahkan masuk tuan muda! Perjalanan kita akan cukup jauh mulai dari sekarang." ujarnya ramah.
"Baik pak. Ayo segera berangkat! Ayah ... Ibu ... aku pergi dulu. Assallamu'alaikum!" sembari segera menyalami kedua orangtuaku tersebut.
Pintu mobil perlahan ditutup dan aku segera meninggalkan rumah ini dengan perasaan hampa. Mulai dari sekarang setidaknya aku akan sedikit butuh waktu untuk melepas kangen dengan Ibu. Namun dibalik itu semua ada banyak hal yang tidak kusadari di dunia ini. Terutama mengenai sekelebat bayangan yang sedari tadi memperhatikan aku dari atas atap rumah.
"Grr ... anak itu sudah meninggalkan rumahnya, Raden! Mari kita bergegas!"
"Rawr ... Baik Kakek!"
Hal yang selanjutnya terjadi adalah kedua bayangan hitam itu segera mengikuti ke arah mana mobil ini bergerak.
Handaka yang merasa mengantuk kemudian mencoba untuk menutup matanya rapat-rapat. Ia berniat untuk segera tidur sembari mendengarkan beberapa lagu dari balik headphone berwarna putih yang kini ia kenakan. Mang Dirman sedang sibuk dengan rokok ditangannya sembari berkonsentrasi dengan jalanan yang ada. Tidak terasa sudah 2 jam lamanya, Handaka terlelap dalam tidurnya. Mang Dirman yang mulai merasa bosan kemudian memutar beberapa lagu Rhoma Irama yang begitu ia sukai untuk menghilangkan rasa bosan selama berkendara.
Memasuki sebuah daerah yang memang rawan akan kecelakaan lalu lintas, Mang Dirman yang tampaknya kurang awas dan tidak terbiasa dengan medan jalan yang berbatu dan juga berlubang kehilangan fokus ketika sesekali melirik ke jalanan yang di depannya serta tidak menyadari adanya seorang pengendara motor yang sedang sibuk memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tidak sempat untuk mengerem, membuat Mang Dirman membanting stir mobil ke arah kiri dengan niat untuk menghindari pengendara motor yang ugal-ugalan tersebut agar tidak tertabrak oleh badan mobil.
Melihat hal ini kedua bayangan hitam yang sedari tadi mengikuti kemana mereka berdua pergi segera melompat menuju jalan raya.
"Aku akan menahan mobil agar tidak terperosok ke dalam jurang! Dan kamu Raden lindungi pengendara motor itu agar tidak terlindas oleh mobil anak itu!" perintahnya.
Disertai sebuah anggukan di kepala membuat sosok hitam yang satu lagi segera melesat dengan cepat menunaikan tugasnya.
"Argh!!!" teriak Mang Dirman.
Ban mobil yang tergelincir akibat dari gesekan antara rem dan juga jalan yang berpasir membuat mobil sempat hilang kendali dan menyasar ke arah kiri tepatnya pembatas jalan. Namun belum sempat badan mobil menyentuh pembatas jalan, tiba-tiba sosok bayangan hitam tadi mengambil bentuk menyerupai Harimau besar berwarna putih dan dengan serta merta menahan badan mobil tersebut dengan tubuhnya. Hal ini ternyata membuat mobil SUV mini bus ini berhenti sebelum menabrak pembatas jalan dan jatuh ke dalam jurang, sedangkan pengendara motor yang ugal-ugalan tadi tiba-tiba terpental ke arah kanan dan terjatuh di atas tanah rumput yang basah akibat disenggol oleh tubuh Harimau berwarna kuning loreng yang tiba-tiba melintas di depan mereka berdua.
Laki-laki yang mengendarai motor itu kontan segera pingsan di tempat kejadian, sedangkan wanita yang dibonceng sempat terjatuh dan mengalami luka robek di bagian lututnya akibat tergesek dengan aspal. Namun yang membuat wanita ini benar-benar terkejut adalah apa yang kini ada di hadapan matanya, sesosok Harimau loreng berwarna kuning tengah berdiri dan perlahan-lahan mendekat ke arah mereka berdua.
"Ha ... Har ... Harimau!!!" teriaknya lirih dan perlahan-lahan kesadarannya jadi kabur dan tergeletak jatuh di atas tanah.
Para warga yang melihat kejadian tersebut segera berdatangan ketika mendengar suara benturan yang cukup keras. Mang Dirman segera turun dari mobil dan mengecek keadaan kedua pengendara yang terkulai pingsan di atas tanah. Beruntung para warga segera mencoba untuk menolong korban dan tidak menghakimi Mang Dirman. Mang Dirman juga segera meminta maaf dan berujar akan segera bertanggung jawab dengan para korban. Ia benar-benar merasa hampir mati di kala itu. Bagaimana tidak dibalik pembatas jalan di sebelah kiri terlihat jurang yang setidak-tidaknya memiliki kedalaman lebih dari 10 meter.
