"Iya Mbak, iya ...," jawab Hilmi panik.
Karena ini adalah hari pertama dia bekerja, mau tidak mau Hilmi harus menurut apa saja yang dikatakan atasannya itu.
Ya, meskipun Nadira galak, tapi dia tetap atasan Hilmi. Tidak akan ada satu pun kata yang mampu membantah setiap perkataan Nadira. Kalau tidak nurut, bisa-bisa Hilmi sudah dipecat duluan sebelum bekerja.
Hilmi menaruh tas besar itu ke lantai, membukanya dan mengambil beberapa peralatan untuk membersihkan meja. Memulainya dari ujung meja sebelah kanan Nadira.
"Yang bersih," ingat Nadira seraya melirik gerakan tangan Hilmi dan wajahnya yang tampak pasrah.
Hilmi hanya mengangguk.
Menahan rasa lapar sambil melakukan hal yang mengerikan. Membuat Hilmi seakan berada di tengah pengawasan serigala buas yang siap menerkamnya kapan saja.
Setelah membersihkan di beberapa sudut meja, Hilmi mulai mendekati bagian di dekat Nadira. Hampir mendekati tangan Nadira yang sedang mengetik di atas papan 'keyboard'.
"Aduh! Yang bener, dong. Kamu enggak liat saya lagi ngapain?" tegur Nadira, "lagian sebelah situ juga belum dibersihin."
Hilmi menelan ludahnya hati-hati. "Udah kok, Mbak."
Nadira mengambil tisu yang ada di sebelah kiri laptopnya dan mengelapnya ke bagian meja yang dia tuju.
"Mana? Bersih apanya?" tanya Nadira dengan nada serius agak tinggi.
Belum sempat Hilmi menjawab, Nadira melanjutkan kata-kata jahilnya.
"Masih kotor gini, kok. Bersihin lagi ...."
"I–iya, Mbak."
Tanpa membantah, Hilmi langsung membersihkan ulang. Kali ini dia sangat mengerjakannya dengan benar dan sungguh-sungguh.
Tanpa ada rasa ragu pada tindakan Nadira. Mungkin memang seketat ini pekerjaan yang harus dia lakukan di sebuah toko donat terkenal, pikirnya.
Nadira hanya sibuk mengetik dengan asal-asalan dan menghapusnya kembali agar terlihat seperti orang sibuk. Sesekali melihat ke arah Hilmi dengan rasa kasihan, namun menyenangkan.
Tok tok tok!
Pintu terbuka, betapa terkejutnya Nadira melihat bos yang sudah ada di baliknya. Bos melihat ke arah Hilmi yang sedang membersihkan meja, kemudian menatap ke arah Nadira.
Nadira pun membuka mulutnya singkat dan merapatkannya kembali, tersenyum karena tindakan bodohnya yang sudah berulang kali ketahuan oleh si bos kini terlihat lagi.
"Nadira ...," tegur Pak Bos.
Nadira pun tertawa kecil. "Hehe ...."
"Hilmi ... udah, Mi. Udah, udah ... udah bersih, kok. Beresin, beresin ...." Nadira menyuruh Hilmi merapikan alat-alatnya.
Hilmi hanya menatap bola mata Nadira kebingungan. "T–tapi ... sebelah situ belum, Mbak."
"Beresin ...," tekan Nadira sambil tersenyum paksa dan memperlihatkan bola matanya yang sedikit melotot.
"I–iya, Mbak ...." Dengan cekatan, Hilmi pun membereskan barang-barangnya.
Bos berjalan ke arah Nadira dengan perlahan, melihat nasib Hilmi yang harus terkena ulah jahilnya Nadira.
"Udah, udah sana. Kerja, kerja ...." Nadira menuntun Hilmi keluar.
"Permisi, Bos ...," pamit Hilmi sambil menundukkan badannya.
Bos mengangguk.
Setelah menutup pintu, Nadira melihat ke arah bosnya yang masih saja menatapnya. Tersenyum dengan memperlihatkan giginya yang putih.
Menghampiri bosnya dan berkata, "Kenapa, Bos?"
"Kamu ini. Enggak karyawan lama, enggak karyawan baru, dijahili terus."
"Hehe ... maaf, Bos. Abisnya tadi gabut, agak pusing juga. Jadi ... saya cari bahan hiburan," ucap Nadira sambil terkekeh dan menaikkan alisnya.
Di toko donat yang sudah maju ini memang tidak terlalu formal seperti kelihatannya. Nadira dan bosnya sudah terasa seperti seorang anak dan ayah.
Bahkan karyawannya pun tidak dianggapnya sebagai bawahan, melainkan sahabat-sahabatnya yang ikut memajukan toko donat ini.
***
"Hei!" Teriak seorang gadis manis.
Hilmi menengok ke arahnya dan memasang wajah bingung.
