webnovel

DOSENKU TENGIL

(SUDAH END, YA!) Awalnya, aku membencinya. Iya, benci. Dia itu sangat amat dan terlalu menyebalkan. Si muka datar sedingin es balok! Namun, kenapa bisa tiba-tiba kami menikah? Dari perjodohan itulah semua berawal. Namun, ternyata ini bukan sekedar perjodohan biasa. Dia, si dosen tengil itu, menyimpan sebuah rahasia yang tak pernah aku duga sebelumnya. Hingga membuatku terjebak, dalam rasa benci, juga cinta yang semakin dalam. By ~ Alena Callisia Raharja Cover ; Audreana Ivy

Nay_Asmiati · 现代言情
分數不夠
32 Chs

DT. 3

Hari itu, setelah melihat hasil ujian. Aku dibuat shock seketika. Nilai semesterku semakin anjlok. Aku pun duduk di kelas, meratapi nasib yang semakin menyedihkan. Bahkan candaan Jihan yang berusaha menghibur pun tak aku tanggapi.

Oh, dosa apa aku ini, Ya Tuhan?

"Alena!"

Aku menoleh.

"Dipanggil Pak Zay!" seru Meta di muka pintu.

"Nah, lho! Tuh dosen udah panggil lo, Al? Respect banget dia. Kalau gue jadi lo, gue rela sering-sering disuruh ke ruangannya."

Segera kulempar gumpalan kertas yang ternyata ditepis oleh Jihan. "Makan tuh respect!" umpatku kemudian.

Jihan tertawa. "Nikmatnya yang punya pembimbing kece!"

"Iih, amit-amit!" Aku bergidik. "Tunggu di kantin, entar gue nyusul." Aku pun melenggang keluar kelas.

Setibanya di depan ruang Pak Zay, kuketuk pintu segera.

"Masuk!"

Tanpa menunda waktu, kubuka dan menutupnya lagi, lalu berjalan ke arah meja. Di mana si dosen incaran banyak mahasiswi itu sedang berdiri memegang sebuah buku. "Permisi, Pak," sapaku setelah berdiri di depannya.

"Duduk!" perintahnya, tapi kedua matanya masih tertuju pada di tangan.

Kuhempaskan diri di atas kursi, duduk manis di hadapannya. Pak Zay pun duduk sambil menyimpan buku bersampul coklat itu.

"Alena."

"Ya, Pak?"

"Ternyata masih sama. Banyak mata kuliah yang harus kamu ulang di semester depan," ucapnya dengan intonasi lambat, tapi terasa mengguncang jiwa ini.

Aku hanya diam, menyadari kesalahanku.

"Bodoh," desisnya.

"Apa maksud Bapak?"

"Hanya kamu Alena, mahasiswi yang rutin mendapat nilai C-, bahkan D!"

Aku memegang dada, sesak rasanya. Ya ampun, cobaan apa lagi ini? Cukup sudah aku melewati semua. Lima semester yang terbuang percuma.

Aku memegang kepala. Belum apa-apa kepalaku sudah berdenyut. "Saya izin pulang, Pak. Kepala saya pusing." Lalu berdiri, hendak pergi.

"Tapi saya belum selesai bicara." Pak Zay mengarahkan telunjuknya, menyuruhku duduk kembali.

Dengan napas berat, perlahan aku turunkan kembali tubuhku.

Oh, no! Bagaimana ini? Pasti Papa dan Mama memarahiku habis-habisan. "Saya ... sangat menyesal dengan kejadian ini, Pak."

"Menyesal? Hah, saya tidak yakin," tukasnya.

Aku mengangkat kepala, menatapnya sekilas. Lalu merunduk, meresapi rasa lelah ini.

"Hmm, drama queen," ucapnya pelan, tapi terdengar jelas di telingaku.

Aku menatapnya lagi selama beberapa detik, kemudian memalingkan wajah dengan cepat.

"Kenapa harus marah padaku? Ini kesalahanmu, 'kan?"

"Bapak pikir saya mau seperti ini?"

"Ini akibat perbuatan kamu, Alena. Kamu yang menjadikan nilai-nilai kamu jelek. Bahkan dalam empat SKS mata kuliah saya, kamu selalu datang terlambat!"

Aku hanya memalingkan wajah dari tatapannya.

