Sepanjang perjalanan tidak ada yang membuka suara karena Rain yang terus saja menangis tanpa henti, sedangkan Samuel yang mengetahui itu tak berani untuk mengajaknya berbicara.
Derasnya hujan membuat Rain merasa ingin menari dibawah guyuran air tersebut. Suatu kebiasaan yang tidak pernah hilang ketika turun hujan.
"El," panggilnya.
Samuel yang sedari tadi diam hanya memperhatikan jalanan pun langsung menoleh sekilas ke arah gadis yang baru saja memanggilnya itu.
"Ya?" sahutnya.
"Lo bisa bantu gue, nggak?"
"Bantu apa?"
Rain yang sedari tadi tidak menolehkan kepalanya sedikit pun, kini menatap seseorang yang berada di sampingnya saat ini.
"Gue mau pergi lagi nanti."
Kening Samuel langsung berkerut, laki-laki itu tidak mengerti maksud dari ucapan yang baru saja dilontarkan oleh gadis itu sehingga membuatnya langsung bertanya.
"Maksud lo?" tanyanya.
"Pulang nanti, lo pergi dulu ke mana aja. Nanti Rai pasti bakal diam dulu di Rumah, kalau dia udah pergi, gue kabarin lo lagi."
"Lo yakin?" tanya Samuel yang sejujurnya merasa tidak enak terhadap Rai. "Kalau dia nanti marah sama gue gimana?"
"Lo jangan kasih tahu dia," ujar Rain. "Gue mohon, El. Bantu gue kali ini aja."
Suasana pun kembali hening dengan Samuel yang sedang memikirkannya. Ia sedang menimang-nimang apa yang harus dirinya lakukan sekarang.
Dalam hati, Samuel sangat ingin menolong gadis itu. Akan tetapi, di sisi lain ia juga tidak bisa mengecewakan kepercayaan Rai yang sudah dirinya anggap sebagai saudaranya sendiri.
"El, mau nggak?" tanya Rain, kemudian menghela nafas sebelum akhirnya menganggukkan kepala. "Gue ngerti, kok. Ya udah nggak apa-apa, tapi meskipun lo nggak bisa bantu, gue tetap bakalan pergi."
Deg.
Apalagi ini, ia tidak bisa membuang kesempatan bersama dengan seorang gadis seperti Rain membuat dirinya terdiam beberapa saat.
Kini keduanya pun telah sampai di depan Rumah gadis itu. Samuel menatap kaca spion yang berada di dalam mobil dan mendapati Rai yang ternyata memang benar mengikuti dari belakangnya.
Kemudian menoleh ke arah samping dimana Rain yang hendak membuka pintu untuk menuruni mobil.
Satu tangannya mencekal lengan dari gadis itu yang membuat Rain langsung menghentikan pergerakannya.
"Rain," panggil Samuel. "Eh, sorry."
Setelah itu genggamannya pun ia lepas sehingga kini dirinya langsung menundukkan kepala dan berdeham.
"Kalau lo butuh apa-apa, kasih tahu gue, ya. Apapun itu pasti bakal gue bantu, kok."
Rain menatap Samuel dengan kedua alis yang terangkat, kemudian menganggukkan kepala dengan kedua sudut bibir yang terangkat.
"Oke, thank's El. Nanti gue kabarin," ujar gadis itu. "Eh, lupa."
Samuel yang mendengarnya pun langsung mendongakkan kepala agar bisa melihat gadis itu.
"Ada apa?" tanyanya.
"Jangan kasih tahu, Rai."
Kini Rain pertama kalinya tersenyum kepada teman dari sahabatnya sendiri. Bukan berarti tidak pernah, hanya saja gadis itu tak pernah sedekat ini dengan teman-teman Rai.
Bahkan, Samuel sendiri diam-diam mengagumi gadis itu. Hanya saja ia merasa bahwa ini bukanlah apa-apa karena dirinya yang tak pernah akrab dengan Rain.
"I-iya, Rain. Gue janji nggak bakal kasih tahu apa-apa sama dia."
Sementara itu Rai yang baru saja menuruni mobilnya pun langsung berjalan mendekat ke arah mobil Samuel.
Pasalnya sedari tadi ia belum melihat keduanya yang menuruni mobil sehingga dirinya kini mendekat untuk memastikan bahwa tidak terjadi sesuatu kepada sahabatnya itu.
Rain mengetuk kaca mobil sebelah kanan dimana Samuel berada. Hal itu membuat seseorang di dalamnya pun terkejut dan langsung membukakan pintu bersamaan dengan Rain yang baru saja keluar.
"Rai," panggil Samuel. "Ada apa?"
