Hari berlalu, Gaska yang terbiasa dihindari Ana hanya bisa memandangnya dari jauh. Melihat tawa yang menghiasi wajah Ana, setiap lekuk bibir yang berbicara, setiap bahasa tubuhnya. Gaska merindukan saat-saat bercanda bersama, berbincara, merindukan tatapan Ana pada dirinya. Kini Gaska hanya melihat rasa benci yang amat dalam ketika berpapasan dan tidak sengaja bertatapan mata dengan Ana. Gaska tak tahu harus bagaimana lagi untuk mencari tahu, mengapa dan bagaimana bisa Ana berubah 360 derajat membenci dirinya. Memang bukan tidak mungkin siapa saja bisa membencinya, namun perubahan Ana yang terlihat sangat perhatian dan berbinar-binar melihat Gaska berubah menjadi benci yang sangat membekas hingga membuat Gaska sendiri merasakannya juga. Untung saja hari ini hari jum'at, semua siswa dan siswi turun ke lapangan untuk mengikuti olahraga bersama yang disambung dengan bersih-bersih kelas dan area sekolah. Gaska yang merindukan Ana akhirnya dapat sedikit mengobati rasa rindunya.
"Weh, ngelamunin apa sih?" tanya Dani mengagetkan Gaska.
"Ah, sialan lu. Ini lagi bersihin bunga" jawab Gaska mengelak.
"Halah, mau ikut nggak? Kita semua mau kekantin?" ajak Dani.
"Boleh, yuk lah" jawab Gaska.
"Daripada disini makin sakit hati" batin Gaska yang berpaling memandang Ana.
Rupanya tak hanya Gaska yang mencuri pandang terhadap Ana. Ana mencoba menghel nafas saat tahu Gaska sudah tidak ada didepan kelasnya lagi. Ana memang merindukan Gaska, namun rasa sakit yang menusuk ulu hatinya membuat dirinya bertahan menghindar dan melupakan Gaska. Dan tanpa diketahui keduanya, Gaska dan Ana sedang diperhatikan oleh seseorang yang berencana melaporkan keadaan ini kepada Zoya. Siswi pintar yang sengaja memfoto keduanya dan mengirimkannya kepada Zoya disertai laporan singkat. Namun, Raina yang melihat gelagat aneh siswi tersebut langsung merebut hp yang seperti sedang memotret Ana.
"Apa-apaan nih?!" seru Dena yang melihat Raina merebut hpnya.
"Ngapai kamu fotoin Ana? Mau dikirim ke siapa?" tanya Raina memojokkan.
"Ih apaan sih? Sini balikin hp gue" kata Dena sambil mencoba merebut hpnya.
Raina yang tak kalah pintar mencoba membuka hp Dena menggunakan sensor wajah yang langsung diarahkan kewajah Dena.
"Kling!" bunyi pesan masuk dihp Dena.
"Zoya, Zoya? Kamu?" tanya Raina yang tak sempat terucap akibat hp yang dipegangnya raib direbut Dena.
Dena berlari kencang meninggalkan Raina yang masih cengo melihat hal yang sangat membuatnya kaget. Beberapa menit kemudian, saat Rania mulai tersadar malah bel tanda masuk kelas berbunyi. Segera Rania berlari kekelasnya, amarah yang membuncah sudah diatas kepalanya.
"Braakkkkk!!!" bunyi menya dipukul sangat keras.
"Maksud mu apa?! Hah?!" tanya Raina marah.
"Ada apa Rain?" tanya Gaska bingung.
"Ini nih, ini. Dia tikus yang menggerogoti tubuh manusia. Ada ya manusia sehina loe, dasar" kata Rain dengan penuh amarah dan hampir memukul Dena.
"Rain, stop! Bentar lagi ada guru" kata Gaska menghentikan kemarahan Raina.
"Tapi dia keterlaluan, Ka. Aku nggak akan biarin ini semua, tunggu nanti" jawab Raina sambil melirik guru yang berjalan kearah kelasnya.
Amarah Raina sedikit terkendali saat mengetahui guru itu benar-benar masuk ke kelasnya. Raina berusaha menutupi semua kejadian yang baru saja ia alami. Ia duduk dengan terus memperhatikan Dena yang tersenyum puas, dalam hatinya merasa menang sudah mengalahkan Raina. Namun, sisi lain Dena juga merasa khawatir akan diperlakukan seperti apa oleh Zoya saat mengetahui dirinya ketahuan oleh Raina. Semuanya bergejolak dikepala Dena hingga membuatnya tak fokus mengikuti pelajaran.