"Kamu! Sini!" Teriaknya lagi dengan senyuman yang lebar.
Hilmi melihat ke kiri dan ke kanan, barangkali bukan Hilmi yang dia panggil.
"Saya?" ucap Hilmi sambil menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan.
Gadis itu pun mengangguk girang. Hilmi segera berjalan mendekatinya.
"Kenapa, ya?" tanya Hilmi heran.
"Kamu pelayan baru, kan? Hayo ... ngaku ...." Gadis itu bertanya balik sambil menunjuk ke arah Hilmi dengan wajah candanya.
Pertanyaan itu membuat Hilmi seperti dituduh telah mencuri tisu bekas pelanggan di sini.
"Iya, saya Hilmi. Pelayan baru di toko donat ini." Hilmi tersenyum ramah.
"Bagus!" teriak gadis itu dengan nada tinggi. Membuat Hilmi terkejut.
"Tolong anterin ini ke meja nomor 26, ya!" lanjut gadis itu.
"I–ya."
Hilmi menaruh tas berisikan barang-barang yang tadi dia bawa dari ruang Nadira. "Saya nitip ini dulu, ya."
"Wah ... oke, oke."
Setelah Hilmi menaruh tasnya, gadis manis itu memberikan sebuah nampan yang di atasnya terdapat empat buah donat dan dua cangkir teh hijau kepada Hilmi.
Setelah nampan itu berada di tangannya, Hilmi pun mulai berjalan. Namun, gadis itu menghentikan langkahnya.
"Kak!"
"Iya?"
"Hati-hati ...."
"Iya." Hilmi menunjukkan gigi putihnya.
"Meja 26 ...," lirih Hilmi sambil melihat-lihat meja di sekitarnya. "Oh, itu dia."
"Permisi ...," ucap Hilmi sambil tersenyum ramah kepada dua orang pelanggannya.
"Iya, Mas."
Hilmi menaruh makanan dan minuman mereka dengan sangat hati-hati. Maklum, baru pertama kerja. Kalo kenapa-kenapa kan bisa berabe urusannya. Awikwok!
"Silakan dinikmati." Hilmi mempersilakan mereka.
Sebelum Hilmi sempat melangkahkan kakinya untuk kembali ke gadis yang tadi menyuruhnya. Salah seorang dari pelanggannya menegur.
"Mas ...."
"Iya, Mbak? Kenapa, ya?" jawab Hilmi.
"Hm ...." Wanita berbaju merah itu melihat ke arah temannya malu-malu. "Boleh ... minta foto, gak?"
Hilmi tak habis pikir. Bahkan saat dia menjadi seorang pelayan saja, masih menjadi incaran para wanita.
"Iya, Mbak. Boleh," jawab Hilmi menuruti.
"Yeay!" teriak wanita itu pelan, menunjukkan perasaannya yang gemas dengan jawaban Hilmi.
"Fotoin, fotoin ...," seru wanita itu sambil memberikan gawai kepada temannya.
Mendekati Hilmi dan berpose dengan manis seakan-akan Hilmi adalah pasangan yang sudah lama dia dambakan.
"Oke. Satu ... dua ... tiga."
Cekrek!
"Yah ...." Wanita berbaju putih yang memotret tadi menunjukkan ekspresi terganggu.
"Hah? Kenapa?" tanya wanita berbaju merah.
"Ih ... itu, tuh. Si masnya ganggu suasana," jawab wanita berbaju putih.
Hilmi dan wanita berbaju merah pun melihat ke arah belakang.
"Hehe ... foto gak boleh berdua. Nanti yang ketiganya setan," canda pria itu sambil tersenyum lebar.
"Yeh ... Kamu Mas setannya," balas wanita berbaju merah agak kesal.
Hilmi tak sanggup menahan tawanya.
"Yeh ... niat saya baik lho, Mbak."
"Baik apanya? Orang saya ngajak foto berdua bareng mas ini, kok ...," sahut wanita itu sambil menunjuk ke arah Hilmi.
"Ya ... kan tadi saya udah bilang. Kali foto berdua takut nanti yang ketiganya setan."
Karena mereka berdua sedang ribut, Hilmi pun mencari kesempatan untuk melarikan diri.
"Tapi kan saya enggak ngajak Mas. Saya ngajak Mas yang ini." Wanita itu tersadar Hilmi sudah pergi.
"Lho, Mas yang tadi mana?!" tanya wanita berbaju merah kepada temannya.
"Udah pergi. Haha, kasian ya belum jadian udah ditinggal," balas temannya sambil menertawai.
"Ish!" kesal wanita berbaju merah itu, "gara-gara Mas, sih!"
"Lah, kok saya? Haha ...," ledek pria itu sambil beranjak kabur tanpa ada rasa bersalah.