webnovel

Aranya

Beberapa menit penuh ketegangan dengan pemandangan kilat-kilat di sekitarku. Tombol yang kutekan di sepatu tadi sepertinya tombol untuk memulai berpindah ke tempat yang dituju. Tak sengaja tertekan sebelum sempat mengatur lokasi tujuanku, Bumi.

Tanpa kusadari, aku sudah berada di tempat lain. Pemandangan kilat digantikan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Dahan yang bercabang rapat membentuk payung menutupi sinar 'mataharinya' planet ini. Mungkinkah aku tersasar?

Aku mencoba mengutak-atik sepatu tadi. Namun, sepatu itu sepertinya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa digunakan kembali. Menjelajahi hutan ini adalah satu-satunya pilihan.

Aku mencoba terbang untuk memudahkan perjalanan. Aku berusaha mengangkat tubuhku ke atas, tetapi tidak bergerak sedikitpun. Padahal seingatku serbuk terbang masih bisa bertahan beberapa jam lagi. Apa mungkin efeknya tidak bekerja di luar kapal?

Aku memungut ranting-ranting pohon dan menjadikannya tongkat jalanku. Perjalananku berlanjut. Tempat ini bagus. Terdapat jalan di antara barisan pepohonan yang beralaskan rumput-rumput. Tepat di sebelahnya terdapat rawa-rawa yang luas. Sesekali terdapat bunga di sekitar jalan yang dihinggapi macam-macam serangga. Tak jarang hewan-hewan liar melintas. Rata-rata semua spesies hewan ini sama seperti di Bumi. Namun, spesies disini cukup membuatku bingung. Kupu-kupu berlari, harimau pemakan daun, bahkan ada penguin di rawa-rawa. Dunia ini cukup aneh. Mungkin kondisi lingkungan di tempat ini memaksa mereka untuk beradaptasi dengannya.

Aku meneruskan perjalanan. Tak ada petunjuk, tak ada arah. Terus berjalan tanpa tujuan sampai tak tersadar jalanan yang semula rerumputan berganti menjadi lumpur. Tongkat berjalanku sedikit demi sedikit mulai bergerak turun. Lumpur ini membuat kakiku terbenam dan membuat tongkat berjalan tadi menyelam di bawahnya. Aku tak dapat meraihnya. Aku panik dan berteriak meminta tolong. Namun, usaha apapun yang kulakukan tetap tidak membuahkan hasil. Aku terjebak!

Lima belas menit aku disini. Hari sudah mulai senja. Aku harus segera keluar dari lumpur ini. Beruntung lumpur ini tidak menenggelamkan seluruh tubuhku. Hanya bagian kaki sampai pinggangku yang ditelannya. Tiba-tiba jam tanganku berkedip. Jam tangan yang tak tahu dari mana asalnya terpasang saat aku tersadar di ruang UKS sekolah. Aku coba menekan jam itu agar tak berkedip lagi. Seketika jam terbuka dan mengeluarkan sinar yang sangat terang. Mataku silau. Mungkinkah itu senter darurat?

Aku mengarahkannya ke kiri, ke kanan, sesekali ke atas. Cahayanya mungkin hampir sama seperti lampu sorot yang biasanya ada di panggung besar. Bahkan pohon-pohon di sekitar jalanan tadi masih terlihat terang. Mungkin ada penduduk sekitar yang akan menolongku jika aku menggunakan ini.

Sudah hampir setengah jam sejak aku terjebak disini. Namun, tak ada yang datang. Aku menutup jam itu kembali dan sinarnya pun menghilang. Aku menoleh ke depan. Alangka terkejutnya aku melihat sekumpulan orang berada di tepian lumpur. Mungkin puluhan jumlahnya. Mereka mengumpulkan ranting-ranting yang berserakan di sekitar dan mengikatnya menjadi satu, lalu salah satu sisinya didorong ke arahku. Lantas kupegang ranting itu kuat-kuat dan mereka mulai menariknya. Tak mudah memang keluar dari lumpur ini. Lebih dari sepuluh orang yang dibutuhkan untuk menarik satu orang dari sini.

Setelah beberapa lama, aku berhasil keluar dari lumpur dan langsung diangkat untuk dibawa ke suatu tempat. Aku tak bisa berbicara dengan mereka karena mereka berinteraksi dengan bahasa setempat yang tak kumengerti. Aku dibawa ke sebuah tempat seperti desa kecil. Rumah-rumah tampak terbuat dari ranting-ranting yang disusun sedemikian rupa dan disambungkan antara satu dengan yang lainnya. Di tengahnya terdapat sebuah api unggun dan terdapat tulang belulang di dekatnya. Mungkin itu adalah tempat mereka berkumpul dan makan malam bersama.

