webnovel

Pahlawan Dipagi Buta

Lydia mengatur barang-barangnya dengan gerakan yang sangat canggung. Dirinya sangat syok, sampai-sampai tangannya sedikit bergetar. Jangankan dia, Revan saja tadi terlihat sangat terkejut.

Mata Lydia melirik sebentar ke arah Reino. Hanya sebentar saja karena rupanya Reino juga sedang menatap dirinya. Dan itu jelas saja membuat Lydia menjadi sangat canggung.

“Tenang Lyd. Kamu harus tenang. Dia gak mungkin ngapa-ngapain di kantor. Kamu bisa teriak kalau dia macam-macam,” batinnya mencoba untuk menenangkan diri.

Mengatur barangnya yang lumayan banyak itu rupanya memakan banyak waktu. Selain karena memang barangnya lumayan banyak, Lydia juga canggung ditatapi terus oleh Reino. Apalagi tatapan itu serasa bisa melubangi kepalanya.

Tapi setidaknya Lydia bisa lega karena meja barunya sudah mempunyai desk set lengkap. Persis sama dengan yang ada di meja lamanya. Jadi Lydia sama sekali tidak kesulitan mengatur pulpennya yang beraneka warna dan sangat banyak itu, juga ATK pribadinya yang super lengkap.

“Saya sudah selesai merapikan meja, Pak,” lapor Lydia pada Reino. Dia melakukannya sekalian untuk meminta pekerjaan.

“Sleep with me.”

“No,” jawab Lydia cepat, singkat, padat dan jelas.

“Why?”

“Saya ke sini untuk kerja, Pak.”

“Aku akan membayarmu untuk itu.”

“Saya bukan perempuan bayaran.”

“Lalu apa yang harus kulakukan agar kau mau melakukannya? Apa kita perlu rujuk lagi? Mau pacaran?” tanya Reino terlihat sedikit frustasi, tapi Lydia tidak peduli.

“Anda tidak perlu melakukan apa-apa, Pak. Saya akan tetap menolak,” jawab Lydia berusaha mempertahankan tatapannya lurus ke depan. Hal yang susah karena Reino sangat enak dipandang.

“Walaupun bayarannya ratusan juta untuk sekali main?”

Lydia langsung mengalihkan pandangannya pada Reino. Itu adalah tawaran yang sangat menggiurkan terutama karena dia punya utang yang banyak.

Ah, ngomong-ngomong soal utang. Haruskah Lydia menanyakan hal itu pada Reino sekarang? Sepertinya ini waktu yang tepat, hanya saja Lydia masih merasa ragu.

“Maaf, Pak. Sekali lagi, saya bukan wanita bayaran,” Lydia memutuskan untuk menunda pertanyaan itu.

“Kalau beitu bersiaplah merasakan neraka,” gumam Reino dengan rahang mengeras dan tatapan tajam.

Pernyataan ambigu bosnya itu tentu membuatnya bingung, tapi tak lama kemudian Lydia mengerti. Reino memberikannya terlalu banyak pekerjaan, bahkan disaat dia belum mengerti pekerjaan barunya ini.

Semua pekerjaan diberikan Reino. Mulai dari hal sepele seperri membuang samapah, sampai menyortir setumpuk berkas lama dalam waktu kurang dari 5 menit. Belum ditambah dengan dirinya yang harus mengekori Reino ke mana pun.

Alhasil, Lydia baru selesai pukul 9 malam. Bahkan Reino sendiri sudah pulang dan menyisakan dirinya sendiri di ruangan bosnya itu. Untung saja masih ada beberapa orang yang lembur hari ini, setidaknya Lydia tidak benar-benar sendiri di gedung 5 lantai itu.

“Tumben banget lembur sampai jam segini sih, Kak?” pertanyaan langsung terlontar dari mulut Kenzo, begitu melihat kakaknya keluar.

“Ya, mau gimana lagi. Habis naik jabatan dan kerjaannya banyak banget,” Lydia menerima helm yang diulurkan Adiknya itu. Tadi dia memang meminta Kenzo untuk menjemputnya.

“Ck. Tapi Mama jadi khawatir tau gak. Mungkin nanti pulang bakal diomeli.”

Lydia hanya bisa meringis saja, tanpa bisa membalas. Dia tadi juga sudah memberitahu sang ibu, tapi tetap saja. Begitu pulang Lydia diomeli panjang lebar.

Bahkan Liani meminta anak sulungnya itu berhenti kerja saja. Dan Lydia terpaksa mengingatkan ibunya soal utang mereka, membuat Liani tak lagi mengomel.

***

“Selamat pagi, Pak.”

Lydia menyambut Reino yang baru saja datang dengan sopan. Lelaki itu terlihat cukup terkejut karena rupanya asisten pribadinya itu sudah ada di kantor sebelum dirinya.

“Mari saya lepaskan jasnya, Pak.” Thalita yang mengekor di belakang menawarkan seperti biasa. Dia sama sekali tidak melihat Lydia.

