Hari-hari Ospek jurusan telah banyak dilewati oleh Sinta. Sejauh ini masih aman, ia tidak bersinggungan langsung dengan Bima yang menjadi ketua divisi kedisiplinan itu. Hal itu terjadi, sebab Sinta yang menghindar atau menundukkan kepala ketika dilihatnya Bima berada di jarak yang dekat. Ospek yang masih berlangsung ini digunakan angkatan Sinta untuk mempersiapkan kegiatan penutupan Ospek. Tugas yang diberikan oleh panitia adalah angkatan Sinta akan mempertontonkan sebuah pertunjukkan teater.
"Sin, kamu sudah cek semua perlengkapanmu?" Tanya Ara kepada Sinta.
"Sudah, aman. Kita hanya tinggal tunggu Fanya saja."
"Aku tidak sabar untuk menonton pertunjukkan teater kalian." Kata Ruri kepada Sinta dan Ara.
"Ya, sayangnya Saka tak bisa datang." Kata Banu.
"Dia bisa datang, kamu saja yang tak mau menjemputnya." Ujar Sinta memulai perdebatan.
"Kalau Jawa Tengah sedekat Surabaya-Sidoarjo, aku akan datang menjemputnya. Tak peduli berapa kali." Sahut Banu tak mau kalah yang hanya dihadiahi cibiran oleh Sinta dan tawa dari Ruri serta Ara.
Siang ini mereka berada di rumah Sinta sebelum pada akhirnya berangkat ke lokasi pertunjukkan. Sebenarnya hanya Sinta dan Ara saja yang saat ini berangkat, juga Fanya, untuk melakukan persiapan. Sedangkan Ruri dan Banu akan pergi malam nanti ke lokasi pertunjukkan untuk menonton pertunjukkan.
"Itu dia Fanya!" Seru Ara.
"Maaf, aku terlambat."
"Tak masalah, kita juga belum berangkat" Kata Sinta yang dibalas tawa semua orang. Lalu Fanya pun berkenalan dengan Ruri dan Banu. Sinta memberitahukan Ayah jika mereka telah siap untuk berangkat. Sinta, Ara, dan Fanya pun segera naik ke mobil dan tak lupa saling berpamitan sebelum mereka pergi ke lokasi pertunjukkan.
Mereka bertiga diantar ke lokasi pertunjukkan oleh Ayah Sinta. Beberapa menit mereka lalui sebelum pada akhirnya mereka sampai di lokasi pertunjukkan. Mereka turun dan pamit kepada Ayah Sinta sebelum berjalan gugup ke arah gedung pertunjukkan. Gedung ini adalah gedung yang sama saat Sinta menonton pertunjukkan teater dua tahun lalu. Dan ia mengerti saat pementasan waktu itu, adalah pementasan yang merupakan tugas penutupan Ospek jurusan seperti yang ia lakukan saat ini.
Rasa gugup tak bisa mereka hindari, meski jalannya proses latihan dibimbing langsung oleh para pemain teater andal, mereka tetap merasa gugup. Banyaknya pasang mata yang nanti menonton mereka di atas panggung selalu berhasil membuat gugup kaki yang biasanya berdiri tegap. Hati yang biasanya berdetak normal pun saat ini rasanya berkejaran dengan waktu. Lalu tibalah saat di mana teater segera dipertontonkan, kali ini, mereka akan mementaskan drama Rama Sinta.
"Buktikanlah kesetiaanmu! Tunjukkan padaku jika memang nyatanya engkau masih menjadi milikku!" Teriak seseorang yang memerankan tokoh Rama.
"Membuktikannya? Dengan cara apa aku bisa membuktikannya?" Tanya Sinta.
Rama menunjuk ke arah api yang menyala-nyala, "Api akan menggerayangi tubuhmu. Jika memang engkau setia padaku, lidahnya tak akan berhasil membakarmu."
Sinta tertawa terbahak-bahak, "Tak ada telapak tangan lelaki pun deru nafasnya yang menyentuh kulitku. Aku bersumpah akan itu. Tapi jika kau minta diriku terjun ke dalam nyala api, aku tak mau! Tidak! Aku tidak akan melakukannya! Sebab aku tak akan kembali kepadamu yang telah meragukanku sebagai kekasih! Seharusnya kau biarkan saja aku mati! Tak perlu susah-susah bertempur hingga mati jika ujungnya kau ragukan perkara hati!" Seru Sinta sembari pergi meninggalkan panggung. Lampu pun mati.