"Baiklah, saya akan beri penawaran."

Kembali aku menatapnya, menyipitkan mata. Penawaran? Seperti jual beli saja. Atau jangan-jangan ....

"Saya bisa bantu kamu dengan memberi bimbingan ekstra, agar tidak harus cuci nilai di setiap semester, bahkan mungkin hingga lulus nanti."

"Bapak mau membuat kesepakatan dengan saya?" Aku bertanya penuh keheranan.

Pak Zay berdehem. "Anggap saja seperti itu. Besok kita bicarakan lagi, saya masih banyak urusan," pungkasnya dengan isyarat tangan mempersilakan aku keluar.

Aneh.

Aku terdiam, memikirkan apa yang harus aku lakukan? Bertanya, atau .... ah, sudahlah. Pulang saja, lebih baik tidur di rumah. Menyiapkan mental untuk ceramah Mama dan Papa nanti malam.

Aku pun berpamitan, keluar dari ruangannya.

Sepanjang perjalanan pulang, otakku mulai dipenuhi tanda tanya. Bahkan aku membatalkan niatku ke kantin, akibatnya Jihan  mengomel padaku lewat voice note. Lima pesan suara dia kirim.

***

"Alena!" Terdengar teriakan dari belakang. Rupanya Jihan baru datang, dia memberi isyarat agar aku menunggunya yang sedang memarkirkan mobil.

Syukurlah, itu artinya dia sudah tidak marah lagi.

"Muka lo kenapa pucat, gitu? Kayak yang kurang tidur." Jihan mengernyitkan kening saat kami sudah berhadapan.

Aku tersenyum kecut. Apa yang harus aku katakan? Mana mungkin kuceritakan perbincangan kemarin bersama Pak Zay, yang akhirnya membuat kedua mataku ini terjaga semalaman.

"Mikirin hasil ujian, ya?" tebak Jihan.

Aku menoleh, lalu menggedikkan bahu pasrah.

Saat berjalan menyusuri koridor kampus, terlihat Pak Zay sedang berjalan dari arah berlawanan.

"Pak Zay, Al!" Jihan menyikut lenganku.

"Kenapa emang?"

"Biasanya lo males ketemu dia."

Ah, iya. Biasanya aku berputar, lalu berbalik arah. Atau sengaja berbelok, walaupun tanpa tujuan jelas mau ke mana.

"Lo duluan, gue mau ke toilet." Aku menepuk lengan Jihan, lalu berhenti melangkah.

"Oke!" sahutnya diiringi sebuah anggukan. Kembali melenggang menuju arah perpustakaan.

Sempat kulihat Jihan menyapa Pak Zay, yang dibalas sebuah anggukan. Hingga akhirnya dosen tanpa ekspresi itu berjalan ke arahku, semakin dekat.

Hah, bagaimana ini? Bertanya atau tidak?

Beberapa langkah lagi, dan kedua mata itu menatapku. Aku berputar segera, berlari kecil menuju toilet.

Ya ampun, ada apa ini? Kenapa mendadak takut dan grogi.

Di dalam toilet, aku berdiri termenung menghadap cermin wastafel.

Apa?

Apa maksud perkataannya?

Huh, aku menepuk jidat. Bingung sendiri. Bertanya malu, tidak bertanya penasaran.

Ponselku bergetar. Jihan mengirim pesan, menanyakan apakah aku masih lama di toilet?

Masih mules, balasku.

Ah, sudahlah. Lupakan semua, Alena. Lupakan! Dia itu hanya dosen pembimbing, lupakan semua pikiran kotormu.

Namun, tetap saja aku masih penasaran. Ini seperti teka-teki, tak bisa membuat hatiku tenang jika belum mengetahui jawabannya.

Bagaimana jika selain memiliki sifat menyebalkan, Pak Zay juga seorang yang mesum? Dia akan mengajakku ke hotel, menemaninya tidur dan ... abrakadabra! Nilaiku bersinar.

Huaa, tidak! Kutepuk pipiku, mencipratkan air ke wajah.

Sadar, Alena!

Ini tidak bagus, lebih baik aku segera menemui Jihan di perpustakaan. Untuk mengembalikan buku-buku di tangan, kemudian mengajaknya jalan ke toko buku atau makan siang di kafe langganan kami. Dengan begitu aku bisa mengobrol panjang lebar dan melupakan kejadian kemarin.

