webnovel

Chapter 11 : Semua Perlu Waktu

"Loh, bapak kok dibawah?" tanya Ana yang baru datang dan mendapati bapaknya duduk dilantai dengan kursi roda yang terbalik.

"Nggak, bapak jatuh tadi waktu mau naik kekasur" jawab Pak Adi berbohong.

"Aduh, bapak. Tadinya nunggu aku aja" kata Ana sambil memapah Pak Adi berdiri dan duduk diujung kasur.

"Yaudah, bapak mau makan sekarang atau nanti? Ini aku belikan lauk, sekarang aja ya? Aku ambilin nasi" kata Ana yang kini beranjak dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makanan Pak Adi.

"Makasih ya, nak" bisik Pak Adi yang masih merasa bersalah kepada kedua anaknya.

Dengan sabar Ana suapi bapaknya, sedikit demi sedikit Pak Adi melahap makanan dengan menahan air mata. Dirinya masih belum percaya jika harus seperti ini akhirnya, dirinya yang dulu lebih memilih Lia sebagai istri barunya dan meninggalkan Ana remaja dengan Alma yang hanya bisa berjalan. Dirinya paham betul akan kesalahannya, segala dosa yang dulu ia perbuat kini ia tebus dengan penyakit yang seperti siksaan tanpa henti baginya. Mulutnya yang susah berbicara, tangannya yang sering menjatuhkan barang dan kakinya yang tak lagi bisa melangkah. Akan jadi apa keluarga ini jika dirinya bergantung dengan anak tiri yang bahkan tidak menaruh dendam sedikit pun kepadanya, Pak Adi jelas ingat kapan pertama kali istrinya yang durhaka menghubungi anak tirinya untuk meminta uang. Dirinya dikambing hitamkan, dengan pintarnya Lia memberikan berbagai alasan agar mendapat uang dari Ana, untu berobat, menebus obat hingga beras yang katanya selalu habis sedangkan dirinya hanya memakan nasi yang diberikan tetangganya, Yanti.

Senja telah tiba dan matahari berganti bulan dengan sedikit bintang menemaninya. Malam ini nampak lebih gelap dari sebelumnya, nampaknya hujan akan segera datang. Syukurlah, setidaknya malam ini Ana dan Alma tidak perlu menyalakan kipas angin. Sebelum membayangkan bagaimana nyamannya berguling dengan selimut, Ana dan Alma bersiap untuk berjualan di angkringan. Seperti biasa, mereka menyiapkan gerobak dan berjualan hingga malam, untung saja hujan belum menjatuhkan dirinya. Segera Ana dan Alma pulang ke rumah mereka dengan hasil jualan hari ini yang lumayan untuk tabungan Alma melanjutkan sekolah, meskipun mereka juga berharap masih bisa mendapatkan beasiswa yang diperolehnya sejak Ana duduk dikursi sekolah dasar karena status mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.

"Untung aja udah sampe rumah, kak" kata Alma yang mendengar rintik hujan menghantam atap esbesnya.

"Iya, dek. Udah yuk buruan masuk, dingin nih" kata Ana menjawab perkataan Alma.

Secara bersamaan keduanya masuk kedalam rumah dan meletakkan segala barang bekas berjualan ditempat cucian piring yang letaknya disekitar sumur, kamar mandi mereka memang bersatu dengan tempat mencuci piring dan pakaian karena rumah mereka hanya cukup dibuat dua kamar tidur, satu dapur dan kamar mandi yang berada dibelakang rumah tanpa atap. Alma yang sudah merasa lelah akhirnya memilih tidur lebih awal sedangkan Ana sibuk mengerjakan tugas sekolah yang akan dikumpulkan besok pagi. Dengan berat hati dirinya membangunkan Alma yang setengah tidur, Ana berpikir bahwa dirinya perlu sedikit bicara dengan Alma. Mata yang kantuk dan mimpi yang hampir setengah jadi membuat Alma bangun dengan hati yang kurang enak, dilihatnya Ana yang duduk dihadapannya. Seperti persidangan di meja hijau, diusap-usap matanya untuk sedikit menyadarkan dirinya yang setengah sadar.

