webnovel

-21-

Sinta begitu menikmati pertunjukkan teater miliknya. Ia sangat bekerja keras untuk itu supaya memperoleh hasil yang baik. Pentas pun berjalan dengan baik tanpa kendala, namun tanpa dia duga, keburukan datang setelahnya. Ia yang sangat bahagia mengobrol dengan kawan-kawannya di depan gedung selepas pertunjukkan, dengan sekejap berubah ketika Bima datang. Ia merusak segala kesenangan dengan keangkuhan tutur katanya.

Sinta meyakini jika hari itu akan baik-baik saja, terbukti dari lancarnya pertunjukkan teater dan tidak adanya masalah lain selepas pertunjukkan. Namun, ia salah. Bima ada di sana dan menghampirinya. Bima yang dihindari oleh Sinta itu melenggang dengan santainya ditambah dengan seringaian yang tak akan pernah Sinta lupakan kehadirannya. Perdebatan demi perdebatan yang terjadi kemarin, merupakan tanda jika masa perkuliahannya akan menjadi masa yang sulit untuk dilewati.

Setelah perdebatan kemarin, Sinta dan teman-teman yang lain pun pulang. Ia membersihkan diri sebelum beristirahat dan berkuliah keesokan harinya. Telepon genggamnya sengaja ia matikan untuk malam itu, sebab dirinya tahu, kedua teman barunya yakni Ara dan Fanya pasti akan bertanya mengenai Bima. Biar saja mereka bertanya esok hari, malam ini sudah cukup buruk dengan adanya perdebatan dengan Bima, jangan sampai bertambah buruk dengan adanya topik obrolan yang menyangkut Bima.

Tibalah matahari mulai berbagi sinarnya dengan bumi. Sebelum itu, Sinta bangun dan menunaikan ibadah pagi harinya. Pagi ini doa yang Sinta panjatkan lebih panjang dari biasanya.

"Ya Tuhanku, aku tahu jika masa perkuliahanku akan sulit nantinya. Tapi tolong beri hambamu ini kekuatan untuk menghadapinya. Tolong juga untuk menjauhkan hamba dari keburukan, maksudku adalah Bima, Tuhan. Semoga juga doaku tentang Bima tidak lagi bertambah setelah ini, Amin." Doa Sinta yang biasa bertambah dengan doa barunya yang berkaitan dengan Bima.

Hari ini perkuliahan dimulai pukul sembilan, pada pukul delapan lebih sembilan, Sinta telah bersiap untuk mandi. Ponsel miliknya masih dalam keadaan mati, ia berencana akan menghidupkannya nanti saja. Sekitar pukul setengah sembilan, Sinta berjalan kaki menuju halte untuk berangkat berkuliah. Dulu semasa SMA, ia akan berjalan ke halte bersama dengan Ruri. Mengobrol di bus dengan Ruri, berjalan menuju sekolah dengan Ruri, lalu pulang ke rumah dengan Ruri. Kali ini ia tak bersama dengan sahabatnya itu, meskipun mereka berada di satu perguruan tinggi, kampus tempat mereka berkuliah berada di tempat yang berbeda. Jadilah saat ini Sinta berangkat kuliah sendiri, tanpa Ruri.

Di dalam bus, tak ada lagi obrolan. Sinta diam saja sambil melihat-lihat jalanan. Jarak rumah Sinta dengan kampus tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan sekitar dua puluh menit perjalanan menggunakan bus. Sinta telah turun di halte dekat kampusnya, ia perlu berjalan sekitar lima menit untuk sampai di kelasnya. Ketika ia memasuki gedung kampus, ia melihat ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada seseorang yang ia hindari kehadirannya. Sinta rasa hari ini ia memiliki keberuntungan yang membuat dirinya tidak bertemu dengan Bima, bahkan ketika ia sudah sampai di depan pintu kelas, ia tidak betemu dengan Bima. Sinta berharap jika selanjutnya akan terus seperti pagi ini.

Saat Sinta memasuki ruang kelas, terlihat Ara dan Fanya yang duduk dengan posisi aneh. Mereka duduk berdampingan, namun di tengah-tengah mereka ada satu kursi kosong. Saat melihat keberadaan Sinta, Fanya berteriak, "Duduk sini!"

Sinta tahu jika teman barunya ini sedang kesal dengannya. Ia pun berjalan menuju kursi yang ada di antara teman-teman barunya itu dengan wajah muram.

"Kamu tahu berapa kali kami meneleponmu pagi ini?" Tanya Ara.

