webnovel

Akhir Hayatnya – 8

Aku habiskan sebagian waktuku dengan tidur selagi perjalanan terus berlanjut. Sayup-sayup terdengar obrolan antara Ezekiel dan Khidir yang tampak tidak akan habisnya. Kedua Guardian ini jelas sangat sering bicara sehingga keduanya kini bertemu dan menciptakan keramaian tersendiri.

Aku ingat dulu, Khidir memang lebih sering bicara karena dia memang seorang pemimpin yang wajar saja kalau menjadikan mulutnya sebagai alat untuk memimpin. Bahkan di saat bersantai dia juga masih banyak bicara. Berbeda dengan sahabatnya, Idris, yang cenderung menanggapi dengan singkat tapi tidak tampak bosan mendengarnya terus bicara. Dia mungkin terlihat seperti orang yang tidak tertarik dengan obrolan Khidir, tapi aku tidak pernah melihat Idris menjauhkan pandangannya selagi temannya bicara. Dia jelas menyimak dan hanya itu yang dia lakukan sebagian waktu.

Kalau Ezekiel, aku tidak yakin siapa sahabat karibnya semasa di Adrus. Dia mungkin sering bicara kepada Safir tapi Safir memang ditugaskan untuk melayani para Guardian (sejauh yang kutahu) sehingga berbicara itu bukan pertanda apa pun yang berarti bagi mereka. Ezekiel mungkin terkenal di kotanya, tapi aku tidak pernah melihat dia menghabiskan waktu bersama satu orang yang pasti. Dia sepertinya menemani semua orang tapi tidak ada teman dekat. Bahkan dengan abangnya pun aku jarang melihatnya bicara satu sama lain. Barangkali ketika ada Khidir, Ezekiel pada akhirnya menemukan seseorang yang "paham" dengannya, mengingat obrolan mereka berdua tampak tiada habisnya.

Sementara aku di antara mereka hanya bisa tidur. Tidak banyak yang bisa dikisahkan selain aku mulai mengantuk dan meninggalkan para Guardian dalam lelap. Membiarkan keduanya membangun pertemanan lebih erat tanpa gangguan dariku.

***

Beberapa waktu berlalu, rasa kantukku mulai terpuaskan. Aku pun terbangun. Baru saja hendak bertanya pada Guardian-ku sudah sampai di mana kami, aku terdiam menyadari seisi kereta telah kosong. Hanya ada aku, bahkan tas yang mereka bawa pun menghilang.

"Ezekiel? Khidir?" Aku membisikkan nama mereka.

Tidak ada jawaban.

Ketika aku keluar guna mencari tahu, di situlah aku menyaksikan pemandangan yang sukses membuatku bungkam. Seisi hutan telah dipenuhi es. Bahkan tidak menyisakan seekor babi hutan yang ikut membeku meski dia sudah berjuang melarikan diri. Suasana yang persis sama dengan kejadian di Adrus waktu itu. Apa yang Ezekiel rencanakan kali ini?

Aku coba berjalan dengan perlahan agar tidak terpeleset. Sambil menyerukan nama Guardian yang kuyakini sebagai pelakunya. "Ezekiel!"

Aku menyeru namanya berkali-kali. Entah apa yang terjadi, aku justru merasa heran sekaligus takut jika sesuatu yang buruk menimpa. Di tengah perjalanan rasanya mulus saja hingga aku terbangun sendiri dan seisi kereta sudah tidak ada orangnya lagi seakan telah menghilang diseret angin. Bagaimana nasib mereka di luar sana? Kenapa mereka menghilang begitu saja?

"Ezekiel! Khidir!"

Bruk!

Aku terpeleset hingga jatuh menimpa es. Meringis menahan sakit, aku berusaha bangkit dan kembali mencari pelindungku.

Di mana mereka?

Ketika kucoba menelusuri hutan. Tibalah aku pada bagian dasar jurang. Tepatnya di area pegunungan yang tidak begitu jauh dari kereta. Aku mengira demikian karena bentuknya menyerupai tanah yang memanjang hingga ketika mendongak mulai tampak puncak gunung.

Kalungku bersinar. Namun, begitu redup hingga tidak mudah terlihat di bawah cahaya matahari. Masih ada harapan. Aku harus tetap mencari.

"Ezekiel! Khidir!" seruku lagi dan lagi. Sampai pada bagian bawah jurang itu terlihat kenampakan aneh

Aku melihat es yang menumpuk. Seakan menjadi pusat dari pembekuan hampir seluruh tempat di hutan ini, seakan tertuju ke satu titik, seperti ingin menunjukkanku sesuatu. Mata hijauku mengikuti arah es yang perlahan tertuju padanya. Begitu melihat, aku ternganga.

Ezekiel.

Dia di sana. Menyatu bersama es yang dia kendalikan. Tubuhnya diselimuti es sementara dia berada di bagian tengahnya dengan posisi berlutut. Matanya terpejam seakan tidak terganggu dengan semua kekacauan ini. Sepertinya dia secara sadar melakukan ini. Duh, apa lagi yang dia lakukan? Di mana Khidir sekarang?

Saat hendak menyentuh es yang menyegel pelindungku, kudengar suara retakan es seakan seseorang telah menginjak bahkan meremukkannya. Sepertinya ada orang mendekat dan ingin mencari tahu apa yang terjadi.

Aku menoleh.

Di belakangku ternyata berdiri sosok menyerupai manusia. Namun, kaki dan tangannya begitu panjang serta berjalan layaknya laba-laba. Tubuhnya begitu kurus layaknya tulang dibalut kulit. Ditambah senyuman begitu lebar hingga menyentuh kedua bola matanya yang hitam.

Aku menelan ludah, bergerak mundur hendak menghindar.

Dia bergerak, tapi tidak bisa seakan ada yang menahan kakinya. Ketika kulihat di bagian bawah, ternyata kaki dan tangannya telah terperangkap dalam es. Sementara aku masih bisa dengan leluasa berjalan.

Aku menoleh ke Ezekiel. Bahkan dalam keadaan membeku dia masih sanggup melindungiku. Ini kesempatan bagiku.

"Terima kasih."

Selesai mengucapkannya, aku memacu langkah menghindari potensi bahaya yang akan menerkamku beberapa saat lagi. Meninggalkan pelindungku yang entah bagaimana nasibnya nanti.

Begitu aku melangkah menjauh dari sosok mengerikan itu, pepohonan yang menutupi jalan mulai terbuka seakan memberiku jalan. Satu nama yang terlintas dalam pikiranku. Khidir.

Apa yang terjadi? Aku tidak tahu. Para Guardian pun lagi-lagi dipisahkan dariku. Jika mereka melakukan ini demi melindungiku, maka aku akan berusaha mencari dan menolong mereka kalau saja terjadi sesuatu yang buruk menimpa. Apa gerangan? Aku tidak yakin, tapi mungkin saja ada sesuatu di balik hutan ini yang menjadi pelakunya. Jika benar begitu, aku akan pergi dan melawannya sebisa mungkin. Yah, terdengar konyol tapi aku tidak senang kalau Guardian-ku tersakiti. Aku harus bergerak menyelamatkan mereka walau itu akan membunuhku.

Untuk saat ini, aku hanya bisa mengandalkan diriku. Jika mereka tidak sanggup, maka hanya aku yang bisa bergerak melindungi diri. Aku bertekad akan melakukannya sendiri hingga mereka bisa kembali kepadaku. Sekarang, aku harus tetap maju.

Aku terus memacu langkah menuju gerbang pepohonan itu, menuju cahaya yang mengantarku pada petualangan berikutnya.