"Kenapa kak?" tanya Alma mulai bangun sepenuhnya.

"Kakak boleh ngomong sesuatu ke kamu?" tanya Ana.

"Hmm, apa? Kalo bisa cepet ya, aku udah ngantuk banget" jawab Alma sembari memeluk bantal yang diambilnya.

"Tadi siang kenapa bapak dibawah?" tanya Ana.

"Terus kamu juga tidur sesenggukan" kata Ana lagi.

"Kenapa diem, Alma. Kakak tanya" tanya Ana selang beberapa detik menunggu jawaban Alma.

"Dek, apapun dan bagaimanapun bapak. Dia tetep bapak kita, jadi.." kata Ana yang memberhentikan bicaranya.

"Tapi kak.." sanggah Alma yang langsung di larang oleh Ana.

"Sssttt! Kakak bilang, kakak mau ngomong sama kamu. Bukan ngajak kamu diskusi, jadi biar kakak bicara dulu" jelas Ana memotong pembicaraan Alma.

"Kakak nggak mau berdebat sama kamu, kakak cuma mau kita atau kamu berusaha maafin bapak. Bapak berbuat itu semua juga karena emang udah takdir aja, kalau bapak dari dulu sama kita. Terus tiba-tiba bapak nggak ada, apa kita bakal kaya sekarang? Nggak kan? Anggap aja kemarin kita belajar buat lebih mandiri. Toh ada dan nggak adanya bapak juga bukan karna keinginan bapak kan?" jelas Ana meyakinkan adiknya.

Alma hanya menjawab pertanyaan kakaknya dengan anggukan yang sebenarnya malas ia akui, dirinya masih saja membenci bapaknya yang dengan sengaja meninggalkan dirinya dan Ana sewaktu dirinya belum mengerti apapun.

"Udah, sekarang kamu boleh tidur. Besok jangan diulangi lagi ya? Kasian bapak, kalo terjadi apa-apa sama bapak gimana? Apa kamu nggak nyesel?" imbuh Ana yang kini membaringkan badannya disebelah Alma yang malah memunggungi dirinya.

Sayup-sayup didengarnya ocehan Ana yang hampir lenyap digerus angin, Alma yang keselalahan akhirnya terlelap dengan pulasnya, begitu juga Ana yang menyadari adiknya sudah tidur sedari tadi. Mereka pun hanyut dalam dermaga mimpi masing-masing, segala keinginan yang belum dicapainya, kini dengan mudah mereka dapatkan hanya dalam kejapan mata. Itulah mimpi, hanya sebagai bunga tidur.

Dernyit katrol penimba air dalam sumur telah berbunyi, kicau burung yang lalu lalang mencari makan telah bersaut-sautan. Si jantan yang tak mau kalah juga ikut menyuarakan kokokannya, menarik betina agar tertarik padanya. Ana dan Alma yang masih terpejam sontak bangun secara bersamaan ketika mendengar suara yang ganjil terdengar dari arah kamar mandi mereka, sedari tadi mereka hanya berpikir bahwa suara itu salah satu pengiring mimpi mereka masing-masing, rupanya suara itu benar adanya. Buru-buru Ana berlari menuju kamar mandi dan mendapati pemandangan yang lucu serta mengharukan. Bagaimana tidak, dilihatnya Pak Adi yang duduk dilantai tempat cuci piring dengan keadaan basah kuyup dan tangannya penuh sabun.

"Wah, maaf ya. Kalian jadi bangun gara-gara bapak" kata Pak Adi menoleh ke arah kedua putrinya.

"Bapak ngapain disitu? Jadi basah kuyup gitu kan?" tanya Ana khawatir.

"Nggak, ini cuma mau nyingkirin ini aja. Bapak mau cek air sumur ini masih ada apa udah habis" jawab Pak Adi mencoba mencairkan suasana.

