webnovel

Akhir Hayatnya – 7

Keesokan harinya, Khidir membangunkanku. Sedikit berbeda karena yang biasanya membangunkanku selama ini adalah Mariam kalau aku tidak bangun sendiri. Entah apa yang terjadi pada Mariam, aku jadi ingin bertemu kembali dengannya.

"Kyara," panggilnya lagi.

Aku menyahut meski mataku terasa berat. Sejak kemarin aku merasa aneh, bukan sakit maupun perasaan lain. Antara nyaman dan resah di saat yang sama. Kami memang telah berada di akhir kisah waktu ini, tapi bagaimana berikutnya? Seperti ada sesuatu yang menungguku jauh di masa depan sana. Entah apa.

"Ayo," bujuknya dengan nada pelan. "Kau aman sekarang, kita bisa pergi tanpa rintangan."

Seperti biasa, suara para Guardian memang enak didengar, membuatmu merasa aman di sisinya. Membuat tidurku kian nyenyak saja.

Aku mencoba bangun meski dunia masih tampak berputar. "Ke mana?" tanyaku malas.

"Danbia," jawabnya. "Adikmu menunggu."

Mendengarnya, aku berjuang untuk bangkit dan membuka mata dengan lebar. "Sebentar."

Kabar Remi hampir tidak pernah terdengar sejak kami terpisah. Adik yang baru kukenal beberapa hari itu telah membuatku merasa bertanggung jawab atas keselamatannya, meski kami berdua dijaga oleh sekumpulan orang yang "cukup" terlatih.

"Stafford sudah menunggu." Khidir berdiri dan bergerak menjauh. "Ayo, semangat pagi!" Kutahu dia hanya mencoba menerangi suasana.

"Eh, pakai apa kita?" tanyaku. "Kuda?"

Kudengar Khidir tertawa pelan. "Es."

Mataku terbuka lebar. Memang ini tidak aneh lantaran Ezekiel pernah menggunakannya bersamaku. Tapi, ini terkesan berlebihan di saat yang sama. Es? Apa tidak meleleh? Tunggu, barusan aku ingat kejadian di mana kota membeku begitu lama. Kalau kota saja susah mencair esnya, bagaimana dengan ... kereta es? Baru saja bangun sudah disuruh berpikir.

"Ayo, Kyara!" seru Khidir yang terdengar mulai melangkah keluar dari pintu. "Mereka mungkin butuh bantuan."

"Tunggu, mereka siapa?" Aku yang baru saja bangun tentu tidak mampu mencerna apa gerangan yang terjadi.

"Para Guardian!"

"Sebentar!" Aku bergegas merapikan rambut dan menyisirnya dengan sisir yang disediakan, barangkali punya Khidir.

Beberapa saat menunggu, aku akhirnya siap dan kami berjalan keluar. Akhirnya mata hijauku mampu melihat dunia dengan lebih jelas. Aku berdecak kagum begitu melihat kereta yang berwarna biru cerah, bentuknya menyerupai kaca dan jelas terbuat dari es ciptaan Ezekiel.

Terlihat rambut pirang Ezekiel muncul dari jendela. Dia tersenyum dan memberi kami isyarat untuk masuk. Saat masuk, aku membantu Khidir membawa sejumlah tas yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Tas-tas tadi diletakkan di bagian belakang sementara aku duduk bersama Khidir dan berhadapan dengan Ezekiel.

"Pagi," sapa Ezekiel yang hanya kubalas dengan senyuman.

Saat itulah kereta melaju dengan sendirinya. Ketika aku melihat jejak kereta di belakang, terlihat bekas es yang perlahan mencair seakan itu yang membuatnya berjalan maju. Sementara bagian depan tidak terlihat lintasan. Sepertinya es itu berjalan bersamaan dengan rodanya sehingga menciptakan jejak basah di tanah. Kereta melaju melintasi hutan di kota Adrus, menyisakan negeri Arosia yang belum terjamah manusia sebelumnya.

Mengingat kota Adrus, aku langsung bertanya. "Ezekiel, bagaimana nasib warga Adrus setelah ini?" tanyaku.

"Kemarin gue sudah bilang ke mereka kalau gue bakal pergi karena tugas sudah selesai, mereka iya aja, sih," jawab Ezekiel.

Sepertinya, dalam lubuk hati, mereka lega akhirnya Ezekiel pergi. Menginggat dia sudah beberapa kali membuat mereka ketakutan. Namun, risikonya Adrus telah ditinggalkan pelindung mereka. Ah, aku seharusnya tidak memikirkan itu semua. Sesuai dengan ucapan Ezekiel kemarin.