Raina yang berada diperpustakaan mendengar beberapa teman sekelas Raina yang membicarakan Raina saat mereka ditugaskan mengambil buku diperpustakaan.
"Eum, sorry. Aku mau tanya, boleh?" sapa Ana sedikit ragu-ragu.
"Iya, kenapa ya?" tanya Maya, salah satu teman sekelas Raina.
"Raina yang kalian maksud itu Raina kelas 11 IPS 4?" tanya Ana meyakinkan.
"Iya, yang tadi ngamuk dikelas" jawab salah seorang lainnya.
"Euummm, kalo boleh tau. Ngamuk gara-gara apa ya?" tanya Ana kembali.
"Nggak tau sih, tiba-tiba masuk kelas trus mukul mejanya Dena sampe kita sekelas kaget banget" jawab Maya lagi.
"Tapi emang pembawaan dia udah kasar sih, jadi nggak heran kalo dia gitu" saut yang satunya.
"Oh, yaudah. Makasih ya" jawab Ana yang melangkah meninggalkan mereka berdua diperpustakaan.
Ana terus memikirkan alasan apa yang tepat membuat Raina marah besar hingga mengamuk dikelasnya, beberapa pernyataan sangat tidak mungkin dilakukan Raina. Ana yang bingung memutuskan menghubungi Raina dan menyuruhnya datang ke angkringan nanti malam, Ana sengaja tidak mengatakan apapun agar Raina mau diajak berbicara nanti malam.
Malam telah tiba, Raina datang ke angkringan Ana dan langsung memarkirkan mobilnya disebelah tenda angkringan milik Ana. Raina berjalan menghampiri Ana tanpa menaruh rasa curiga kepadanya.
"Alma, Alma main gelebung sabun itu dulu ya. Nanti kakak kesini lagi" kata Ana yang melihat Raina berjalan menuju dirinya.
Alma hanya mengangguk pelan yang kemudian berlari menuju sumber gelembung sabun yang ditiupnya.
"Asik banget tuh kayanya main gelembung, ikut ah" kata Raina berjalan meninggalkan Ana
"Bentar, aku mau ngomong sebentar sama kamu" kata Ana menghentikan Raina dengan memegang lengannya.
"Kenapa?" tanya Raina bingung.
"Disana aja" kata Ana sambil berjalan menuju angkringannya.
"Ada apa sih, An?" tanya Raina penasaran.
"Duduk, mau minum apa? Biar aku buatin" tanya Ana.
"Ini ada apa sih, Ana?" tanya Raina yang bertambah bingung.
"Harusnya aku yang nanya gitu kekamu" kata Ana.
"Kamu kenapa harus sampai ngamuk dikelas? Aneh" kata Ana sembari memberikan minuman yang dibuatnya untuk Raina.
"Yaelah, gitu doang sampe harus bikin aku kesini" jawab Raina datar.
"Soalnya kalo ditelpon kamu masih bisa bohong, kenapa? Ayo jawab" desak Ana lagi.
"Nggak papa, biasa. Lagi nggak mood aja" jawab Raina berbohong.
"Jawab yang jujur, Rain. Kita udah janji nggak ada yang bakal kita tutup-tutupi" jawab Ana memasang wajah serius dengan sorot mata yang terlihat khawatir.
"Tadi aku liat Dena fotoin Gaska sama kamu, trus dikirim ke Zoya. Ternyata dia mata-mata Zoya selama ini. Makanya tadi aku buntutin dia sampe kerumahnya" jawab Raina santai.
"Kamu gila ya, Ra!" kata Ana marah.
"Kok kamu malah ngomong gitu?" tanya Raina kaget.
"Aku kan udah bilang, jangan berurusan sama Zoya. Biarin dia mau bertingkah apa biarin" jelas Ana masih dengan tatapan marah.
"Sekarang gentian aku yang tanya ke kamu. Kenapa mau hindarin Gaska" jawab Ana memalingkan pandangannya.
"Nah, sekarang kamu nggak bilang. Jadi bukan salahku dong kalo aku haru cari tahu sendiri" kata Raina menjelaskan.
"Tapi bukan gini caranya, Ra. Kamu terlalu gegabah" jawab Ana lagi.
"Yaudahlah, aku capek. Mau pulang" kata Raina beranjak meninggalkan Ana.
"Alma! Kakak pulang!" seru Raina berpamitan dengan Alma yang asik bermain gelembung sabun ditengah alun-alun.
Ana yang tidak bisa menjawab pertanyaan Raina hanya membiarkan Raina pergi tanpa mengetahui masalahnya. Namun, Ana sedikit tahu penyebab kemurkaan Raina terhadap Dena, teman sebangkunya.