"Ada-ada aja bapak, lagian kenapa harus dicuci sih pak? Kan bisa aku yang nyuci" kata Ana merebut spons cuci piring ditangan Pak Adi.

"Nggak papa, bapak mau mainan gelembung. Udah sana, kalian sarapan aja. Tadi bapak bikin nasi goreng sama telur dadar kebanyakan. Sana, sana" kata Pak Adi menjawab pertanyaan Ana.

Dengan lahap Ana dan Alma memakan makanan yang dibuat bapaknya, seperti merasakan kehangatan yang lama tidak mereka rasakan. Gurih asin dan sedikit pedas, sama seperti yang Ana makan beberapa tahun lalu saat ibu dan bapaknya masih berada dirumah ini. Air matanya hampir saja bercampur dengan nasi, untung saja dirinya pandai bermain teater. Ditahannya rasa suka cita berkumpulnya mereka, Alma yang rupanya meneteskan air mata seakan tak dapat lagi membendung kebahagiaannya berusaha menutupi air matanya dari kakaknya. Bukannya Ana dan Pak Adi yang baru bergabung dimeja makan tak melihat, mereka hanya berusaha menikmati kebahagiaan masing-masing dengan tanpa kata dan ungkapan.

"Bapak boleh ikut jualan nggak? Bapak takut dirumah malem-malem sendirian" tanya Pak Adi khawatir dengan kedua putrinya yang berjualan hingga larut malam.

"Emm, boleh sih kalo bapak mau" jawab Ana sambil mengunyah nasi dimulutnya.

"Yeay, trus itu tadi ada yang nganter bungkusan apa sih?" tanya Pak Adi sambil menunjuk bungkusan diatas sisi meja makan.

"Oh, itu. Itu isinya usus, hati sama telur puyuh buat jualan nanti malam pak. Sisa bahannya masih di kulkas, kaya bakso dan lainnya lah" jelas Ana menunjuk bungkusan dan beralih kearah kulkas yang berada pada rotasi jarum jam.

"Trus yang bungkusan itu diapain?" tanya Pak Adi lagi.

"Sementara ini dimasukin kulkas dulu pak, nanti kalo Alma pulang sekolah tinggal direbus pake rempah-rempah biar bau nggak enaknya ilang. Kalo telur puyuhnya mah udah mateng, tinggal nanti dimasak sama jeroan yang udah nggak bau pake bumbu semur" jelas Ana mengangkat bungkusan yang dimaksud dan memasukkannya kedalam kulkas satu persatu.

"Ohhh, kaya dulu waktu sama ibu ya?" tanya Pak Adi lagi.

"Kak, aku berangkat" ijin Alma yang sudah siap dengan sepatu dikakinya dan segera menenteng tasnya.

"Bentar, bareng dong" kata Ana terburu-buru.

"Udah sana cuci tangan, biar bapak yang beresin. Maaf ya, bapak bahas ibu. Kamu pasti sedih ya, maafin bapak ya?" kata Pak Adi merasa tak enak sudah membahas wanita yang selama ini pernah ada dihidupnya.

"Nggak papa pak, ini udah semua. Aku berangkat sekolah dulu ya, pak" kata Ana berpamitan dan berlari mengejar Alma yang sudah pergi lebih dulu.