Beberapa jam berlalu dalam keheningan, aku hanya menghabiskan waktu dengan menatap para pelindungku yang ... sibuk dalam dunia mereka berdua. Tampaknya Ezekiel dan Khidir mulai membicarakan sesuatu yang hanya mereka berdua pahami. Aku simak beberapa kalimat, tapi tidak pernah kupahami apa yang dibicarakan bahkan topiknya saja tidak kutahu. Akibatnya, aku jadi lupa apa persis obrolan mereka hari itu sehingga ketika menulis bagian ini, aku masih tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Tampaknya menarik karena keduanya mulai mengabaikan keberadaanku. Tidak aneh kalau dua Guardian saling memahami, tapi aku juga penasaran apa yang mereka bicarakan. Hingga tiba di mana ada hal yang sedikit kuingat.

"Kau serius membaca semuanya?" tanya Khidir. "Benda itu tampak memyimpan ilmu yang tak terbatas."

Ezekiel terdengar meremehkan. "Mana ada. Gue baca beberapa bab dan sebagian enggak lengkap, mana enggak ada gambarnya lagi. Lebih parah dari buku. Gue coba cari pengetahuan umum kayak sapi misalnya, tapi tahu sendiri kalau isinya hanya penjelasan umum dari binatang itu."

"Jadi, tidak ada ilmu lengkap di sana?" tanya Khidir.

"Enggak." Ezekiel lalu memamerkan benda itu. "Kalau lo mau pakai, pakai aja. Gue enggak mau benda ini lagi."

"Ezekiel," panggilku. Aku lanjut bicara ketika dia menyahut. "Kamu sepertinya senang menyimpan benda itu di rumah. Kenapa langsung disingkirkan?"

"Yah, wajar, sih. Sebenarnya setiap Guardian gitu, saling barter benda," sahut Ezekiel. "Eh, Khidir, lo ada benda selain ini, enggak?"

"Aku punya tempat untuk menyimpan benda, hanya Zahra yang bersedia membukanya untukku," jawab Khidir. "Kau sepertinya akan tertarik dengan sebuah benda magis–"

Ezekiel memotong obrolannya. "Lo masih punya bantal panjang itu?"

"Yang mana?"

"Bantal panjang apa saja." Ezekiel terdengar berharap. "Gue pengen ada yang menemani pas tidur."

Khidir terdiam sejenak, tampak memikirkan jenis bantal yang mungkin cocok untuk temannya. "Baik, nanti kubawakan ke Zarqan."

"Yang baru, ya," pesan Ezekiel. "Ngomong-ngomong, beberapa harta kita masih ada di Zarqan, 'kan?"

"Kulihat masih," jawab Khidir. "Apa sebaiknya kita simpan harta saat ini di sana?"

"Bagusnya gitu, cuma tunggu Hyde aja, deh." Ezekiel pun kembali memandangi dunia luar. "Oh ya, jangan lupa bantalnya."

"Akan kuberi yang paling bagus kualitasnya," sahut Khidir yang mana dibalas dengan senyuman kegembiraan dari Ezekiel.

Bicara soal menyimpan barang, aku jadi ingat sesuatu yang tersimpan di rumah Ezekiel dulu. Bukan, bukan buku dengan wujud aneh itu, atau bubuk sakit gigi.

Aku panggil lagi Ezekiel. "Kulihat ada baju yang kamu pajang di rumah waktu itu," lanjutku untuk mengisi waktu. "Kamu dibesarkan di panti, bukan?"

Ezekiel melirik ke jendela seakan menginggat sesuatu. "Gue sebenarnya punya sepasang orang tua kandung. Kadang mereka enggak paham gue, sih, sampai ngancam gue bakal dibuang kalo makin bandel. Cuma waktu itu, karena gue masih saja bandel, akhirnya dikirim ke sana."

Aku terdiam mendengarnya. Memang senakal apa dia dulu? Baru kali ini kudengar orang tua membawa anaknya ke panti alih-alih menyekolahkannya di asrama atau tempat yang khusus untuk melatih sikap.

"Gue bermain di panti selama beberapa tahun. Sampai terjadi kecelakaan yang mana menewaskan pengurusnya. Akhirnya gue pulang," lanjut Ezekiel dengan antusias seakan menceritakan pengalaman seru. "Pas pulang, gue enggak tahu kenapa, baru tahu selama ini punya abang seayah yang kebetulan lagi seorang Guardian. 'Wah,' kata gue, 'Seru nih pasti.'"

