Awalnya Reino hanya merasa aneh membiarkan Lydia pergi sendiri. Entah kenapa dia merasa perlu mengikuti asistennya itu dan itulah yang dilakukannya.
Reino sempat mendengar suara Thalita mengatakan soal preman tepat saat dia keluar ruangan, sebelum wanita itu tergugup menutup telepon. Itu membuatnya curiga dan mempercepat langkahnya turun ke lobi.
Tak perlu diberitahu pun, Reino tahu Lydia mengarah ke lobi. Awalnya Reino berpikir perempuan itu bertemu lelaki yang mungkin mantannya atau sejenisnya, tapi siapa sangka dia malah menemukan pemandangan yang membuatnya marah.
“Lepaskan tangan brengsekmu itu dari karyawanku.”
Lydia langsung berbalik dan menatap Reino penuh binar. Baru kali ini dia merasa senang melihat atasanya yang arogan itu. Tapi itu hanya berlangsung sebentar karena dia ingat kalau Reino mungkin terlibat dengan semua ini.
“Oh, jadi ini ya bosnya?” pria yang di depan Lydia kini tertarik dengan Reino.
“Ada masalah dengan karyawanku?” tanya Reino dengan ekspresi dingin, mendekati pria tadi.
Bukan hanya kesal karena ada keributan di kantornya, tapi Reino juga sangat marah. Marah karena berani-beraninya ada orang yang menyentuh miliknya.
Ya. Miliknya. Lydia memang belum setuju dengan tawarannya, tapi Reino yakin wanita itu akan setuju. Sama seperti kontrak pernikahan mereka yang lalu. Reino tak tahu dan tak mau tahu alasan Lydia untuk menerima, tapi yang jelas diterima.
Karena itu dengan kepercayaan diri tinggi, Reino akan menolong wanita itu. Demi kelancaran kontrak ke depannya.
“Tentu ada masalah,” jawab pria pelontos yang sejak tadi bicara. Reino beranggapan bahwa dialah pemimpinnya.
“Saya datang menagih utang.”
“Bisa tolong jangan bicarakan itu di sini? Lagipula belum seminggu lalu saya membayar,” desis Lydia marah.
Wanita itu makin marah karena makin banyak yang kepo dan melihat kekacauan ini. Dan kedatangan Polar Bear Reino yang menyumbang penonton terbanyak. Lydia tidak suka terlibat gosip dengan proa itu, apapun bentuknya.
Lain dengan Lydia, lain pula yang ada dipikiran Reino. Pria itu bingung kenapa bisa wanita yang sebulan lalu dia bayar mikyaran, malah terlibat utang dengan orang- orang yang sepertinya tidak benar.
“Bagaimana kau bisa punya utang? Bukannya...”
“Bagimana itu terjadi, saya rasa bukan urusan Pak Reino.” Lydia dengan cepat memotong kalimat Reino, membuat rahang lelaki itu mengeras marah.
“Menjadi urusanku karena para bajingan ini mengacau di kantorku,” geram Reino tidak terima kalimatnya dipotong.
“Untuk yang satu itu saya minta maaf. Saya akan segera mengusir mereka,” jawab Lydia menunduk.
Bos Lydia itu benar. Reino pantas tahu dan marah karena terjadi kekacauan di kantornya, bahkan sampai melibatkan pria itu. Yah, walau Reino sendiri yang ikut campur.
“Aduh. Jadi kita diusir begitu saja nih?” tanya pria pelontos penuh tato yang datang menagih utang itu.
“Tentu saja. Ini adalah kantor dan perjanjiannya adalah dibayar saat gajian. Jadi kamu melanggar aturan, terutama karena sudah ada DP,” bisik Lydia yang masih bisa didengar Reino, membuat pria itu makin heran.
Setelah ditegur Lydia, gerombolan preman itu bukannya pergi. Si pemimpin gerombolan itu malah merangkul bahu Lydia untuk berbisik.
“Dengar...”
Baru juga satu kata yang terucap dari pria itu, Reino langsung memegang pergelangan tangan pria itu, tuk kemudian dia pelintir ke belakang. Dia sama sekali tidak bisa lagi mentolerir sentuhan kurang ajar itu.
“Sudah kubilang,” geram Reino terlihat sangat marah. “Jangan sentuh karyawanku sembarangan.”
Para preman yang dibawa pria pelontos itu sudah hendak maju, tapi para pengawal Reino yang sudah stand by langsung merengsek maju. Para preman yang hanya modal tampang sangar dengan gaya berkelahi amburadul itu, langsung ketakutan dengan pengawal profesional yang terlatih. Apalagi badan mereka lebih tinggi besar.
“Oke... oke... aku mengalah,” ringis pria yang dipelintir tangannya oleh Reino.
Reino tentu tidak langsung melepasnya. Sebaliknya pria itu makin mengencangkam genggamannya dan membuat korbannya berteriak kesakitan.
