Dewi masih membereskan berkas-berkas keuangan di sore itu. Seperti biasa, menjelang akhir bulan, Dewi selalu lembur untuk tutup buku. Semua karyawan sudah pulang, hanya ada Dewi seorang di kantor. Setelah selesai, ia berjalan ke arah pintu keluar. Ia mengambil payung karena hujan deras kembali turun sore itu.
Setelah berjalan beberapa langkah, dengan memegang payung untuk menahan derasnya air hujan, ia dipanggil oleh seseorang yang suaranya tidak asing ia dengar, "Dewi…"
Dewi menoleh ke arah suara. Dari balik hujaman air hujan, wajah pemilik suara mulai nampak meski samar.
"Genta? Ngapain kamu kesini? Bukannya kamu lagi sama ayah di Surabaya?"
Genta nampak ragu-ragu akan mengutarakan jawabannya.
"Ayahmu kecelakaan, Dewi."
Dewi mendengar jawaban Genta samar-samar. Terlebih ada suara guntur beberapa kali yang membuat suara Genta tertutup.
"Ayah kenapa?"
Genta lantas mendekat.
"Pak Iskandar, kecelakaan…"
Dewi justru tersenyum, "ini kamu lagi prank kan? Niat banget kamu sampe bela-belain hujan-hujanan begini."
"Justru aku rela hujan-hujanan begini, karena ini serius, Dewi."
Dewi mulai cemas. Wajahnya memucat.
"Kecelakaan dimana? Bukannya sama kamu perginya?"
"Tadi begitu sampai bandara, kebetulan aku dijemput temenku soalnya kita mau reuni SMA di tempatnya. Jadi ayahmu pulang sendiri sama Mang Udin. Ternyata pas lewat tol, mobil ayahmu ditubruk truk dari belakang, terus…"
"Terus? Trus gimana? Cerita yang lengkap dong, Ta!!"
"Mobil Pak Iskandar nabrak pembatas."
"Astaga!"
"Terus ayahku gimana?"
Jantung Genta berdegup kencang. Begitu juga dengan Dewi.
"Pak Iskandar meninggal saat dibawa ambulance menuju rumah sakit"
Dewi lemas seketika. Payung yang ia bawa merosot dan membiarkan tubuhnya diterjang air hujan. Rambutnya yang lurus dan baju kerjanya mulai basah.
"Mang Udin gimana?"
"Itu dia anehnya. Dia dicari-cari ngga ada, sampai saat ini belum ketemu juga"
"Terus truk yang nabrak?"
"Kabur, tabrak lari."
Pandangannya Dewi mulai kabur, ia berjalan lemas menuju motornya.
"Jangan, kamu jangan naik motor sendirian. Ikut aku aja."
Dewi menurut. Dia sudah tidak bisa berpikir jernih. Dia terlalu shock dengan berita yang ia dengar. Ia membonceng Genta menuju pulang ke rumahnya. Jangan tanya apa yang ada di benaknya selama perjalanan pulang itu. Sudah pasti tak karuan. Ia kini sudah tak punya siapa-siapa lagi. Ibunya sudah lama meninggal saat ia masih duduk di bangku SMA.
Hari itu menjadi hari terkelam baginya. Entah sampai kapan kesedihan ini akan ia rasakan.