webnovel

DOSENKU TENGIL

(SUDAH END, YA!) Awalnya, aku membencinya. Iya, benci. Dia itu sangat amat dan terlalu menyebalkan. Si muka datar sedingin es balok! Namun, kenapa bisa tiba-tiba kami menikah? Dari perjodohan itulah semua berawal. Namun, ternyata ini bukan sekedar perjodohan biasa. Dia, si dosen tengil itu, menyimpan sebuah rahasia yang tak pernah aku duga sebelumnya. Hingga membuatku terjebak, dalam rasa benci, juga cinta yang semakin dalam. By ~ Alena Callisia Raharja Cover ; Audreana Ivy

Nay_Asmiati · Urban
Not enough ratings
32 Chs

DT. 4

Aku duduk di atas kasur, menatap langit Bandung sore hari dari balik jendela kamar. Awan biru yang berarak, burung-burung terbang bergerombol. Cerah sekali. Sayang, tak secerah hatiku.

Pikiranku masih kalut, memikirkan ucapan Pak Zay tadi siang.

"Menikahlah denganku, Alena!"

"Nanti malam aku ke rumahmu. Tunggu aku."

"Jangan menolakku, itu tak akan bisa."

Deg!

Hah, lemas badanku.

Kuraih bantal, menutup wajah. Baru beberapa detik, yang ada malah pengap terasa. Akhirnya kupukuli saja itu bantal. Membantingnya ke lantai, lalu bangkit untuk menginjaknya. Berkali-kali. Demi melampiaskan amarah yang tak bisa kuluapkan pada si dosen sok keren itu.

"Dasar! Belagu! Mentang-mentang ganteng! Jangan karena hampir separuh mahasiswi kampus suka ama lo, lo seenaknya sama gue! Lo pikir gue cewek apaan, hah?!"

"Neng Alena?"

"Bibi? Ketuk pintu dulu, dong!" Aku merapikan rambut yang tergerai acak-acakan.

"Maaf, urujen, Neng." Bi Munah meringis.

"Urgent, Bi. Urgent! Ada apa?" Aku merunduk, mengambil kembali bantal berbentuk kepala Panda itu.

"Mama sama Papa suruh Neng turun."

"Mau apa? Belum waktunya makan malam, 'kan?" tanyaku tak acuh sambil menepuk-nepuk bekas injakan kaki.

"Ada keluarga Tuan Arsyad--"

"Apa?!" Aku melempar bantal ke arah Bi Munah.

"Astagfirullah, Neng!"

Tak kupedulikan teriakannya, kedua kakiku terus berlari. Di balik tembok ruang tengah, aku berdiri memperhatikan mereka.

"Menikah?!" Terdengar Papa bertanya dengan nada terkejut.

"Iya, Angga. Kami mau melamar Alena untuk menjadi istri Zay. Kami pikir, umur Zay sudah cukup untuk membangun rumah tangga." Om Arsyad menepuk pundak Pak Zay.

"Kamu yakin, Zay? Secepat ini? Bukannya bulan lalu kamu mengatakan akan menunggu Alena lulus kuliah dulu?" Mama bertanya ragu.

Pak Zay terdiam, seperti berpikir. Lalu menyunggingkan seulas senyum. "Zay serius, Tante. Zay rasa, lebih cepat lebih baik. Zay tidak mau menundanya lagi," ucapnya dengan raut tenang tapi menyiratkan keseriusan.

OMG hellow! Apa itu benar? Apa itu kata-kata yang diucapkan oleh si dosen tengil itu. Lelaki yang selalu menatapku sinis, dingin dan berkata dengan nada membentak.

Dia benar-benar ingin menikahiku! Seperti ucapannya tadi siang, yang terang-terangan memintaku menikah dengannya di hadapan orang banyak.

Rasanya masih belum percaya sepenuhnya. Aku mempertajam pendengaranku. Obrolan apalagi yang akan mereka lontarkan.

"Neng Alena, kok, berdiri di sini?"