Saat keduanya berangkat sekolah, Pak Adi yang kesepian akhirnya memutuskan untu pergi ke samping rumah untuk menikmati embun dipagi hari sembari mencoba menggerakkan tangan serta kakinya seperti terapi. Dirinya seakan menjadi beban bagi kedua putrinya, pikiran buruk selalu saja terpikir dibenaknya. Gantung diri, minum racun atau bahkan menyayat nadinya dengan pisau. Dirinya tidak seberani itu melakukan hal yang bahkan bisa saja malah tambah menyusahkan kedua putrinya, dikobarkannya lagi semangat dalam dadanya. Ditepisnya pikiran buruk itu dengan terus mencari cara untuk membantu anaknya, bukan tak tau lagi jika dirinya paham betul Ana sedang mengupayakan biaya untuk kelanjutan hidup anaknya yang beberapa tahun ditinggal. Dirinya benar-benar tak habis pikir dengan Ana, anak tirinya yang bahkan benar-benar menerima dirinya yang sudah tak sanggup mencari nafkah dan bahkan mengurusnya dengan ikhlas, semuanya jelas terlihat pada mata Ana ketika menyiapkan makan dan mengurus Adi yang kesusahan berjalan. Dirinya kembali teringat dengan Hera, istrinya yang lama meninggalkan dunia dan menitipkan seorang putri baik hati dan cerdas seperti Ana. Hera memang harus meninggalkan mereka bertiga sesaat sebelum Alma berusia dua tahun, rasa sesal dan malu terhadap Hera yang mungkin saja melihatnya dari atas sana membuat dirinya berusaha membantu Ana sebisanya. Oleh sebab itulah dirinya meminta Ana untuk memperbolehkan dirinya ikut berjualan nanti malam.

Cahaya kekuningan dengan semburat merah mewarnai sore ini, waktu bergulir dengan cepat. Tanpa terasa, Ana dan Alma kini haru mulai menyiapkan barang dagangan yang sedari sore tadi disiapkan untuk berjualan. Seperti biasa, Ana bergegas membawa teko berisi wedang jahe ke tempat dirinya berjualan. Gerobak yang tadinya diparkirkan dihalaman gedung balai kota sedikit demi sedikit ia dorong, kali ini memang terasa lebih berat karena gerobak tersebut sudah diisi dengan teko dan tikar yang dibawa Ana untuk mempersingkat waktu beres-beres mereka. Kehadiran Pak Adi yang membantu Ana dan berjualan cukup meringankan pekerjaan Ana dan Alma, Pak Adi bertugas mengantarkan makanan ke para pelanggan yang duduk diatas trotoar yang sudah digelari tikar, Alma menyiapkan dan mengantarkan minuman sedangkan Ana bertugas membakar sate-satean ala angkringan yang biasa mereka jual. Malam ini nampaknya bulan sedang baik, sinarnya terang menembus bumi, mengisyaratkan senyum bahagianya melihat Ana dan Alma yang berkumpul lagi dengan bapaknya. Namun, dewi kebaikan sedang tidak berpihak dengannya. Rupanya si jahat Zoya telah mengamati mereka berdua dari kejauhan, dirinya kini mengenali sosok ayah dari Ana dan Alma. Zoya masih tidak terima dengan perlakuan Alma kepadanya beberapa hari yang lalu, kini saatnya dirinya membalas perbuatan Alma.

"Pak, bapak orang tuanya Ana ya?" tanya Zoya sok akrab.

"Iya, kamu temennya Ana ya?" tanya Pak Adi menjawab.

"Iya pak, kenalin. Saya Raina, boleh saya bicara sebentar sama bapak? Ada yang mau saya omongin ke bapak, ditaman sana ya pak. Permisi, saya dorong ya pak kursi rodanya" jelas Zoya berusaha mengadu domba Ana dan Raina.

"Braaakkk!!!" bunyi sebuah kendaraan bermotor menabrak sebuah benda.

Semuanya berjalan sesuai dengan rencana Zoya, dendam yang terbalaskan membuat Zoya tertawa puas didalam mobil sambil mengamati pemandangan diluar sana. Segera dirinya tanjap gas meninggalkan tempat terjadinya peristiwa, dirinya merasa puas dan bangga dengan pikiran piciknya. Dirinya hanya perlu menunggu waktu esok untuk melihat Ana beserta adiknya menangis dan menyesali perbuatannya dengan Zoya.

Selamat hari minggu ~

yang baru pulang malam mingguan pasti lagi kangen lagi sama ayang

yang nggak punya ayang malah kebayang-bayang punya ayang

nggak usah sedih

kisah GASKANA bakal selalu nemenin kamu biarpun punya ayang atau nggak punya ayang

Semangat ya ayang ~

SiluetLazuardi_429creators' thoughts