Pertunjukkan teater pun mencapai akhirnya. Penonton bersorak-sorai ketika lampu kembali dinyalakan. Ruri dan Banu sampai berdiri dari tempat duduknya untuk bersorak, mereka senang dengan penampilan teater yang disuguhkan oleh angkatan jurusan Sinta, serta senang melihat Sinta yang memerankan tokoh kekasih Rama dengan baik.
Ya, Sinta berperan sebagai tokoh Sinta di pentas teater ini. Angkatan Sinta yang memilihnya untuk memerankannya. Di dalam prosesnya, Sinta menolak dengan keras akan hal itu. Ia tak ingin menjadi Sinta, kekasih Rama. Namun saat ia tahu jika angkatannyalah yang juga membuat naskah, ia pun bersedia untuk menjadi Sinta. Asalkan pentas teater tidak menjadikannya berakhir kembali kepada Rama. Dan permintaannya pun dikabulkan.
Semua yang menonton tampak menikmati pertunjukkan itu, termasuk Bima yang saat ini juga menonton bersama dengan teman-temannya.
"Astaga, Saka melewatkan momen paling mengagumkan!" Seru Prada yang dibalas anggukkan teman-temannya serta Ruri dan Banu, kecuali Bima.
Sebenarnya Bima menikmati pentas teater itu, setiap pemain memainkan peran mereka dengan sangat baik, begitupun Sinta. Namun seperti biasanya, ia banyak diam dan berakhir dengan tepukan tangan biasa serta senyum tipis yang menghiasi wajahnya ketika semua orang berteriak dan tertawa riang. Bima tersenyum ketika dirinya menyadari jika Sinta adalah perempuan yang waktu itu. Ia tahu jika Sinta masuk ke jurusan yang sama dengan dirinya, namun ia lupa akan hal itu. Sebab selama Ospek jurusan berlangsung pun ia tak melihat keberadaan Sinta. Bima kembali ingat ketika dilihatnya seorang perempuan berjalan ke tengah panggung dan memerankan tokoh Sinta di dalam pertunjukkan teater itu yang tak lain dan tak bukan adalah perempuan yang dulu mengejeknya tak bisa memerankan Bimasena dengan baik.
*
"Lagipula aku juga tak mau berkenalan denganmu." Kata Bima yang dihadiahi tatapan terkejut perempuan yang tadinya membelakangi dirinya.
Mereka berdua kini bertatap-tatapan. Sinta melihat Bima yang tinggi menjulang di hadapannya dengan tatapan horor. Postur tubuh tinggi dan tegap itu membuat Sinta bergidik, belum lagi tatapan mata dingin nan menusuk hingga rasanya menusuk hingga tengkuk Sinta.
"Memangnya siapa yang mengajakmu berkenalan?"
"Kau." Bima berkata demikian sebab dirinya tahu jika perempuan di hadapannya itu ingin berkenalan dengannya. Karena sebelum kemari, Prada dan adiknya berbicara dengannya. Mereka membicarakan tentang perempuan yang sungguh mengagumi Bimasena, dan sepertinya perempuan ini adalah orangnya.
Sinta tersenyum sinis, "Untuk seseorang yang tak bisa memerankan peran Bimasena dengan baik, kau ternyata juga memiliki tingkat kepedean yang tinggi." Perkataan Sinta membuat teman-temannya menahan napas, juga Bima yang mengerutkan dahinya.
"Jadi kau adalah pengamat teater? Untuk orang sepertimu, kau lebih cocok sebagai pemeran pengganti di dalam pertunjukkan teater yang tak digunakan, sebab ada orang lain yang lebih pantas memerankannya."
Sinta menatap Bima dengan tatapan menusuk miliknya, "Siapa kau hingga berani mencelaku? Kenal saja tidak!"
"Tentu aku juga bisa mengatakan hal yang sama kepadamu. Seseorang yang menyukai Bimasena tak seharusnya mencela sesiapa yang memerankannya."
Wajah Sinta memerah karena malu, "Aku memang menyukai Bimasena, tapi aku tidak menyukaimu."
"Memangnya siapa yang bilang jika kau menyukaiku?"
Suasana menegang, hal ini juga dirasakan teman-teman Sinta.
"Tidak ada! Karena memang aku tak menyukaimu!" Kata Sinta dengan wajah yang semakin memerah.