"Sompret!"

"Aduh, hampura, Neng. Enggak sengaja!" Bi Munah membantuku berdiri. Aku hanya menggeram sambil mengusap bagian bawah tubuh.

Hasilnya, aku meringis malu. Menyadari kelima pasang mata itu menatapku.

"Ini yang Om khawatirkan. Lihat dia, usianya sudah dua puluh satu, tapi pikirannya itu belum sebanding dengan umurnya." Papa menatapku, dengan sorot yang bisa kuartikan sebagai rasa ... entah khawatir atau kecewa.

"Tidak apa, Zay memaklumi. Lagi pula, kedewasaan bukan dinilai dari umur, 'kan?"

Aku yang masih berdiri di pintu penghubung ruang tamu dan ruang tengah, hanya bisa menatap kedua lelaki yang sedang saling berargumen itu.

"Lebih baik kita tanya Alena dulu, Pa." Mama memberi anjuran.

"Lho, bukannya Alena sudah setuju?" Papa melirikku.

Aku terenyak. "Hah?"

"Alena pasti masih malu. Iya, 'kan?" Tante Hani tersenyum, seperti ... aneh.

Membuatku menautkan kedua alis.

"Zay tadi lamar kamu, 'kan? Terus ... kamu terima dia. Ini, sih, enggak usah pakai acara perjodohan segala," lanjut Tante Hani.

Lamar?

Tadi siang?

Jelas-jelas aku belum menjawabnya.

Jangan-jangan?

Kutatap satu persatu orang-orang itu. Tante Hani, Om Arsyad, Papa dan Mama yang sedang tertawa. Sebaliknya dengan si dosen muka datar. Dia benar-benar diam, tak berkata apa-apa.

Ada yang aneh dengan perjodohan ini. Mereka sudah merencanakannya sejak bulan lalu?

Ah, ada konspirasi rupanya, dan mereka menyembunyikannya dariku!

"Ta-tapi, 'kan, Ma, Pa. Alena ...." Bibirku membeku, entah harus beralasan apa untuk membantah semua ini.

Kulihat sekali lagi lelaki itu. Tampan sekali, Ya Tuhan. Haruskah aku menolak anugerah indah ini?

Berapa banyak mahasiswi yang akan patah hati, saat melihat kamu bersanding bersama dia, Alena?

Termasuk Gweny. Kamu akan berhasil membalaskan dendammu, atas perlakuannya itu. Hahaha!

"Alena!"

"I-i-iya, Ma."

"Bagaimana, kamu mau?"

Aku menggigit bibir. Melayangkan pandangan. Berhenti pada satu wajah. Ekspresinya itu, terlihat sangat menunggu.

Baiklah, Alena. Coba ingat-ingat lagi, bukankah dia selalu menatapmu secara diam-diam? Di perpustakaan, di kantin, di kelas, di ruangannya, di mobil, bahkan di rumahmu.

Lalu kejadian tadi siang. Dengan beraninya dia melamarku di hadapan orang banyak? Entah itu karena Gweny atau apa, tapi dia sempat mengatakan, jika lamarannya itu tidak ada hubungannya dengan nilai semesterku.

Itu artinya, karena perjodohan ini. Atau mungkin, karena perasaannya padaku.

***

Akhirnya, pernikahan pun berlangsung. Di depan semua keluarga dan kerabat yang hadir, dengan lantangnya Pak Zay mengucapkan ijab kabul untukku.

Hanya pesta sederhana, tapi memberi rasa yang sulit untuk aku ungkapkan. Kadang ada kesal, marah, benci. Karena aku tak tahu menahu tentang perjodohan ini. Namun, saat mataku tak sengaja beradu pandang dengannya, debar hebat itu mengalahkan semua rasa.

Oh, apakah ini tanda-tanda aku telah jatuh cinta?