"Setelah pesan kami semalam kamu abaikan, kami mencoba untuk menghubungimu tadi pagi, namun ponselmu tidak aktif. Kenapa ponselmu?" Fanya dan Ara bertanya dengan nada kesal. Sepertinya Sinta harus menyalakan ponselnya secepatnya, sebab jika dilihat dari respon kedua teman barunya ini, mereka seperti sudah mencoba menghubungi Sinta berkali-kali.

"Tidak kenapa-kenapa. Ponselku ada dan baik." Kata Sinta sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam totebag.

Fanya yang melihat ponsel Sinta dalam keadaan baik pun bertanya lagi, "Lalu kenapa kami tak bisa," perkataan Fanya terhenti ketika dilihatnya Sinta menyalakan ponsel miliknya. Rupa-rupanya ponsel Sinta dalam keadaan mati total.

"Aku sengaja mematikan dayanya supaya kalian tidak menghubungiku." Kata Sinta yang dihadiahi pelototan Ara dan Fanya. Mereka hendak mengeluarkan kata-kata, namun batal ketika dilihatnya dosen pengajar mata kuliah hari ini telah memasuki ruang kelas.

Perkuliahan berjalan dengan lancar, mata kuliah pertama di hari ini sudah menemui akhir. Hanya tersisa satu mata kuliah yang akan Sinta hadiri nanti pada pukul sebelas.

"Kamu masih memiliki utang penjelasan dengan kami." Kata Ara kepada Sinta ketika dosen pengajar pagi ini berjalan keluar kelas.

"Ayo jelaskan kepada kami." Kata Fanya.

"Jelaskan apa?"

"Pertama, soal ponselmu. Kedua, soal kejadian kemarin malam selepas pertunjukkan teater." Kata Fanya dengan menghitung jari telunjuk dan jari tengahnya, sedangkan Ara mengangguk.

"Aku tak bisa menjelaskannya sekarang, sebab kita harus pergi ke kelas selanjutnya. Aku tak mau jika kita duduk di bangku depan." Kata Sinta sambil bangkit untuk berjalan menuju kelas selanjutnya.

Sinta menambahkan, "Dan setelah kita sampai, kita akan melanjutkan kuliah. Jadi, penjelasannya nanti saja."

"Tidak bisa, masih tersisa dua puluh menit sebelum kelas selanjutnya dimulai. Jadi, masih ada waktu untukmu menjelaskan dua hal itu kepada kami." Kata Fanya.

Sinta menggeleng, "Ada satu hal yang harus kalian tahu sebelum kalian mengetahui dua penjelasan itu. Yakni, penjelasan atas dua hal yang kamu sebutkan tadi sangatlah panjang. Tak cukup dua puluh menit untuk menjelaskannya kepada kalian. Bersabarlah hingga kelas hari ini selesai."

"Baik, tapi kamu juga harus tahu satu hal." Kata Ara tak mau kalah. Sinta menagerutkan dahinya tanda ia bertanya, dan Ara melanjutkan, "Kami tak akan membiarkanmu menghindar dari membayar utang penjelasanmu kepada kami."

"Nah!" Sahut Fanya kemudian mereka berdua saling menepuk tangan satu sama lain.

Fanya menambahkan, "Kami tahu seberapa andalnya kamu menghindari Kak Bima selama ini. Jadi, kami tak akan membiarkanmu menghindari kami sama lihainya saat kamu menghindari Kak Bima." Sinta hanya memutar matanya jengah mendengar ucapan Fanya.

Mereka pun sampai di kelas selanjutnya. Ada tiga kursi di belakang yang langsung mereka duduki dan saling mengobrol sebelum kelas dimulai.

"Memangnya kamu sudah mengenal Kak Bima dari SMA?" Tanya Ara.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Aku melihat respon kedua temanmu dan teman-teman Kak Bima yang mengobrol dengan kita semalam. Kalian seperti sudah saling mengenal sejak lama."

"Ya, sebenarnya kami sudah saling mengenal sejak SMA. Lebih tepatnya hanya sekedar tahu. Kalian ingat dengan Mas Prada?" Tanya Sinta kepada Fanya dan Ara, kemudian mereka mengangguk.

"Dia adalah kakak dari sahabatku yang saat ini berkuliah di Jawa Tengah, namanya Saka. Aku dan sahabat-sahabatku sering bermain di rumah Saka dan mengenal Mas Prada. Berhubung waktu itu Mas Prada sudah berkuliah, jadi kami juga mengenal teman-teman Mas Prada. Tapi hanya sekedar tahu, kami tidak selalu saling mengobrol."

"Pantas saja. Maaf ya jika aku tanya-tanya, sebab aku sangat terkejut dengan fakta di mana kamu mengenal Kak Bima." Kata Ara.