"Biasanya aku tak akan peduli dengan orang lain, tapi kali ini aku peduli. Syukurlah jika kau tidak menyukaiku."
"Memangnya kenapa? Kau bukan orang yang pantas untuk aku sukai, perempuan-perempuan yang mengantre untuk berfoto denganmu juga seharusnya tak melakukannya. Sungguh hal yang sia-sia jika menyukaimu."
"Oh, selain mengamati pertunjukkan teater, kau juga mengamati perempuan-perempuan yang mengantre meminta foto denganku. Kau sungguh peduli." Kata Bima sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Sinta terlihat hendak mengatakan sesuatu saat Bima berjalan mendekatinya. Sinta ingin mundur ke belakang, namun ia tak bisa melakukannya. Sebab di belakangnya saat ini, berdiri semua teman-temannya yang lain. Jarak Bima hanya beberapa jengkal di hadapan Sinta, ia membungkukkan badannya untuk menyejajarkan kepalanya dengan Sinta.
"Aku tak punya waktu dengan perempuan yang bahkan mencela orang lain saja tak mampu." Kata Bima sebelum berjalan pergi meninggalkan Sinta.
Baru beberapa langkah ia pergi, Sinta berkata, "Bimasena bukan tokoh yang angkuh serta dengan santainya merendahkan wanita. Ia sungguh tak pantas memilikimu sebagai pemerannya, lebih cocok kau perankan saja Duryudana!"
Bima berbalik, ia kembali menatap ke arah Sinta dan berkata, "Anggap saja begitu agar aku tak menjadi Bimasena yang kau elu-elukan itu." Bima pun kembali melanjutkan langkahnya.
Bima menahan senyum geli saat kejadian dua tahun lalu terputar kembali di otaknya.
"Bim, kita mau ke depan panggung untuk berfoto. Kau ikut?" Tanya Prada kepada Bima.
"Ikut aja, Kak." Banu menambahkan dengan terkekeh geli. Sepertinya ia merencanakan sesuatu.
"Nah, betul! Aku ingin tahu bagaimana saat Bima bertemu dengan Sinta." Kata Ino.
"Kalian sendiri saja yang kesana, aku ada urusan dengan panitia Ospek."
"Jangan langsung pulang. Ingat, aku tadi pergi kemari bersamamu." Kata Prada mengingatkan.
"Prada kau tinggalkan juga tak mengapa. Biar nanti dia pulang dengan para fansnya." Kata Nuca dengan tertawa.
"Iya, Bim. Kau pulang lebih dulu saja." Sahut Ino. Mendengar hal itu, Prada melayangkan tangannya untuk mendorong bahu kedua temannya itu. Nuca dan Ino adalah teman-teman Prada dan Bima. Mereka adalah teman yang selama ini menghabiskan banyak waktu bermain di rumah Prada. Nuca dan Ino juga tahu mengenai kejadian teater dua tahun lalu karena mereka diberitahu oleh Prada yang tak henti-hentinya menggoda Bima.
Setelah mendengar ucapan teman-temannya itu, Bima berjalan ke arah panitia Ospek jurusan yang sudah berkumpul di depan ruangan pertunjukkan. Mereka mengobrol dengan beberapa orang perwakilan angkatan Sinta untuk membicarakan pertemuan Ospek terakhir. Mereka mengucapkan selamat karena telah menuntaskan Ospek jurusan dengan baik. Dengan selesainya pertunjukkan teater, angkatan Sinta telah selesai menjalani Ospek jurusan.
Setelah Bima dan panitia Ospek jurusan yang lain berbicara dengan beberapa perwakilan angkatan Sinta itu, ia berjalan keluar. Ia berencana pergi menuju parkiran dan menunggu teman-temannya di sana. Saat dirinya keluar gedung, ia melihat teman-temannya sedang berbincang dengan beberapa perempuan yang ia yakini salah satu dari mereka adalah Sinta. Bima pun menyeringai. Malam ini mungkin akan menjadi malam yang mengingatkannya kembali atas malam dua tahun lalu.
"Penampilanmu sungguh mengagumkan!" Seru Ruri kepada Sinta.
"Aku setuju, kamu cocok sekali memerankan Sinta yang cantik." Kata Nuca yang dihadiahi cibiran semua teman-temannya.
