Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00, berarti hari telah berganti. CL membuka matanya dan pemandangan yang pertama kali dia lihat adalah atap ruang inap sang ibu dan lampu yang menyilaukan matanya. Dia bangun dari posisi duduknya untuk memeriksa sekeliling. Ternyata ayahnya, Alex, serta kedua orang tua Alex tertidur di sofa dengan posisi terduduk.
Pasti saat mereka bangun, leher mereka akan terasa sakit. Apa perlu aku pesan ruangan VIP? – batin CL.
Dengan sangat hati-hati, dia turun dari brankar dan keluar ruangan bernuansa putih itu. Dia menyusuri lorong rumah sakit ingin pergi ke meja resepsionis.
"Permisi?", ujarnya kepada resepsionis rumah sakit.
"Ya nona, ada yang bisa saya bantu?"
"Apa ada ruangan VIP yang tersisa?"
"Baik nona, saya cek terlebih dahulu."
Sang resepsionis mulai memainkan computer di depannya dengan sangat hati-hati.
"Maaf nona, ruangan VIP sudah terisi semua dan yang tersisa adalah ruangan VVIP."
"Apa ada yang satu ruangan untuk dua pasien?"
"Ada nona, tersisa satu."
"Ya, saya mau yang itu."
"Baik nona, untuk mengurus biaya administrasinya nona bisa ke meja sebelah."
"Ya, terimakasih.", resepsionis itu memberikan surat surat yang diperlukan saat melakukan biaya administrasi.
"Permisi, saya ingin melakukan pembayaran administrasi rumah sakit.", ujarnya ketika sudah sampai pada resepsionis satunya lagi.
"Ya nona, bisa saya lihat surat keterangannya?"
"Ini, silahkan."
"Ah ya, dan juga termasuk biaya administrasi atas nama pasien Lathaya Jossie."
"Baik nona."
Selagi menunggu sang resepsionis mengecek surat yang ia berikan, CL mengeluarkan kartu hitam miliknya. Untung saja dia selalu membawa kartu hitam tersebut didalam cashing handphone nya.
"Maaf nona, untuk biaya administrasi pasien atas nama Lathaya Jossie sudah lunas."
"Apa? Sudah lunas?"
"Ya, nona."
"Siapa yang melunasinya? Saya atau bahkan salah satu keluarga saya belum membayarnya kok."
"Dokter yang menangani pasien tersebut nona yang melunasinya."
Deg
CL terpatung di tempat. Lagi-lagi dia dikejutkan oleh perihal yang bersangkutan dengan dokter tersebut.
'Siapa sebenarnya dokter itu?' monolognya.
"Nona?"
"A-ah y-ya?", CL tersadar dari lamunannya.
"Apa anda ingin melanjutkan pembayaran ini?"
"Ya, tentu. Ini.", dia memberikan kartu hitam miliknya ke resepsionis sambil tersenyum. Tapi pikirannya melayang entah kemana.
Selang beberapa menit, resepsionis yang menangani administrasi yang dilakukan oleh CL, memberikan kartu hitam itu kepada pemiliknya.
"Nanti tolong beri tahu keluarga saya yang berada di ruang 503 untuk pindah ke ruangan VVIP yang saya pesan."
"Baik nona."
"Eum apa saya boleh bertanya?"
"Tentu saja nona."
"Apa dokter yang melunasi administrasi pasien Lathaya Jossie ada di ruangannya sekarang?"
"Sebentar lagi dia sampai nona."
"Ah itu dia.", sambung resepsionis itu dan membuat dokter yang CL maksud menolehkan kepala ke arah mereka berdua dan mengubah arah jalannya. Yang tadinya ia ingin segera ke ruangannya, tapi malah menghampiri meja resepsionis.
"Selamat pagi dokter.", sapa resepsionis ramah.
"Pagi. Ada yang bisa saya bantu?", tanya dokter.
"Ah tidak dok. Tadi, nona ini menanyakan keberadaan anda."
Dokter itu mengalihkan pandangannya ke arah CL yang menatapnya. CL yang dipandang dokter hanya diam.
"Halo?", ujar dokter sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah CL yang masih diam.
"Eh y-ya?"
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Eung, ya. Ada yang ingin saya bicarakan."
"Oh begitu ya?", CL mengangguk.
"Kalau begitu, mari ikut saya."
Dokter itu mempersilahkan CL untuk ikut ke ruangannya. CL dengan senang hati mengikuti arahan dokter.
"Omong-omong, saya belum tau namamu. Boleh saya tahu?", tanya dokter dalam perjalanan.
"CL, panggil saja saya CL."
"Baiklah CL, perkenalkan nama saya Daren Osvaldo, panggil saja Daren."
"Oke."
Dan sampailah mereka di ruangan dokter yang baru saja memperkenalkan dirinya kepada CL, Dokter Daren Osvaldo. Daren mempersilahkan CL untuk duduk di kursi yang berada tepat di depannya.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?"
"Aku tak ingin berlama-lama. Bagaimana kau tahu LJ?"
Daren terdiam sebentar sebelum tersenyum geli.
