Pagi menjelang dan kedua kakak beradik masih terlelap dari tidurnya yang akhirnya dikagetkan oleh bunyi dering hp Ana. Dengan mata sayup, Ana bergegas menuju ruang tamu, tempat dirinya mencharger hpnya. Sembari mengusap kedua matanya, diliriknya sebuah nama pemanggil yang ada didepan layar hpnya. Matanya menjadi terbelalak saat layarnya bertuliskan 'Manusia Jahanam' sebagai penelpon, dengan hati yang teguh Ana angkat panggilan itu.
"Halo" ucap Ana dengan suara serak bangun tidurnya.
"Heh! Ana kurang ajar! Kapan kamu mau kasih aku uang buat berobat bapak mu yang lumpuh ini!" bentak seorang perempuan dibalik telepon itu.
"Kemarin aku udah transfer 1 juta buat keperluan bapak, masak kurang. Mah" jawab Ana dengan lesu.
"Ah! Kamu itu anak tiri yang pelit. Pantes aja ibu mu mati, soalnya dia tau kalo anaknya males ngurusin dia" jawab wanita itu dengan ketusnya.
"Kamu kesini aja, bawa ini bapak mu yang lumpuh. Aku nggak butuh lagi, yang ada bisa-bisa aku mati kaya ibu mu" kata wanita itu lagi.
Lia, sosok ibu tiri yang dinikahi ayahnya semenjak ibunya meninggal 3 tahun yang lalu. Perlakuannya berubah drastis ketika ayahnya mulai sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja lagi, dengan sabar Ana menjawab setiap perkataan ibu tirinya dengan lembut. Dirinya teringat akan pesan ibunya untu terus menghormati siapa saja, baik itu orang tua atau anak muda, laki-laki atau perempuan dan kaya atau miskin sekalipun. Bahkan kepada ibu tirinya yang terus membenci dirinya dan adiknya tanpa ia ketahui alasannya, mungkin hanya karena ibu tirinya iri melihat ayah Ana yang masih sering mengirim uang untuk Ana dan Adiknya saat ayahnya masih bekerja dipabrik dan belum menjadi lumpuh.
"Yaudah, nanti sore aku jemput bapak" jawab Ana yang kemudian mematikan telponnya dan bergegas membereskan perkakas yang dipakai berjualan tadi malam.
Seperti biasa, Ana membersihkan setiap ujung lantainya dengan sapu. Menjemur semua tikar yang akan dipakainya lagi nanti malam, tak lupa dirinya memasak nasi dan lauk dari sisa jualan semalam. Pikirannya berantakan, sebentar lagi dirinya akan mengurus bapaknya yang mengalami stroke akibat kelelahan bekerja dipabrik. Ana yang tidak menaruh dendam hanya berpikir bagaimana keadaan ayahnya jika dirinya dan Alma pergi ke sekolah. Namun, dirinya kembali tersadar dari lamunannya ketika salah seorang tetangga menegur dirinya dari balik pagar bambu depan rumahnya.
"Yang bersih!" seru seorang tetangga menenteng belanjaan melewati rumah Ana dengan sedikit melempar senyum.
"Eh, iya. Bu Mila, belanja bu?" jawab Ana yang juga menyauti sapaan tetangganya.
"Iya ini, tumben nggak berangkat sekolah. Na?" tanya Bu Mila menyadari Ana tidak menggunakan seragam sekolahnya.
"Iya, bu. Ada perlu, ini mau bangunin Alma buat sekolah. Duluan ya bu?" jawab Ana yang telah selesai menjemur pakaian dan tikar yang akan dipakainya berjualan nanti malam.
"Oh iya, saya juga pamit ya. Na" jawab Bu Mila yang berjalan meninggalkan rumah Ana.
Selanjutnya Ana bergegas masuk kedalam rumah untuk membangunkan Alma yang harus berangkat sekolah, namun betapa leganya dirinya ketika melihat Alma yang telah berpakaian seragam rapi sedang melahap sarapan yang dibuat Ana dengan lahap, meskipun dasi yang dipasang Alma belum sepenuhnya benar.