Laki-laki yang berada di hadapannya saat ini pun langsung menggelengkan kepala. Kemudian menghela nafas sebelum akhirnya melihat seseorang yang baru saja memasuki Rumah tanpa melihat ke arahnya.
Mengetahui hal itu Rai pun langsung menundukkan kepala, sedangkan Samuel sedari tadi hanya diam memperhatikan keduanya.
"El," panggilnya. "Kenapa baru turun?"
"Maksud lo?" tanya Samuel dengan kedua alis yang terangkat.
Rai yang mendengarnya pun kembali menghela nafas, lalu berkata, "Maksud gue, tadi lo di dalam habis ngapain?"
"Oh, enggak ngapa-ngapain."
Kedua alis Rai terangkat setelah mendengar jawaban dari temannya itu.
"Udah, gitu doang?" tanyanya yang langsung diangguki oleh laki-laki yang berada di hadapannya saat ini. "Gue pikir lo ngobrol sama dia."
Setelahnya Samuel hanya menanggapinya dengan senyuman tipisnya itu. Ia tahu bahwa sebenarnya Rai menyimpan perasaan terhadap sahabatnya sendiri, hanya saja laki-laki itu selalu menyangkal hal tersebut.
"Kalau gitu, gue balik dulu, ya, Rai."
"Oh, iya, iya. Thank's, ya, El."
"Sama-sama," ujar Samuel yang menepuk pundak dari laki-laki itu sebelum akhirnya benar-benar kembali memasuki mobilnya.
Kini Rain sedang berada di dalam kamarnya, lebih tepatnya berada di balkon. Ia duduk bersandar disebuah kursi yang ada di sana dengan kedua mata yang terpejam.
Tanpa di sadari ada seseorang yang berdiri di hadapannya sedang memperhatikan dengan kedua tangan yang melipat di dada.
"Cantik," pujinya yang berhasil membuat Rain langsung membuka kedua matanya.
Gadis itu terkejut dengan kehadiran sahabatnya yang ternyata sudah berada di depannya. Ia berdeham sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Hal itu terlihat jelas oleh Rai yang kini menghela nafas. "Kamu kenapa, sih, Rain? Aku kalau memang salah minta maaf, tapi tolong jangan cuekkin aku kaya gini."
"Nggak ada, kok. Aku cuma lagi mood swing aja," ujarnya beralasan. "Kamu nggak salah, jadi kamu boleh pulang."
"Kamu ... ngusir aku?"
"Enggak, lebih tepatnya kamu harus pulang karena ada seseorang yang lagi nungguin kamu."
Keningnya berkerut, Rai benar-benar tidak mengerti dengan yang dikatakan oleh sahabatnya itu.
"Seseorang?" ulangnya, "Seseorang siapa?"
Tetapi gadis itu dengan cepat langsung mengedikkan bahunya acuh. Rain benar-benar tidak peduli akan hal itu, dan ia tak pernah ingin mengtahuinya.
Rai yang melihat hal itu langsung menghela nafas, kemudian berjalan mendekat dan berhenti tepat di depannya dengan kedua mata yang menatap intens seseorang yang berada di hadapannya saat ini.
"Rai," panggilnya pelan dengan satu tangan yang kini menggenggam dagu gadis itu agar melihat ke arahnya. "Lihat aku, kamu kenapa, hm?"
Laki-laki itu tidak menyadari bahwa perbuatannya itu membuat Rain merasa gugup, jantungnya berdegup kencang.
Rain melihat bagaimana laki-laki yang berada di hadapannya saat ini yang begitu sabar dan perhatian.
Kedua matanya berkaca-kaca, ia bertanya-tanya dalam hati. "Kenapa aku kaya gini? Harusnya aku senang 'kan lihat dia yang udah nemu kebahagiaannya, tapi kenapa rasanya aku malah nggak ikhlas?"
"Lho, kok kamu malah nangis? Rain, kamu kenapa?"
Tanpa pikir panjang Rain pun langsung memeluknya dengan begitu erat, bahkan isak tangisnya yang begitu kencang membuat perasaan Rai menjadi tidak nyaman.
Ia menjadi merasa bersalah meskipun dirinya tidak mengetahui dimana letak kesalahannya itu. "Maafin aku, Rain. Maaf kalau aku bikin kamu nangis kaya gini."
Dengan telaten Rai mencoba menenangkan sahabatnya itu yang sudah bersama dengannya sedari kecil. Ia tahu bagaimana gadis itu sejak dulu hingga saat ini.
"Rai," panggil gadis itu dengan suara seraknya.
"Iya, ada apa?"
"A-aku takut," ujarnya dengan sesenggukan.
"Takut kenapa?" tanya Rai. "Coba bilang."
"Rain takut kehilangan Rai."