Aku keluar dari ruangan toilet. Membuka pintu, lalu menutupnya kembali.

"Lo yang namanya Alena, 'kan?!" Gweny --salah satu mahasiswi hits di kampus-- bertanya dengan nada membentak.

Aku terperangah. "Iya. Ada apa?" tanyaku sambil memundurkan tubuh, merasa risi karena kehadirannya yang tiba-tiba.

"Sialan!" makinya sambil mendorong bahuku. Membuat buku di pangkuan berjatuhan.

"Lo sehat, 'kan?" tanyaku berusaha meredam amarah.

"Lo ternyata cuma cewek biasa. Apa istimewanya lo?!"

Aku menyipitkan mata, lalu menggelengkan kepala tak mengerti. Saat akan merundukkan badan untuk mengambil buku di bawah, tiba-tiba tanganku di tarik hingga aku kembali berdiri.

"Apa, sih?" Kuhentakan tangannya seketika.

"Lo ini siapa, hah? Beraninya--"

"Gweny!"

Aku menoleh ke arah suara yang sudah tak asing itu.

"Hentikan!"

"Jadi perempuan seperti ini selera Anda?!" Gweny bersungut.

"Kenapa memang? Kamu tidak berhak ikut campur urusanku!" bentak Pak Zay yang sudah berdiri di dekat kami. Tatapannya tajam, berdiri tegak dengan kedua tangan menelusup ke dalam saku celana hitamnya.

Membuatku terkesima. Argh, segera kukedipkan mata.

Aku menoleh bergantian ke arah mereka. Ada apa ini?

"Tapi saya tidak terima! Apa istimewanya dia dibanding saya?!" Gweny terus bertanya dengan nada penuh emosi.

"Saya rasa kamu tidak perlu tau itu," sahut Pak Zay dengan intonasi lebih tenang.

"Tunggu! Ada apa ini sebenarnya?" Aku berseru.

Gweny tertawa, seperti dipaksakan. "Saya tidak percaya. Bapak pasti hanya mengada-ngada, agar bisa menolak saya!"

Menolak? Menolak apa?

Belum selesai otakku berasumsi, tiba-tiba tangan kananku diraih oleh Pak Zay.

"Akan aku buktikan," ucap lelaki berkemeja hitam itu.

"Buktikan apa?" Aku semakin bingung.

"Menikahlah denganku, Alena!"

Aku membulatkan mata, lalu berusaha mengentak genggaman tangannya, tapi sayang tak bisa. Kuat sekali tenaganya.

"Bukankah kemarin aku sudah katakan ini, Alena?" Pak Zay menatapku dengan sorot yang seolah mengisyaratkan sesuatu.

Kemarin?

Jadi, ini maksudnya?

Dia akan membantuku agar tidak harus mencuci nilai, dengan syarat ... mengajakku menikah?!

Gweny mendengkus, menatapku tajam. Berbalik, kemudian melangkah lebar semakin jauh. Aku memang tidak terlalu mengenal dia, tapi aku tahu selama ini dia mati-matian mengejar Pak Zay. Maksudku, Jihan yang memberitahukannya.

Lalu sekarang ...?

"Anda jangan bercanda, Pak! Saya tau, saya ini cuma mahasiswi bodoh, dengan nilai jelek dan hancur. Tapi jika ini yang harus saya lakukan agar--"

"Sebenarnya ini tidak ada hubungannya dengan nilaimu, Alena," desisnya di depan wajahku.

Aku memundurkan wajah. Tersadar, sudah banyak orang yang memperhatikan kami.

Astaga, tontonan gratis ternyata!

"Nanti malam aku ke rumahmu. Tunggu aku," ujarnya, lalu melepas genggaman tangannya itu.

Hampir aku membuka mulut, ingin bertanya untuk apa dia ke rumahku lagi.

"Jangan menolakku, itu tak akan bisa," sambungnya

Bibirku merapat.

Pak Zay berputar membelakangiku. "Ada apa ini? Bubar!!!" serunya.

Lagi-lagi aku tak sempat bertanya. Hanya bisa terdiam menatap punggung yang berlalu itu.

Oh, God! What happened to me?

*****

--bersambung--