"Bagaimana aku tidak tahu perihal tentang keturunan Keluarga Osvaldo.", ucap Daren diakhiri senyuman miring.
"Ma-maksudmu?"
"Maksudku…"
~~
Mrs. Lee terbangun dari tidurnya karena dia merasa bahwa hari mulai siang. Dia berusaha merubah posisinya menjadi duduk kemudian memeriksa keadaan sekitarnya. Suaminya tertidur di sofa bersama Keluarga Frankie. Tapi, dia tidak melihat keberadaan putrinya.
"Sayang?", dia mencoba untuk membangunkan suaminya. Ajaibnya, Mr. Graham langsung terbangun saat mendengar suara istrinya walaupun suaranya kecil.
"Ah kau sudah terbangun.", Mr. Graham langsung menghampiri istrinya.
"Bagaimana keadaanmu?", sambungnya sambil mengelus saying kepala Mrs. Lee.
"Aku sudah merasa lebih baik."
"Syukurlah."
"Dimana CL?"
Karena pertanyaan istrinya, Mr. Graham menolehkan kepala ke brankar sebelah istrinya. Kosong, brankar yang ditiduri CL sudah kosong. Ah dia terlalu fokus kepada istrinya sampai lupa keberadaan CL.
"A-aku juga tidak tahu."
"La-"
"Permisi."
Tiba-tiba ada seorang perawat masuk dan membuat perkataan Mrs. Lee terpotong.
"Ya, ada yang bisa dibantu?", tanya Mr. Gaham.
"Maaf menganggu waktunya tuan. Hari ini kalian semua dipindahkan ke ruangan VVIP."
"Apa? Ruangan VVIP? Apa kau serius?"
"Iya tuan."
"Tapi, saya belum memesannya."
"Nona Lee sudah memesannya tuan sekitar pukul 07.15 dan dia menyuruh saya untuk memberitahu kalian untuk segera pindah."
Mr. Graham dan Mrs. Lee saling menatap kemudian tersenyum.
"Baiklah, bisa tolong bawakan aku kursi roda?"
"Tentu tuan, tunggu sebentar.", perawat itu keluar ruang inap Mrs. Lee.
"Kau lihat kelakuan putrimu yang sangat mirip dengan mu.", jahil Mr. Graham.
"Tidak, kelakukannya seperti dirimu.", balas Mrs. Lee tidak terima diakhiri kekehan kecil.
"Baiklah, kelakuannya seperti kita berdua karena dia putri kita."
"Ya, kau benar."
"Permisi tuan, nyonya."
Perawat tadi sudah kembali dengan membawa sebuah kursi roda.
"Ini kursi rodanya."
"Ya, terimakasih. Sekarang kau boleh pergi."
"Baik tuan, saya permisi."
Perawat tadi kembali meninggalkan ruangan itu, menyisakan dua orang yang sudah terbangun dan tiga orang masih di alam mimpi.
"Sini biar ku bantu.", Mr. Graham membanu Mrs. Lee untuk berpindah ke kursi roda.
"Kau bangunkan mereka. Kita akan pergi bersama."
"Baiklah tunggu sebentar."
Mr. Graham membangunkan tiga orang yang masih berkenalan di alam mimpi sebelum mereka pergi ke ruangan baru.
Setelah semuanya terbangun mereka mempersiapkan diri masing-masing untuk pindah ruangan. Tidak mungkin mereka menyusuri rumah sakit dengan muka bantalnya. Jadi, satu persatu dari mereka pergi ke kamar mandi untuk sekedar membasuh wajah.
"Alex, bisa kau bawakan ini?"
"Tentu saja uncle. Berikan pada ku."
Mereka akhirnya meninggalkan ruang inap. Mr. Graham yang mendorong istrinya yang terduduk di kursi roda, Alex yang memegang tiang pengait botol infus, dan kedua orang tua Alex yang hanya mengikuti dari belakang.
~~
CL terdiam setelah mendengar semua kisah masa lalu LJ. Dia tidak bisa berkata apapun.
Ya, Daren menceritakan masa lalu LJ tapi tidak dengan yang terjadi saat ini. Biarkan CL sendiri yang tahu sendiri seiring berjalannya waktu. Lagi pula dia juga tidak tahu secara detail apa rencana LJ ke depannya.
"Apa LJ sudah bisa dipindahkan ke ruang inap?", tanya CL mengalihkan topik pembicaraan.
"Ya tentu."
"Pindahkan dia ke ruangan VVIP yang sudah ku pesan atas namaku."
"Baiklah. Tapi, apa aku boleh tahu sesuatu?"
"Tentang?"
"Darah yang semalam kau bawa. Dari mana kau mendapatkan golongan darah yang langka seperti itu dengan jumlah yang cukup banyak?"
"Kau tidak perlu tau. Jika kau memang membutuhkannya di kemudian hari, kau bisa menghubungiku."
"Mmm baiklah."
"Yasudah, aku permisi."
"Silahkan."
CL pergi meninggalkan ruangan Daren karena dia merasa sudah cukup lama menghabiskan waktu disini. Dan mungkin, kedua orang tuanya sudah bangun lalu mencari keberadaannya sekarang.