“Itu pekerjaan personal assitant, Thalita. Dan kamu bukan asisten pribadi saya,” jawab Reino dengan nada dingin.

“Eh, tapi si Lydia...”

“Bu Lydia,” Reino segera mengoreksi. “Dia atasanmu dan dia sudah ada di tempatnya sejak tadi.”

Thalita refleks menoleh ke arah Lydia yang masih bergeming di tempatnya. Dan kehadiran Lydia membuat sekretaris Reino itu kesal setengah mati. Dia segera berbalik dan keluar dari ruangan dengan langkah keras.

“Dan apa kau akan terus diam saja di sana?” tanya Reino, membuat Lydia akhirnya bergerak membantu pria itu melepas jasnya.

“Pak Reino ada rapat dalam waktu 40 menit ke depan. Materinya saya sudah letakkan di meja anda dan juga sudah saya kirim lewai email.” Lydia mengatakan semua itu, sambil melepas jas yang kemudian digantung di tempat gantungan tak jauh dari meja Reino.

“Pekerjaan kemarin?” tanya Reino tanpa menatap Lydia.

“Lima menit lalu sudah saya serahkan ke bagian audit sesuai permintaan Pak Reino,” jawab Lydia profesional, walau sebenarnya sudah sangat ingin meninju wajah bosnya itu.

Sangat disayangkan wajah setampan itu, tapi memiliki kelainan jiwa. Mana kelainan dalam bentuk seksual pula. Belum ditambah dengan sifatnya yang gak banget.

“Buatkan kopi,” perintah Reino masih belum tahu harus menyuruh Lydia melakukan apa.

Baru saja Lydia menunduk untuk pamit, telepon di mejanya berbunyi. Terburu-buru, Lydia pergi mengangkat teleponnya terlebih dahulu. Dan seperti biasa, Reino mengikuti langkah wanita kurus itu dengan tatapan matanya yang lapar.

“Maaf, Pak. Katanya ada tamu penting untuk saya, apa boleh saya menerima tamu dulu sebelum menyiapkan kopi?” Lydia bertanya dengan ekspresi bingung.

Jangankan Lydia. Reino saja merasa bingung. Jam kantor belum benar-benar mulai dan asistennya itu sudah punya tamu penting?

“Maaf, tapi katanya mereka agak mengganggu. Saya akan segera naik setelah mengusir mereka.”

“Fine,” jawab Reino masih bingung bercampur kesal, tapi tetap membiarkan asistennya itu pergi ke lantai bawah begitu saja.

Lydia cukup lega karena Reino mengizinkannya turun ke lobi sebentar. Sebenarnya dia juga tidak tahu siapa yang datang menemuinya sepagi ini, tapi mendengar kata ‘mereka’ dan ‘mengganggu’, Lydia bisa menebaknya.

Tapi masalahnya, kalau memang ‘mereka’. Dari mana ‘mereka’ mengetahui tempat kerjanya? Tidak mungkin dirinya dimata-matai kan? Atau mungkin Reino?

Dan perut Lyda langsung terputar ketika melihat gerombolan orang bertato di lobi kantornya. Mereka jadi pusat perhatian dan Lydia tidak suka itu.

“Nah, itu dia tuan putri kita sudah datang. Dengar-dengar kamu sudah jadi asisten bos ya?” Pria yang tempo hari ke rumahnya berbicara.

“Untuk apa kalian ke kantorku? Ini bahkan belum seminggu sejak aku membayar yang 30 juta,” desis Lydia marah.

Kali ini Lydia cukup berani karena berada di tempat umum. Jumlah orang yang dibawa rentenir itu lumayan, tapi jelas jumlah karyawan lelaki di kantor ini lebih banyak. Itu membuat Lydia merasa aman.

“Tadinya hanya sekedar survei lapangan saja sih. Tapi karena kudengar kau naik jabatan, sekalian saja menagih.”

“Aku bahkan belum gajian,” Lydia mendesis makin marah saja.

“Bisa kan minta pada bosmu. Gak mungkin kau tidak punya hubungan apa-apa, tapi tiba-tiba diangkat jadi asisten.”

Pria itu tidak memelankan suaranya ketika berbicara, tentu saja mengundang lirikan dan bisikan beberapa orang yang menonton. Itu membuat Lydia jadi panik seketika, dia tidak boleh mendapat cap buruk di perusahaan ini.

Tapi nasib berkata lain. Pria tadi malah mengungkit dagu Lydia agar mendonggak menatapnya. Tatapan mata pria itu begitu kurang ajar dan melecehkan, belum ditambah kata-katanya yang merendahkan.

“Kalau kau mau menjual tubuh kurusmu pada bos kami, dia dengan senang hati akan melunasi utang keluargamu. Tapi tentu bukan hanya seorang yang harus kau layani.”

“Lepaskan tangan brengsekmu itu dari karyawanku.”

Lydia baru mau membalas perkataan kasar dan kurang ajar itu, tapi suara Reino sudah duluan terdengar.

***To Be Continued***