Handaka yang terkejut dengan keadaan tersebut segera keluar dari dalam mobil dan membantu para warga memasukkan korban ke dalam mobil.
"Kira-kira rumah sakit jaraknya berapa jauh dari tempat ini, Pak?" tanya Handaka sopan.
"Kurang lebih sekitar 1km lagi, Mas! Ada baiknya saya antarkan kesana!" ujar seorang bapak-bapak dengan peci hitamnya.
"Baiklah kalau begitu, Pak! Ayo ikut kami! Nanti saya antar setelah semuanya selesai!" balas Handaka cepat.
Pak tua dengan peci hitam itu mengangguk dan mobil yang dikendarai oleh Mang Dirman segera melesat menuju ke rumah sakit.
Ketika akan memasuki mobil, Handaka seperti melihat sesuatu yang ganjil di tempat kejadian. Ia menoleh ke arah spion mobil dan melihat seorang pria tua dengan pakaian serba putih tengah berdiri di belakang mobil. Karena penasaran, Handaka segera turun dari mobil dan melihat siapa gerangan kiranya pria tua dengan pakaian serba putih barusan. Namun nihil, ia tidak menemukan siapapun dibalik mobilnya kecuali kerumunan warga yang masih sibuk membereskan bodi motor milik korban yang kini tengah pingsan didalam mobil.
"Aneh ... aku merasa seperti melihat seorang kakek tua tadi!" ujar Handaka sembari mengoceh perlahan.
"Memangnya ada apa, tuan muda?" tanya Mang Dirman penasaran.
"Ah tidak ... mungkin hanya perasaanku saja! Ayo segera berangkat, Mang!"
Kemudian Mang Dirman dan Handaka segera pergi meninggalkan kerumunan warga serta berniat bertanggung jawab akibat lakalantas yang baru saja terjadi. Tidak butuh waktu lama, akhirnya Handaka dan Mang Dirman sampai di rumah sakit yang dimaksud. Perawat mulai sibuk membantu menurunkan korban dari dalam mobil dan tidak lama kemudian sebuah motor milik anggota Polisi mendekat ke arah kami bertiga.
"Selamag siang! Apa benar bapak yang mengendarai SUV dengan Nopol. BG 4578 D*?"
"Benar pak! Saya yang mengendarai mobil tersebut!"
"Kalau begitu bisa saya minta waktunya sebentar untuk dimintai keterangan."
"Baik pak!"
Polisi itu segera mewawancarai Mang Dirman mengenai lakalantas yang baru saja terjadi. Handaka yang melihat kejadian ini segera mengambil inisiatif untuk mengabari Ayahnya. Ia tidak ingin masalah ini menjadi berlarut-larut dan tentunya membuat dirinya semakin lama tiba di kota Palembang.
"Assallamu'alaikum Ayah!" sahut Handaka dari seberang telepon.
"Wa'alaikum salam. Ya ada apa, kak? Kamu sudah sampai?" balas Ayah.
"Mang Dirman dan aku terlibat masalah, yah! Mang Dirman mengalami kecelakaan sebelum memasuki kota Palembang dan ini membuat dua orang pengendara motor jatuh pingsan serta sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit Pelita Harapan."
"Hmm ... ya sudah kamu tenang dulu, kak! Biar Ayah yang selesaikan semua ini. Apa pihak yang berwajib sudah tiba di tempat kejadian?" selidik sang Ayah.
"Iya ... kedua Polisi itu baru saja tiba, yah! Mereka sekarang sedang memintai keterangan dari Mang Dirman."
"Ya sudah ... berikan telepon itu kepada salah satu anggota Polisi tersebut!"
Handaka segera menuruti perintah Ayahnya. Ia tentunya berniat agar masalah ini cepat selesai.
"Maaf pak ... kebetulan orangtua saya ingin bicara dengan Bapak via telepon!" ujar Handaka cepat.
"Oh ... baiklah!" balas anggota Polisi dengan kumisnya yang tebal ini.
"Halo selamat siang! Dengan siapa saya bicara?"
Tidak butuh waktu lama, akhirnya suara lantang yang dikeluarkan oleh Polisi ini seketika berubah menjadi halus dan lembut.
"Oh dengan Bapak Hariyanto Usada. Maaf pak ... saya sampai tidak mengenali suara bapak! Jadi ini mobil bapak? Baiklah akan saya urus dengan cepat, pak!" Polisi ini terlihat seperti seorang anjing pejilat yang kini tengah menghiba sepotong tulang di hadapan Ayah.
Handaka hanya tersenyum kecut sembari kemudian berjalan untuk duduk di sebuah bangku yang masih terlihat kosong. Matanya masih sibuk memperhatikan Polisi yang tengah menelpon dengan sang Ayah.
#Bersambung
Note: Budayakan koment, subscribe dan juga share cerita ini. Agar makin banyak yang baca. Komentar, saran ataupun kritik dari kalian sendiri adalah penyemangat bagi TS agar terus mengupdate cerita ini ke depannya.
Terima kasih.
Selamat membaca.