Keesokan harinya, Ana berjalan memasuki koridor sekolahnya. Berjalan menaii tangga menuju kekelasnya, dilihatnya kerumunan siswa dan siswi berkumpul didepan madding dengan menggerutu menyebut nama Raina, Ana yang oenasaran memutuskan ikut membaca sesuatu yang dutempel dimading kelas 11. Bertapa terkejut dirinya saat mengetahui hal burk meninmpa sahabatnya, segera dirinya berlari menuju ke kelas Raina. Namun, kelas telah kosong dan hanya melihat Gaska berdiri menghadap jendela. Ana hanya diam dan mencoba mencari Raina disudut kelasnya.
"Ada baiknya tanya kalo nggak bisa nemuin sesuatu yang dicari" kata Gaska berbalik badan menghadap Ana. Hatinya sakit melihat Ana berada didepan matanya, ingin sekali rasanya memeluk Ana yang sangat ia rindukan.
Ana masih mencoba mencari Raina tanpa menghiraukan Gaska yang berceloteh.
"Mau sampai kapan sih kaya gini mulu? Nggak capek apa?" tanya Gaska halus.
Mata Ana mulai berkaca-kaca melihat orang yang awalnya ia cintai seperti memohon untuk tidak diperlakukan seperti patung. Gaska berjalan mencoba mendekati Ana, namun Ana justru berbalik badan dan berjalan sedikit menjauhi Gaska.
"Raina diruang komite sekolah" kata Gaska mengingatkan Ana.
"Aku kangen" lirik Gaska melihat Ana berjalan meninggalkan dirinya.
Ana mendengar perkataan Gaska yang pergi menuju ruang komite sekolah dengan air mata yang membenung dikelopak matanya. Hatinya teramat sakit untuk hanya berbincang dengan Gaska, entah apa yang dia rasakan saat ini, dirinya hanya ingin menangis sejadi-jadinya tanpa diketahui orang. Langkahnya berubah menjadi hentakan-hentakan cepat menuju ruang komite yang berada dilantai satu hingga sampailah dirinya disebuah ruangan dengan hiasan plang bertuliskan ruang komite sekolah. Ruangan yang biasa digunakan untuk menentukan hukuman atas perbuatan siswa siswi yang melanggar peraturan.
"Plaaakkkk!!!".
"Kamu keterlaluan, Raina" kata seorang laki-laki didalan ruangan.
Laki-laki itu kemudian keluar dengan tatap mata penuh amarah dan rasa kecewa.
"Raina" kata Ana yang mendapati Raina sedang duduk bersimpuh dengan bibir dan hidung yang berdarah.
"Ana" kata Raina kaget dan segera mengelap noda darah dibibir dan hidungnya.
"Raina, kamu nggak papa?" tanya Ana khawatir.
"Nggak papa" jawab Raina dengan tersenyum.
"Ayo ke UKS" ajak Ana yang memapah tubuh Raina.
"Sorry ya, lagi-lagi ngrepotin kamu" kata Raina disepanjang jalan menuju UKS.
Ana hanya terdiam dan fokus memapah tubuh Raina yang lemas, dibukanya pintu UKS dengan kakinya. Dibaringkannya Raina yang terlihat seperti orang tak berdaya, semua Ana lakukan agar Raina dalam merawat Raina.
"Kamu kenapa Rain? Siapa laki-laki tadi?" tanya Ana sambil mengobati luka dibibir Raina.
"Aw, aw. Dia ayahku, aku dituduh menghajar Dena sampe bikin dia nggak sadarkan diri dirumah sakit, aw. Pelan-pelan" jawab Raina sambil merintih kesakitan
"Banyak bukti yang menyudutkan aku, kaya saksi yang liat aku hampir mukul Dena dikelas. Lihat mobil aku yang diparkir didepan rumah Dena sampai DNA rambut aku yang ada ditangan Dena waktu coba ngelawan aku. Itu semua cukup buat bikin aku diskors 2 bulan dan boleh masuk sekolah lagi asal mau berlutut dan minta maaf ke Dena" jelas Raina.
"Mereka dapet bukti itu semua dari mana?" tanya Ana bingung.
"Zoya dateng sebagai saksi dan bawa beberapa bukti rekaman cctv sampe ajak temen sekelas aku sebagai saksi. Semuanya udah diatur Zoya, biarin lah. Itung-itung bisa bolos sekolah tanpa dimarahin kamu. Hahahah, aw" jelas Rian lagi.
