Safira mencermati pria di hadapannya itu. Pria itu -- yang Safira taksir usianya sekitar 40 tahunan -- duduk dalam gelisah. Wajah si pria menunduk. Mata serta tangannya sedari tadi sibuk mencari-cari dokumen yang harus ia serahkan ke Safira. Bulir-bulir keringat sedari tadi tidak henti-hentinya turun dari garis anak rambut si pria melewati pelipisnya.
"Ada apa dengan cuaca hari ini?!" pria itu menggerutu.
Sejak tadi Safira tahu bila pria itu tidak bisa berkonsentrasi sebab udara panas yang mengepung mereka di ruangan itu. Setidaknya dia masih beruntung karena tidak -- atau belum -- merasa terlalu panas. Mungkin karena dirinya berasal dari negara tropis sehingga dia lebih toleran terhadap panas. Tidak seperti si pria itu yang merupakan penduduk negara 4 musim ditambah seragam musim dingin untuk tentara yang dikenakannya. Pria itu menuju terpanggang sekarang. Wajahnya sudah tertekuk dan merah padam.
Safira hanya tersenyum simpul. Selain tidak ada yang bisa dikatakannya, pria itu juga tidak sedang berbicara dengannya tadi melainkan menggerutu pada dirinya sendiri. Tapi pria itu benar, ada yang salah dengan cuaca di awal musim dingin hari ini. Udaranya terasa seperti udara peralihan antara musim semi dengan musim panas. Yang mana sangat-sangat tidak lazim ketika udara seharusnya turun mendekati 0 derajat.
"Dokumen milik Mozaik bukan?" pria itu memastikan ulang.
"Iya, Pak," Safira mengiyakan. Matanya tak lepas dari tumpukan dokumen di atas meja pria itu. "Atau mau saya bantu cari, Pak?" dia menawarkan. Selain untuk mengurangi beban pria tersebut, Safira juga sudah tidak betah berada di ruangan itu.
"Terimakasih. Saya sudah menemukannya," ucap pria itu sembari menarik keluar satu map yang terjepit di tengah-tengah tumpukan. Pria itu lantas membaca sejenak tulisan di atas mapnya. "Kiriman bantuan kemanusiaan ke Syria?" ia melirik Safira saat mengatakannya.
"Benar, Pak. Kami organisasi kemanusiaan," terang Safira.
Pria itu manggut-manggut. "Lalu ada berapa orang dari organisasi kalian yang akan ikut mengantarkan bantuan tersebut?" tanyanya sembari menyerahkan map itu kepada Safira.
Safira menerimanya dan menjawab, "Tiga orang, Pak."
"Termasuk Anda?"
"Iya, Pak. Saya juga akan ikut mendampingi ketua organisasi kami."
Pria itu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelahnya ia mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan mengelap keringatnya yang bercucuran. Melihat sikap pria itu yang sepertinya sudah tidak antusias, Safira pikir ia akan menghentikan percakapan mereka. Ternyata pria itu kembali berbicara.
"Ada beberapa organisasi kemanusiaan yang mengantarkan bantuan juga ke sana. Apa ini pertama kalinya Anda akan ke sana? Anda tidak terlihat seperti orang Turki?"
Memang Safira bukan orang Turki. Dia orang Indonesia. Pria itu pun juga sebenarnya sudah tahu kalau dirinya merupakan orang asing. Hanya saja pria itu menggunakan bahasa yang halus untuk menanyakannya.
"Saya orang Indonesia, Pak. Ini akan jadi proyek pertama saya ke sana," jawab Safira.
"Kalian anak-anak muda... Berhati-hatilah saat di sana nanti. Meskipun untuk saat ini dan beberapa waktu ke depan situasinya akan lebih tenang namun serangan tidak dapat diprediksi. Jangan lengah saat di sana," pria itu berpesan.
"Siap, Pak. Inshallah tidak akan terjadi apa-apa," kata Safira optimis.
"Ya sudah. Saya tidak akan menahan Anda lebih lama di sini. Silakan kembali menjalankan tugas Anda," ucap pria itu.
Mendengarnya, Safira merasakan kelegaan dalam hati. Akhirnya dia bisa lepas juga dari salah satu ruangan di markas tentara itu. Segera dia beranjak dari duduknya.
"Terimakasih banyak untuk bantuan Anda, Pak. Saya permisi," pamitnya sebelum meninggalkan ruangan itu.
"Semoga proyek kalian berjalan lancar," balas si pria.
"Inshallah, Pak."
Dari ruangan itu, Safira berjalan di koridor yang menuju ke luar bangunan. Namun sebelumnya dia berhenti dulu di dekat pintu masuk. Ada sebuah ruang kecil berdinding kaca hitam tempat di mana dia meninggalkan barang-barang yang tak boleh dibawanya masuk.
