(Bagian dari Cerpen Kehidupan Versi Irvin di platform cerita lain)
"Ma?"
"Di sini," sahut Mama lembut seraya aku menuruni tangga menuju lantai bawah. "Kok bisa bangun pagi-pagi?"
Otomatis kepalaku melihat jam dinding di tengah ruangan. Jarum pendek menunjuk angka sembilan sedang jarum panjang berhenti di atas angka enam, setengah sepuluh lebih tepatnya. Benar saja. Biasanya aku bangun jam sebelas atau paling lambat jam dua belas di pagi hari Minggu.
"Entahlah, Ma. Aku ngak bisa tidur saja." Aku berjalan ke arah dapur dan mendapati Mama sedang memotong cabe-cabe merah besar menjadi potongan kecil-kecil. "Belacan yah?"
"Ya, makanan kesukaanmu."
"Asyik, pastinya enak sekali."
Mama tiba-tiba berhenti memotong cabe lalu berputar ke arahku. "Suaramu kurang semangat, apa lagi sakit yah?"
Aku meneguk secangkir air teh di atas meja. "Akhir-akhir ini aku amat lelah. Padahal ada olahraga, makan makanan sehat, dan tentu saja tidur cukup."
"Kau selalu tidur larut malam. Jangan bohong, Irvin."
"Mungkin benar, tapi semalam aku tidur cepat loh. Sekitar jam 11 malam."
"Itu sudah larut malam."
"Dan aku ngak bisa tidur kalau jam 10 malam sepertimu, Ma."
Mama hanya geleng-geleng kepala. Seulas senyum menghiasi pipinya yang berkeriput di bawah mata sayu. Mama memang pekerja keras, selalu tidur cepat dan bangun pagi-pagi untuk mengatur keluarga. Aku sendiri untuk bangun kerja saja butuh alaram. Sungguh memalukan.
"Sana kumur-kumur dulu pakai air garam. Suaramu juga agak serak."
"Aduh. Air garam lagi."
"Daripada kupaksa kau ke dokter."
Langsung saja aku sigap berdiri dan mengambil sebuah gelas dari balik lemari. Daripada digotong kala diikat tali masuk ke mobil, lebih baik aku melaksanakan perintah komandan tertinggi di rumah. Bercanda. Mungkin dulu pas aku masih kecil, sekarang aku sudah beranjak dewasa.
Setelah aku siap kumur-kumur air garam, aku duduk kembali dengan meja sudah tersaji sebuah sarapan pagi. Sebuah telur kukus bersama secangkir kopi. Mama sendiri sedang mencelup sepotong roti kering ke dalam kopi sebelum memakannya. Sudah menjadi kebiasaan rumah kalau seluruh anggota keluarga harus duduk bersama untuk makan. Abangku, Irvan, sudah berkeluarga jadi tinggal aku dan mama saja di rumah.
"Tahu ngak, Mama dapat kabar dari tetangga seberang tentang pertengkaran suami istri tempo hari."
Aku mengangguk pelan. Sambil mengopek cangkang telur kukus, aku mengingat pembicaraan tiga hari yang lalu tentang laga suami istri yang berlangsung dari pagi hingga malam. Berita besar komplek kami.
"Istrinya ngak bisa bangun."
Dahiku mengernyit. "Mati?"
"Masih hidup." Mama mencodongkan kepala ke arahku seakan ingin berbisik padahal tidak ada siapapun selain kami di rumah. "Katanya kena stroke."
"Yang benar?"
"Ya. Kayaknya istrinya banyak pikiran sehabis bertengkar hebat dan dibawa sampai tidur."
"Pasti pembuluh darahnya pecah," tebakku, tidak asing dengan penyakit yang sering melanda para orang tua ini. "Mama sudah ke rumahnya?"
"Rencana sore ini ama teman Mama. Kau mau ikut?"
"Ngak lah, Ma. Aku ngeri lihatnya nanti."
"Moga ngak parah saja. Soalnya suaminya menyesal dan terus menghisap rokok dua hari belakangan."
Malah sekarang giliran suaminya. Walau rokok bisa membuat lebih santai, bisa-bisa dia kena penyakit jantung. Stroke pun bukan impian belaka.
Mendadak aku diingatkan alasan semalam ngak bisa tidur serta lelah berhari-hari. Aku banyak pikiran. Sehabis kumpul bareng teman-teman komunitas baru yang rada berduit dengan beragam kemampuan mumpuni, aku tentu merasa rendah diri dan ciut dalam hati. Terbesit diriku gimana caranya biar makin berkembang serta menghasilkan lebih banyak uang. Jadi pikiran juga. Walau masih muda dan ngak bakal kena stroke, aku ngak mau biasakan. Lebih baik mencegah daripada mengobati dan nanti kutuangakan saja segala masalah pikiranku ke dalam buku biar otakku lebih jernih.
Banyak pikiran bisa buat tubuh rentan kena segala macam penyakit