Ana hanya bisa pasrah melihat keadaan temannya yang ikut terseret kedalam masalahnya, andai saja Raina tidak ikut campur urusannya. Pasti Raina tidak akan terjerat masalah dengan Zoya, begitulah pikir Ana.
Dua bulan berlalu, Ana menunggu kedatangan sahabatnya yang kembali berangkat sekolah. Dilihatnya jam dinding jam menunjukkan pukul 07.00 WIB, yang berarti bel masuk segera berbunyi. Ia masih mengamati pintu gerbang yang terlihat ramai siswa siswi berebut masuk ke sekolah, ia berpikir bahwa bisa saja Raina terlambat datang ke sekolah karena sibuk bermain game semalaman. Namun, penantiannya usai saat seorang guru masuk kekelasnya dan memulai pembelajaran jam pertama, lalu jam kedua, ketiga dan berakhir di jam ketiga yang diakhiri bel istirahat yang berbunyi.
"Dimana sih ini anak, di chat nggak dijawab, di telpon nggak diangkat" gerutu Ana sambil terus memandangi hpnya.
"Kenapa sih, An? Kamu kok ngedumel sendiri gitu sih?" tanya Sekha menghampiri meja Yasha dan Ana.
"Nggak tau tuh, dari tadi pagi. Ana, kamu kenapa?" tanya Yasha mengagetkan lamunan Ana.
"Ini, Raina dihubungi susah banget. Mau kekelasnya tapi" jawab Ana bingung.
"Tapi males ketemu Gaska?" tanya Yasha menebak.
"Maksudnya?" tanya Ana kaget.
"Ana, kita udah tau semua kok. Kamu ngehindarin Gaska karena dibilang perusak hubungan Gaska sama Zoya kan?" tanya Sekha mencoba sok tau.
"Bukan gitu".
"Udah, biar kita yang ke kelas Raina. Kamu tunggu sini ya, mau sekalian nitip kekantin nggak?" tanya Yasha.
"Nggak usah, kalian aja yang makan duluan" jawab Ana tak berselera makan.
Yasha dan Sekha pergi meninggalkan Ana sendirian dikelas, karena semua siswa sibuk dengan urusannya masing-masing, ada yang memutuskan pergi makan kekantin, ada juga yang menjadi budak cinta untuk pacarnya yang berbeda kelas, ada juga yang menjadi budak organisasi. Kesana kemari mengurus keperluan dan kepentingan organisasi yang tidak pernah selesai malah tambah menumpuk disetiap kegiatannya.
Selang beberapa menit, bel masuk berbunyi. Yasha dan Sekha nampak terengah-engah berlari menuju tempat duduk Ana. Ana bingung melihat kedua temannya berlarian seperti habis dikejar hantu. Semua mata siswa yang duduk dikelas ikut memperhatikan mereka berdua, bukan karena penasaran tentang kabar yang mereka bawa. Namun merasa aneh melihat dua orang pendiam berlarian dikelas mereka. Itu semua karena mereka juga kaget dengan kabar yang mereka bawa.
"An, Ana. Raina" kata Sekha dengan terengah-engah.
"Nafas dulu nafas" jawab Ana santai.
"Raina pindah" jawab Yasha yang terengah-engah pula.
"Hah? Yang bener kalian?" tanya Ana kaget.
Seperti mengerti saja perasaan kaget yang dirasakan Ana, petir diluar saja ikut menggelegar, disertai rintik-rintik gerimis yang tak tahu kapan berhentinya.
"Iya, tadi aku kekelas dia. Trus kata temennya, dia pindah sekolah. Dia juga" jawab Sekha setelah meneguk beberapa mili air dibotolnya.
"Kata dia?" tanya Ana bingung.
"Nggak, dia juga pindah. Dia dan Raina pindah sekolah hari ini juga" jawab Yasha.
Pikiran Ana kosong, matanya nampak menahan sedih yang entah dari mana datangnya. Kepindahan Raina tanpa kabar atau dirinya yang tidak akan bisa memandang wajah 'dia' yang dikonotasikan dengan arti Gaska. Ana yang saat itu duduk segera bangun dari tempat duduknya dan menggendong tasnya, Ana memutuskan pergi dari sekolah saat itu juga. Seperti sudah berjodoh, gerbang sekolah yang biasanya tertutup rapat, kini terbuka sangat lebar karena hari ini adalah hari pengisian bahan dikantin sekolah mereka. Gerbang dibiarkan terbuka agar memudahkan mobil-mobil pengangkut bahan lewat dengan mudah. Langkahnya pasti, pikirannya hanya tertuju pada sebuah rumah yang dapat ia tuju untuk bertanya kebenaran semua ini.