"Kakak, ini sarapan" kata Alma menawarkan kakaknya sepiring nasi goreng yang disisakannya untuk Ana.
"Udah, kakak tadi udah sarapan. Sini, dasinya kakak benerin. Oh ya, itu nanti kakak masukin kotak makan ya? Buat bekel kamu, soalnya kayanya kakak pergi sampe sore" kata Ana merapikan dasi Alma.
"Biar aku aja kak yang masukin nasinya ke kotak makan" kata Alma yang masih sibuk melahap nasi goreng dipiringnya.
"Nggak papa, nanti kamu yang ngisi botol minum aja. Oh ya, hampir aja lupa. Ini buat ongkos ojek, sisanya simpen ya. Kalo mau jajan, secukupnya" kata Ana memberikan selembar uang kepada Alma yang kini bersiap memakai sepatu dan beranjak dari tempat duduknya untuk mengisi air kedalam botol yang akan dibawanya ke sekolah dengan bekal nasi yang digoreng kakaknya.
"Oke, udah siap semua kak. Ayok, berangkat" kata Alma semangat.
Keduanya berjalan menuju halte yang berada diujung jalan gang rumah mereka, hawa dingin dipagi hari membuat keringat yang keluar mejadi sejuk dibadan keduanya. Alma dan Ana bergegas menaiki bis saat keduanya sampai di halte bersamaan dengan datangnya bis, Ana yang masih merasa gugup menunjukkan raut wajah bingung yang dengan mudah dapat dikenali Alma. Dengan lembut, Alma genggang tangan kakaknya yang kini mendingin akibat kegugupan yang melanda Ana. Alma memang bukan adik yang terlalu banyak bicara ketika beranjak dewasa. Alma lebih sering membagikan energi positifnya lewat senyuman, sentuhan tangan hingga pelukan yang hangat. Hingga sampailah mereka ke sebuah halte pemberhentian yang berada tak jauh dari sekolah Alma, Alma bergegas turun dan lanjut berjalan kaki menuju sekolahnya tanpa kembali menoleh kakaknya yang masih duduk dibis. Perasaan tak karuan makin Ana rasakan, apalagi saat beberapa jam perjalanan menuju sebuah kota kelahirannya. Beberapa memori seperti terpanggil kembali, bagaimana saat dirinya harus berpanas-panasan berjualan kopi dipinggir jalan dengan nampan berisi beberapa cangkir kopi yang ia tawarkan kepada supir-supir truks yang berhenti di lampu merah dan nampak kelelahan. Saat itu memang tubuhnya menjadi keling, namun ia tak menghiraukan hal itu. Asal bisa makan dan berangkat sekolah tanpa kelaparan saja sudah menjadi hal yang sangat ia impikan saat duduk dibangku sekolah dasar. Rasa kantuknya benar-benar dilenyapkan oleh ingatan masa lalunya, hingga tanpa terasa bis sudah berhenti di salah satu stasiun dan menyuruhnya untuk segera turun karena hari sudah terik dan ia harus buru-buru menyelesaikan persoalannya.
Dilewatinya persawahan, jalan setapak hingga lorong-lorong rumah yang berhimpit. Langkahnya kembali menyusui jejeran rumah yang berhimpit-himpitan, kurang lebih 2 kilometer Ana berjalan mencari alamat yang ditujunya. Semuanya sudah sangat berubah dari semenjak dirinya dan ibunya pergi dari desa itu, tujuan pandangannya kini teralih oleh seorang laki-laki yang duduk dikursi roda membelakangi dirinya yang kini berada disebuah rumah kecil dan kumuh. Dihampirinya laki-laki itu dengan perasaan sedih, kecewa dan hampir marah dengan apa yang ia lihat saat itu.
"Paak" sapa Ana lirih menghadap laki-laki yang selama ini ia rindukan.