Apalagi saat aku harus mencium tangan Pak Zay yang sudah resmi menjadi suamiku, dan dia berbalik mencium keningku. Rasanya, ada hangat dan desir yang mengalir. Bahkan terasa basah sepanjang acara berlangsung, seolah jejak bibir Pak Zay begitu lekat menempel di sana.

Hingga malam itu tiba.

Aku duduk bersandar di tepi ranjang, dan Pak Zay masih membersihkan diri di kamar mandi. 

Ah, tidak! Ini malam pertamaku. Rasanya ... seperti ada kereta api yang melintas di dada. Bergemuruh, berdebar, bergejolak. Entah apalah namanya.

Tidak percaya, saat menatap tubuh di depan cermin. Berbalut piyama sutra tipis, padahal biasanya aku akan memakai piyama katun bermotif kartun ; Sinchan, Doraemon, atau Winnie The Pooh.

Sekarang?

Geli juga risi. Melihat setiap lekuk tubuh sendiri yang dibalut gaun malam berwarna merah marun.

Susah payah aku menetralkan detak jantungku agar seimbang. Menarik napas, lalu mengembuskan perlahan. Seperti itu, terus. Sampai pintu kamar mandi terbuka.

Gawat!

Aku beringsut ke sudut ranjang. Memeluk kedua lutut, lalu menyembunyikan wajah di antaranya.

Langkah pelannya, seakan berdengung keras di kedua telinga. Seperti sebuah hujaman keras di dada. Membuatku semakin memejamkan mata, rapat dan enggan terbuka.

Kurasakan gerakan di dekat tubuh, dan sebuah embusan napas. Aroma menyegarkan sabun mandi menyentuh indra penciuman.

Oh, no! Sedekat itukah dia sekarang?

Sebuah belaian terasa di kepala, semakin turun, hingga sampai di pundak. "Kamu cantik, Alena."

Aku mengangkat wajah, Pak Zay menatapku sendu. Perlahan wajahnya mendekat, semakin mengikis jarak di antara kami. Aku memejamkan mata, dengan sejuta debar dalam dada.

Sepi.

Perlahan kubuka kembali kedua mata, dia masih menatapku dalam jarak dekat. Dekat sekali. Kemudian matanya terpejam, merunduk. Lama.

"Alena, apa kamu berpikir kita akan melakukannya sekarang?"

Aku mengernyitkan kening. Merasa heran, memang apalagi yang dilakukan oleh sepasang suami istri di malam pertama? Adakah yang lain selain 'itu'?

Pak Zay meraih tangan kiriku. "Aku tau, ini terlalu mendadak. Kupikir, aku egois karena memaksamu untuk menikah denganku." Dia menggenggamnya lembut.

"Iya, saya rasa ... juga begitu," bisikku.

"Aku rasa, kita membutuhkan waktu untuk saling mengenal. Iya, 'kan?"

Aku mengangguk.

"Alena," panggil Pak Zay.

"Ya?"

"Berjanjilah padaku, jangan pernah bertanya tentang semua hal yang aku lalukan padamu. Yang aku tau, aku sangat bahagia dengan pernikahan ini."

Kutatap dalam-dalam wajahnya. Ada bening yang menggenang di pelupuk mata itu. Aku memalingkan wajah, merasa berdosa. Mungkinkah dia tahu, aku melakukan pernikahan ini dengan perasaan setengah terpaksa?

"Beri aku waktu, untuk menjelaskan semuanya padamu secara perlahan. Aku pastikan, kamu akan memahami semuanya."

"Maksudnya?"

"Aku akan menjaga dan melindungimu, Alena. Sekuat tenagaku." Bibirnya tersenyum. "Selamat tidur," lanjutnya sambil menepuk puncak kepalaku.

Apa ini? Apa maksudnya?

Kutatap punggung yang berlalu itu. Pak Zay menaruh bantal yang dia bawa di atas sofa, setelah itu merebahkannya di sana.

Akhirnya, sepanjang malam aku kesulitan tidur. Ucapan-ucapannya itu seolah menari-nari di dalam otakku, hingga pagi menjelang.

*****

--bersambung--