“Okay. Aku bersumpah tidak akan pernah datang ke sini lagi.” Setelah mendapat janji seperti itu, barulah Reino melepas genggamannya dengan kasar.
“Awas ya kalian.” Bukannya menyesal, pria tadi malah mengancam.
Tidak ada yangperlu ditakutkan Reino, jadi dia tidak menanggapi ancaman tidak masuk akal. Hanya Lydia saja yang sedikit merasa terancam.
“Bubar,” bentak Reino pada karyawan kepo yang berkerumun.
“Dan kau segera kembali ke ruanganmu.” Reino menunjuk Lydia tepat di wajahnya, sebelum beranjak pergi terlebih dulu.
Lydia menghembuskan napas antara lega dan lelah. Dia tidak langsung mengikuti bosnya dan melihat sekitarnya terlebih dulu.
Tidak banyak lagi karyawan yang tertinggal di lobi, tapi semuanya saling berbisik sambil menunjuki Lydia. Membuat wanita muda itu langsung merasa pening. Pasti akan banyak rumor jelek yang akan menerpa dirinya.
Tidak ingin berlama-lama di lobi dan berakhir dimarahi Reino, Lydia segera melangkah. Tidak lagi terlalu peduli dengan orang-orang kurang kerjaan yang kemungkinan menggosipinya.
“Maaf untuk kegaduhan yang terjadi, Pak. Akan saya pastikan tidak akan lagi yang seperti itu.”
Lydia langsung mendekati meja Reino dan meminta maaf begitu dia sampai di ruangan sang bos, merangkap ruangannya sendiri. Biar bagaimanapun ini seharusnya masalah pribadi yang tidak ada sangkutannya dengan pekerjaan.
“Kau kemanakan uang milyaran itu?” tanya Reino tidak ingin berbasa-basi. Dia butuh tahu kenapa Lydia sampai terkena masalah.
“Itu urusan pribadi, Pak,” jawab Lydia tegas. Reino tidak perlu tahu hilang ke mana uang itu.
“Itu bukan lagi urusan pribadi jika para preman itu mendatangi kantorku,” hardik Reino tidak sabaran.
“Dan jelas itu berhubungan dengan uang. Yang harusnya bukan masalah untuk orang yang baru menerima 1,5 milyar.”
Reino yang tadinya menatap dokumen rapatnya, kini mendonggak menatap Lydia. Pria jangkung itu melipat kakinya dan mengatupkan kedua tangan di depan dagu, menatap wanita di depannya dengan intens. Dia ingin jawaban.
Tidak sanggup menatap Reino yang menatap dirinya dengan intens, Lydia segera menundukkan kepala. Tatapan itu begitu mengintimidasi, nyaris membuatnya buka suara. Untung saja Lydia menunduk tepat waktu.
“Kamu bisa melakukan ini, Lydia,” serunya dalam hati. Dia perlu mengumpulkan tenaga untuk menjawab Reino yang selalu terlihat menakutkan dalam keadaan apapun.
“Maaf, Pak. Bagi saya itu masalah pribadi.”
Reino mengeryit tidak suka dengan jawaban itu. Padahal Lydia terlihat lemah, tapi rupanya tekadnya sekuat baja.
“Kamu pikir saya tidak bisa cari tahu?” tanya Reino penuh penekanan.
Lydia terpaksa menahan napas karena ucapan yang terdengar seperti ancaman itu. Dia juga tahu kalau Reino punya kemampuan untuk mencari tahu, tapi Lydia tetap pada pendiriannya.
“Maaf, Pak. Rapatnya akan dimulai kurang dari 10 menit lagi. Saya harus pergi menyiapkan ruang rapatnya.”
Tanpa menunggu jawaban dari Reino, Lydia segera berbalik untuk pergi. Kali ini dia lebih memilih untuk menghindar, walau nanti atasannya itu akan marah besar.
“Sialan sekali sih perempuan itu,” geram Reino merasa egonya tersentil.
Belum pernah ada perempuan yang menolaknya dan kini Lydia kembali menolak, bahkan hanya untuk menjawab sebuah pertanyaan sederhana.
Tadinya sih Reino tidak mau ambilmpusing soal perempuan itu lagi. Dia tidak mau tahu lagi dan hanya akan fokus menyiksanya. Tapi entah bagaimana, otak dan anggota tubuh Reino tidak bisa bekerja sama.
Pria blasteran itu meraih ponselnya dan menghubungi kepala pengawalnya.
“Cari tahu siapa orang-orang yang tadi membuat keributan di lobi kantorku dan apa hubungannya dengan Lydia.”
“Maaf, Pak? Lydia siapa yang anda maksud?”
“Apa aku juga harus memberitahumu soal itu?” geram Reino benar-benar kesal.
“Maaf, Pak. Akan segera saya cari tahu.”
“Malam ini. Aku ingin semua datanya ada paling lambat malam ini,” titah Reino sebelum menutup telepon secara sepihak.
***To Be Continued***