Rombongan kelompok itu berhenti di sebuah rumah yang cukup besar. Aku diturunkan dan salah satu orang dari kelompok itu langsung mengikat tanganku. Perasaanku mulai tidak enak. Orang itu lalu berbicara dengan yang lainnya dengan bahasa setempat seperti memberi instruksi. Mereka pun langsung bergerak dan membawaku menuju sebuah tiang tinggi tak jauh dari rumah besar tadi. Mereka lalu mengikat badan dan kakiku disana. Beberapa orang yang lain mulai sibuk menyiapkan peralatan di dekat api unggun. Sebuah kuali raksasa dan beberapa peralatan masak mulai disiapkan. Sepertinya aku tahu maksud mereka. Dan juga tulang belulang di sekitar api unggun itu. Aku adalah makan malam mereka!

Simpul ikatan yang kuat membuatku sulit untuk bebas dari sini, bahkan menggerakkan tangan pun tidak bisa. Mereka menolongku hanya untuk menjadikanku santapannya. Hari mulai gelap. Mereka tampak siap memasak makan malam. Salah satunya pun mendekatiku dan melepas ikatannya. Saat sudah sempurna terbebas dari ikatan, aku langsung memukul wajahnya dan berusaha mengambil ranting-ranting di dekatku. Orang itu terjatuh dan membuat yang lain marah dan mengejarku.

Tak ada tujuan lain selain ke hutan. Aku berlari dengan tongkat ranting itu dengan cepat. Ayunan tongkat dengan ayunan kakiku bergerak bergantian menjauhi kelompok itu. Aku sampai di ujung hutan. di depanku sebuah tebing curam. Aku terjebak disini. Kelompok itu sudah mengepungku dari belakang. Tak ada jalan untuk kabur.

Di tengah situasi genting, terdengar keramaian di belakang kelompok itu. Kupikir itu gerombolan mereka yang lain. Di belakang kulihat beberapa orang terpental ke langit. Kelompok yang baru datang rupanya menyerang kelompok yang mengepungku. Suasana menjadi kacau. Kelompok berjaket hitam bercorak hijau muncul menembaki kelompok tadi dengan pistol lasernya. Dalam hitungan detik, kekacauan berakhir. Suasana lengang seketika. Kelompok berjaket tadi menghampiriku.

"Hai, Nak. Kau tidak apa-apa?" Tanya salah satunya.

Aku mengangguk. Orang itu kemudian mengeluarkan ponselnya~kurasa dan terlihat seperti memanggil sesuatu

"Ayo ikut dengan kami. Aku telah memanggil kendaraan untuk membawamu ke menara pusat. Kamu terlihat seperti baru mengunjungi planet ini. Kami membutuhkan informasi yang jelas tentangmu"

Aku kembali mengangguk. Walaupun dengan sedikit ragu. Aku tidak tahu mereka siapa dan apakah juga kelompok jahat. Bahkan belum sepuluh menit bertemu sudah diajak ke suatu tempat. Aku tetap harus waspada.

Tak lama, sebuah benda yang terlihat seperti bumerang terbang muncul dari bawah tebing. Benda itu mendarat di depanku. Tak ada pintu masuk di benda itu. Orang tadi meletakkan tangannya di salah satu kaki bumerang itu. Seketika tubuhnya menghilang tersedot ke dalamnya. Disusul anggota lainnya dan meninggalkanku sendiri di luar.

"Hei, Nak! Tempelkan tanganmu disana! Kami sudah memberikan aksesnya kepadamu" sahut orang tadi.

Aku melakukannya dan seketika tubuhku menghilang tersedot ke atas. Sesampainya disana, aku melihat sekeliling. Ini seperti kapal ekspedisi. Terdapat pengendali di sepanjang kapal. Tak jauh dari sana, terdapat beberapa sofa dan tempat tidur, semacam ruang istirahat. Dindingnya yang serba putih mengingatkanku pada ruang kendali kapal Tn. Andes.

Aku berjalan menuju sofa agar bisa beristirahat sejenak. Saat kusampai disana, orang yang tadi menghampiriku.

"Selamat datang di Aranya. Kota dengan pepohonan menjadi pemandangan utamanya. Silahkan beristirahat terlebih dahulu. Aku tahu Kau pasti lelah dikejar kelompok tadi. Bila ingin makan, pergi saja ke dapur kapal"

Aku mengangguk lagi. Kondisi tubuhku yang belum tenang menyebabkanku sulit untuk berbicara. Mungkin setelah istirahat nanti aku harus bersiap-siap dengan apapun yang terjadi selanjutnya.