Dia menceritakannya dengan penuh gairah hingga nyaris membuatnya kehabisan napas. Dari kisah masa lalunya, harusnya aku bersimpati. Kisanya cukup memilukan. Membayangkan orang tuanya tidak memahaminya sejak awal. Namun, dia menceritakannya layaknya sebuah kisah biasa di masa lalu. Atau jangan-jangan dia yang sebenarnya bermasalah. Aku tidak berani mengungkapkan langsung padanya.

"Tunggu, dari mana kamu tahu?" tanya Khidir.

"Daddy punya dua istri, cuma baru sekarang serumah." Dia menjawab. "Sekarang keluarga gue makin lengkap. Cuma setelahnya, mereka pergi dalam satu malam karena dipanggil pemerintah, cuma gue enggak tahu ada apa. Gue sama Darren waktu itu masih kecil juga. Akhirnya kami diurus sama orang lain. Jadi, sekarang pindah rumah dan jadi warga Adrus."

Cerita yang cukup rumit. Namun, aku tidak ingin bertanya lebih perihal "dipanggil pemerintah" tadi. Antara Ezekiel tidak tahu maksudnya atau menyembunyikan fakta itu. Pastinya ini bukan pertanda baik.

Kami habiskan perjalanan dalam obrolan ringan–lebih tepatnya aku menyimak kembali obrolan antara Ezekiel dan Khidir perihal hal yang hanya mereka berdua pahami. Sesekali juga aku ceritakan pengalamanku selama empat tahun tinggal bersama Mariam, Idris, dan Khidir. Di saat itulah aku tanyakan pada salah satu dari mereka.

"Selama empat tahun mengurusku, apa yang kalian lakukan?" tanyaku pada mereka. "Aku mengira kalian diam-diam saling mencari selama itu dan berniat akan berkumpul."

"Ya, memang itu," jawab Khidir. "Tapi, aku tidak banyak bertindak selain sebagai pemgamat. Aku baru melihat Stafford saat dia pamer di sebuah kedai."

Ezekiel tersenyum. "Gue saat itu lagi pamer kalau es gue bisa menari dengan indah. Sayangnya, sih, Khidir malah enggak tertarik."

"Aku tidak bermaksud menyakitimu, tapi niatku hanya sekadar mencari Guardian sepertimu," balas Khidir. "Kamu sendiri yang lebih dahulu menghampiri. Mana bertanya di mana Kyara waktu itu."

"Eh? Masa?" Aku menatap Ezekiel. Terkejut mendengar kisah itu.

"Gue juga punyak hak buat tahu, lho. Masa enggak dikasih tahu." Ezekiel bersedekap.

"Kamu bertanya di keramaian, mana bisa kuberi tahu," balas Khidir. "Berpikir sedikit, jika kamu asal membongkar rahasia kita, maka semua hancur sudah."

"Jangan lebay, deh," sahut Ezekiel. "Kalau rahasia yang itu enggak bakal kebongkar, kok."

"Aku tidak percaya," balas Khidir. "Kamu bisa bertanya saat tidak ada orang luar yang mungkin akan mendengar."

Astaga, mereka bicara seakan telah merahasiakan sesuatu yang seakan aku saja tidak boleh memahami.

"Rahasia apa?" Aku pun bertanya.

"Rahasia mengembalikan kejayaan Shan!" Ezekiel mengucapkannya dengan penuh nada.

"Kalau ini, serahkan saja pada kami," ujar Khidir. "Kyara dan Remi tinggal dijaga."

"Bukankah aku harus andil dalam tindakan ini?" Aku protes. Jika aku seorang Putri, aku yang seharusnya memimpin mereka.

"Kamu masih kecil." Khidir menatapku dengan wajah serius. "Sudah kita bahas sebelumnya, kamu perlu dibimbing, bukan? Selama kamu belum diangkat sebagai Ratu, kami akan menjadi walimu. Baru setelahnya, pengawal pribadi."

"Bukannya sudah dari awal?" sahutku. "Kalian pengawalku, 'kan?"

"Pengasuh, sih," sahut Ezekiel. "Eh, tapi, gue tetap pengawalnya."

"Terserah kamu," sahut Khidir ke Ezekiel. "Sekarang, kita perlu membimbing mereka agar dapat memimpin Shan nanti."