Banu yang menyadari keberadaan Bima yang sedang berjalan ke arahnya pun berkata, "Wah, lihat siapa yang datang!" Perkataan Banu membuat semua orang menoleh ke arah datangnya seseorang. Sinta menatap horor Bima yang sedang berjalan ke arahnya, ia ingin kabur saat itu juga. Namun ia tahu jika ia melakukannya, hal itu hanya akan membuat dirinya tampak seperti pengecut.
"Mengingat sesuatu, hm?" Tanya Bima kepada Sinta.
Sinta diam dan menatap tajam ke arah Bima sebelum berkata, "Ya, aku mengingat malam di mana kau memerankan Bimasena dengan sangat buruknya."
Perkataan Sinta membuat Ara serta Fanya terkejut, mereka tak tahu tentang kejadian malam itu serta tak tahu jika Sinta dan kakak tampan ketua divisi kedisiplinan itu saling mengenal. Sedangkan teman-teman Sinta dan Bima yang telah mengetahui hal itu, mereka semua menahan tawa.
"Oh, kau mengingat bagian itu? Aku justru mengingat bagian di mana mukamu memerah karena malu."
Sinta hanya diam dan Bima melanjutkan, "Kau lupa dengan kejadian itu? Apa perlu aku ceritakan kembali secara detail supaya kedua temanmu yang juga belum tahu itu pada akhirnya juga mengerti?"
"Tak perlu, tak mungkin aku melupakan hal itu."
"Tidak? Baguslah jika kau masih ingat. Seseorang pengkritik memang sudah seharusnya mengingat semua hal yang telah dikritik olehnya, terutama saat dirinya gagal mengkritik." Kata Bima dengan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Jangan banyak bicara hal-hal yang tidak penting. Lebih baik kau pergi saja."
"Dan meninggalkan keseruan menonton wajahmu yang memerah itu? Tentu aku tak akan mau melewatkan hal itu."
"Oh, kau suka melihat wajahku? Sedari tadi yang kau bicarakan hanya wajahku dan wajahku. Apa kau yakin ingatanmu tak hanya berisi tentang kecantikan wajahku ini?" Tanya Sinta tak mau kalah.
Bima menatapnya datar, "Pikiranku hanya berisi tentang hal-hal yang penting, tak ada tempat untuk dirimu yang tidak penting itu di pikiranku."
"Oh ya, tapi kau mengatakan sebaliknya. Katamu kau masih ingat bagian saat di mana mukaku memerah karena malu. Itu berarti mukaku ini sangat penting sehingga kau terus-menerus mengingatnya. Bukan begitu?"
"Memang, tapi bukan wajah cantikmu itu yang membuatku ingat, hanya saat kau merasa malu akibat dari ucapanku."
"Ah, lihat! Sekarang kau justru mengatakan jika aku ini cantik. Perlukah aku berterima kasih? Tapi ya, aku akan berterima kasih. Jadi, terima kasih."
Bima menatapnya tajam, "Mungkin memang benar jika kau cantik, tapi kecantikan wajah saja tak cukup untuk membuat dirimu mendapatkan Bimasena sebagai kekasih. Aku tahu seberapa besar obsesimu terhadapnya."
Sinta yang tadinya tersenyum menang kini menggigit bibirnya, "Itu bukan menjadi urusanmu. Aku memang menyukai Bimasena, tapi aku tak akan menyukainya jika kau yang menjadi Bimasena. Tak peduli namamu yang sama dengannya atau tidak." Kata Sinta dengan geram.
Bima melepas lipatan tangannya dan membuat kedua tangannya itu terjatuh lurus di samping badannya dan berkata, "Aku memang tak berniat untuk menjadi Bimasena yang kau sukai, tapi aku akan menjadi Bima yang kau benci." Bima berkata sambil berjalan meninggalkan Sinta.
Beberapa saat semua orang yang berdiri di sana diam tanpa suara. Mereka semua menatap punggung Bima yang semakin menjauh. Sinta yang melihat kepergian lelaki menyebalkan itu hanya diam sambil mengeluarkan tatapan tajam miliknya. Ia sungguh tak suka dengan seseorang yang sombong. Meskipun ia memiliki paras yang rupawan, namun jika kelakuan bak setan, Sinta tetap tidak akan menyukainya.
"Hanya dia yang bisa membuatmu terdiam. Jangan terlalu keras membencinya, Ta. Tuhan bisa dengan mudah membolak-balikkan hati manusia dan bisa saja dia adalah Bimasena yang selama ini kau puja-puja. Kita tak pernah tahu akan apa yang terjadi di masa depan, bukan?" Kata Banu dengan tertawa.