"Ana" jawab laki-laki yang rupanya sudah tidak bisa berbicara dengan lancar karena struk yang ia derita selama ini.
Air mata Ana seketika pecah, rasa kecewanya berubah menjadi kasihan. Laki-laki yang duduk dikursi roda itu juga menangis sejadi-jadinya dengan terus memeluk Ana. Bau pesing bahkan bau baju yang sepertinya tidak diganti tercium oleh Ana, namun bukannya melepaskan pelukan, Ana justru semakin erat memeluk tubuh laki-laki paruh baya itu.
"Bapak udah nggak bisa jalan, Na. Bapak udah lumpuh, nggak guna" kata Adi, bapak tiri Ana yang selama ini merawat Ana seperti anak kandungnya.
"Bapak nggak boleh ngomong gitu, bapak haru semangat. Bapak pulang ya, ikut aku ketemu Alma" ajak Ana yang kini berjongkok menghadap bapaknya.
"Alma? Mana Alma?" tanya Adi yang kesusahan bicara.
"Alma sekolah pak, bapak ikut aku pulang ya. Mamah mana pak?" tanya Ana yang kemudian berdiri mencari ibu tirinya.
"Lia pergi bawa Arslan tadi pagi" jawab Adi terbata-bata.
"Jadi bapak dari pagi disini?" tanya Ana khawatir.
"Iya, makanya bapak kencing disini. Basah semua" kata Adi menjelaskan.
"Yaudah, sekarang kita ke rumah warga ya pak. Bapak mandi dulu, ini baju bapak kan?" tanya Ana yang kemudian menenteng sebuah tas yang sepertinya sudah disiapkan ibu tiriya.
"Ke rumah Yanti aja, itu. Disitu rumahnya" jawab Adi sambil bergetar menunjuk sebuah rumah yang berjarak beberapa rumah darinya.
"Yaudah, ayo. Pak" kata Ana yang kemudian mendorong kursi roda bapaknya yang sudah nampak berkarat.
Ana pun mempersiapkan bapaknya, untung saja tetangga yang bernama Yanti memperbolehkan Ana membersihkan bapaknya. Tak lupa Ana memesan sebuah travel yang dirasa cukup untuk membawa bapaknya pulang kerumah, dirinya mengutak-atik hpnya ketika menunggu bapaknya selesai mandi dan berganti baju sendiri. Bapak tiri Ana memang sudah terbiasa membersihkan tubuhnya sendiri, karena rupanya selama ini ibu tiri Ana tidak pernah mengurus bapak tirinya, ia hanya memanfaatkan bapak tirinya untuk memerasa Ana dan menghasilkan uang untuk memenuhi gaya hidupnya yang terlihat mewah dan berkelas. Setelah beberapa menit mencari agen travel termurah yang Ana inginkan, akhirnya dirinya mendapatkan dua kursi travel yang tujuannya sesuai dengan keinginan Ana, yaitu pulang ke rumahnya. Ana yang melihat bapak tirinya sudah siap juga kembali membantu bapaknya menunggu didepan rumah Bu Yanti yang untungnya saja berada dipinggir jalan. Disipakannya tas yang dibawa bapak tirinya serta kursi roda yang terpaksa harus ia bawa karena dirinya belum mampu membeli kursi roda baru untuk bapaknya.
"Pak, ini rumah kita. Semoga bapak betah ya, bapak istirahat dulu aja disini. Aku beresin dulu kamar bapak ya, biat bapak bisa istirahat didalem" jelas Ana pada bapak tirinya.
Setelah beberapa jam, sampailah Ana dan Pak Adi dirumah yang selama ini Ana tinggali bersama adinya, Alma.
"Iya, Na. Makasih ya" jawab Pak Adi yang kembali meneteskan air mata.