"Permisi. Selamat bekerja," sapanya kala memasuki ruangan tersebut.
Seorang tentara pria yang tengah berjaga di sana mengalihkan perhatiannya pada Safira.
"Silakan," balas si tentara.
"Saya akan mengambil barang-barang saya, Pak," ucap Safira seramah mungkin. Sesungguhnya dia merasa janggal harus memanggil tentara itu dengan sebutan 'pak' karena pria itu terlihat masih sangat muda. Mungkin baru saja melewati usia 25 tahunnya.
"Baik. Bisa saya lihat ID Anda?" si tentara berkata.
Dengan sigap Safira meraih kartu identitas dari dalam dompet yang sedari tadi berada dalam genggamannya. Kemudian dia menyerahkannya pada tentara itu.
Agak deg-degan juga Safira dibuatnya. Tentara itu terlihat sangat tampan dengan rambut cepak pirangnya dan matanya yang sebiru samudera. Wajahnya pun bersih dari cambang dan kumis, yang justru menonjolkan tegasnya garis rahangnya. Belum lagi tubuhnya yang terlihat kokoh sekokoh semen tiga roda dan juga tinggi menjulang. Safira bahkan harus sedikit mendangak untuk menatapnya.
Safira pun melakukan apa yang akan dilakukan oleh anak gadis pada situasi semacam ini. Dia sempat melirik name tag yang tertempel pada dada kiri seragam tentara muda tersebut ketika menyerahkan kartu identitasnya.
'Sancaktar', Safira mengulangnya dalam hati.
Itu nama keluarga pria itu. Sayangnya nama depannya tak tertera di name tag-nya. Safira pun merasakan suatu perasaan yang aneh karenanya. Seperti kecewa mungkin? Karena tidak berkesempatan untuk mengetahui nama si tentara tampan tersebut.
Sancaktar menerima kartu identitas Safira. Pria itu meneliti sejenak identitas tersebut dengan sepasang maniknya yang tajam. Dia lalu bergerak ke lemari penyimpanan dari besi yang berdiri kokoh di belakangnya, mencari-cari, dari satu pintu ke pintu lainnya. Gagal menemukan barang-barang Safira, Sancaktar lantas menghubungi salah seorang anggotanya melalui HT.
"Barang-barang atas nama Safira Ghassani kau letakkan di mana?" tanyanya langsung tanpa salam pembuka pada seseorang di seberang sana.
"Orang asing itu, Komandan?" sahut anggotanya.
Sancaktar melihat sekilas pada Safira. Ekspresinya tampak seperti tak enak hati karena anggotanya menyebut Safira sebagai 'orang asing' padahal Safira sendiri sedang berada di sana. Mungkin semacam sedang mengghibah tetapi yang dighibahi pun ada di tempat.
Safira sendiri tak bereaksi apapun dengan sebutan 'orang asing' itu. Kan memang dia orang asing di Turki. Dia sudah biasa mendapati dirinya dipanggil begitu.
"Ya," Sancaktar membenarkan.
Hening sejenak. Nampaknya si anggota juga lupa dimana meletakkan barang-barang amanah tersebut. Untungnya ia segera mengingatnya.
"Di pintu paling pojok kiri, Komandan," suaranya.
"Lain kali letakkan sesuai urutannya," Sancaktar berkata datar.
Setelahnya pria itu membuka pintu yang ditunjukkan oleh anggotanya. Dia mengeluarkan tas, mantel, map, dan juga ponsel Safira lalu meletakkannya ke atas meja yang berada di antara mereka.
"Maaf untuk ini. Mereka anggota wajib militer. Terkadang memang kurang disiplin," ucapnya pada Safira.
"Tidak masalah, Komandan," Safira latah. Menyadari kebodohannya itu, Safira segera mengatupkan bibirnya. Dalam hati dia menggerutu pada dirinya sendiri, 'Dasar payah! Memang kau anggotanya?!'
Dengan malu-malu Safira menatap pada Sancaktar. Pria itu tidak mengatakan apapun. Hanya mengulas sebuah senyum samar. Sesamar masa depan Safira!
"Maaf untuk itu," kata Safira sembari buru-buru meraih barang-barangnya.
Sancaktar mengangguk, lagi-lagi tanpa mengatakan apapun. Diamnya pria itu justru semakin membuat Safira merasa kikuk. Dia pun dengan kilat meninggalkan tempat itu setelah mengucapkan terimakasih kepada Sancaktar. Saking kilatnya, Safira sampai tidak sadar bila telah meninggalkan sesuatu miliknya di tempat tersebut.