Ana yang bergegas masuk tak melihat bapaknya merasa bersalah kepada dirinya dan adik yang selama ini ia jaga tanpa bantuan bapak dan ibu tirinya. Dngan ikhlas Ana bersihkan kamar yang awalnya ditempat mendiang ibunya dengan bapaknya sewaktu ibu dan bapak kandungnya masih ada, dirinya sudah menganggap Pak Adi sebagai bapak kandungnya. Sama dengan dirinya menganggap Alma yang ia sayangi sebagai adik kandungnya sendiri,
"Udah pak, bapak masuk ya. Istirahat didalem, aku mau beli makanan diwarung depan buat makan kita bertiga. Bentar lagi Alma pulang, bapak tunggu didalam aja ya" kata Ana yang masih canggung mendorong kursi roda Pak Adi menuju kamarnya.
Pak Adi yang merasa tak enak hati mencoba merogoh kantong bajunya, diberikannya lembaran uang lima puluh ribu kepada Ana. Ana yang kaget hanya menolak pemberian bapaknya dengan halus, karena dirinya berpikir bahwa bapaknya lebih membutuhkan uang itu.
"Nggak usah, Pak. Aku ada uang kok, ini bapak simpen aja buat kalo bapak pengen beli sesuatu" kata Ana yang terus menolak uang itu.
"Terima aja, An. Bapak dikasih Yanti tadi, katanya buat makan sama kamu. Bapak nggak bisa kasih uang banyak buat kamu, tapi terima ini ya. Ini amanah dari Yanti" jelas Pak Adi samba terengah-engah mengatur bicaranya yang serba susah karena keadaanya yang membuat bibirnya tak bisa bergerak.
"Yaudah, aku ambil ya. Tapi besok-besok bapak nggak boleh kaya gini" jawab Ana sambil menerima uang itu.
Pak Adi hanya mengangguk setuju dan Ana berlalu meninggalkan rumah. Dirinya berjalan menuju warung depan untuk membeli beberapa lauk pauk yang bisa ia makan bersama Alma dan bapaknya. Dirinya yang berada didalam warung dan tertutup tenda tidak melihat Alma yang menaiki ojek menuju rumahnya, untung saja Alma menyisihkan uang sakunya untuk ongkos ojek ketika dirinya pulang. Diketuknya pintu rumah, namun tidak ada jawaban dari dalam karena Pak Adi yang kelelahan sudah tertidur dikamarnya. Alma mencoba membuka pintu dan ternyata benar, pintunya tidak dikunci. Dirinya melangkah menuju kamar, namun seketika matanya terbelalak saat melihat seorang laki-laki yang tidur dikamar mendiang ibunya.
"Bapak! Bapak ngapain disini?!" tanya Alma yang seketika memerah wajahnya.
Pak Adi yang kaget mencoba duduk diatas ranjang dan mencoba memeluk putrinya, namun Alma yang marah malah mendorong Pak Adi hingga tersungkur dilantai. Alma yang kecewa dengan bapaknya hanya bisa memaki-maki Pak Adi dengan air mata yang membanjiri pipinya. Pak Adi yang sudah terduduk hanya menangis dan memohon-mohon untuk dimaafkan oleh Alma, sedangkan Alma yang dengan angkuhnya tidak mau menatap wajah bapaknya.
"Bapak minta maaf, nak" tangis Pak Adi memeluk kaki Alma dengan terus memohon.
"Bapak kemana aja selama ini? Kuburan ibu belum kering waktu itu pak, bapak juga nggak nganggep aku sama Kak Ana sebagai anak bapak. Bapak malah nikah sama wanita yang bahkan sekarang nggak mau ngurusin bapak. Lepas pak!" kata Alma yang kembali mendorong bapaknya. Alma yang marah kini pergi meninggalkan bapaknya dan memilih menulih mengurung dirinya dikamar dengan terus menangis sesenggukan.
Huaaa ~
Sedih banget, kenapa segala sesuatu yang berhubungan sama orang tua pasti endingnya melow banget? Readers kayak gitu juga nggak sih?
Jangan lupa coment ya ~