"Tak masalah, aku mengerti." Kata Sinta sambil melempar senyum dan menaik turunkan alisnya.

Sebenarnya, sepanjang Ospek jurusan dan ia mengenal Ara serta Fanya, kedua temannya ini sering sekali membicarakan Bima. Sebenarnya bukan hanya mereka yang sering membicarakan Bima, namun juga teman-teman perempuan yang lain. Bagaimana tidak, postur tubuh tegap dan tinggi, tatapan mata yang tajam nan dingin dengan bulu mata lentik, kulit putih bersih, bibir tipis yang selalu menampilkan kesan datar, hidung mancung, serta anak rambut yang kadang-kadang nakal bermain-main di keningnya itu memiliki daya pikat yang tinggi. Ditambah dengan karakter dingin dan angkuh miliknya yang sangat menambah daya tarik miliknya dan menimbulkan kesan 'berandal'. Sebab di zaman ini, perempuan-perempuan lebih tertarik dengan seorang lelaki berandal dari pada lelaki yang baik-baik.

Banyak dari mereka yang mengelu-elukan ketampanan Bima. Tak jarang ketika dirinya menjabat sebagai ketua divisi kedisiplinan, banyak mahasiswi yang justru dengan sengaja membuat kesalahan hanya supaya bisa berdiri dekat dengan Bima. Karena konon katanya, Bima memiliki aroma parfum yang memikat indera penciuman manusia. Sinta telah membuktikan hal itu dulu ketika Bima mendekatkan badannya ke arah Sinta di malam teater dua tahun lalu. Memang Bima memiliki aroma parfum yang wangi. Tapi hal itu tak membuat dirinya mabuk kepayang seperti Ara dan Fanya.

Selama Ospek jurusan berlangsung, dua orang itu selalu memuja-muja Bima, mereka sering heran saat tahu jika pesona Bima tak cukup kuat untuk menarik perhatian Sinta.

"Aku sebenarnya sebal dengan tugas-tugas yang diberikan oleh panitia Ospek jurusan, namun aku sangat suka ketika kita semua telah berkumpul di aula untuk pertemuan Ospek jurusan." Kata Fanya dengan tersenyum saat mereka tengah menunggu dimulainya acara Ospek jurusan.

"Ah, aku mengerti maksudmu." Kata Ara yang membuat mereka berdua tertawa.

Sinta tahu apa yang kedua temannya ini maksud, pasti Bima.

"Kalian ini tak henti-hentinya memikirkannya." Kata Sinta sambil memutar bola matanya.

"Tentu saja, kami ini perempuan normal yang suka memandangi lelaki tampan." Kata Fanya.

"Aku juga normal, tapi aku tidak suka jika memandanginya." Kata Sinta yang merujuk kepada Bima.

"Kami heran denganmu, memangnya apa yang salah dengan Kak Bima?" Tanya Ara kepada Sinta yang hanya dibalas diam.

Percakapan mereka terhenti saat dilihatnya beberapa panitia Ospek jurusan memasuki ruang aula. Fanya memegang tangan Ara erat dan memekik ketika dilihatnya Bima berjalan memasuki aula. Kaos hitam yang dibalut kemeja navy dengan semua kancingnya terbuka dan lengan kemeja yang dilipat, celana panjang hitam, serta sepatu convers hitam putih itu menambah karisma Bima.

Ospek jurusan dimulai, kegiatan itu dimulai dengan panitia kedisiplinan yang meminta semua kelompok mengumpulkan tugas yang telah diberikan. Dilanjutkan dengan evaluasi tugas sebelumnya. Seperti biasa, mereka mengkritik dan memaparkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa baru. Sinta yang duduk di tempatnya itu memandang ke arah Bima yang hanya diam berdiri sambil mengedarkan pandangan. Lalu Sinta pun menundukkan kepalanya sebelum Bima melihatnya.

"Astaga, Kak Bima hari ini sangat keren!" Kata Fanya setelah kegiatan Ospek jurusan hari itu selesai.

"Ya! Aku selalu suka dengan lelaki yang memakai kemeja dengan kancing terbuka." Tambah Ara dengan diikuti tawanya.

"Tidak, kamu hanya menyukai Bima, bukan model pakaian yang ia kenakan hari ini." Kata Sinta.

"Kamu hanya tidak mengerti. Lagipula Sinta, bukannya kamu bilang jika kamu inginkan Bima sebagai kekasih?" Tanya Ara.

"Ya, aku ingat perkataanmu itu." Sahut Fanya.

"Salah, bukan Bima, tapi Bimasena." Kata Sinta.

"Sama saja, Bimasena itu kepanjangannya, jika kita menyebutnya dengan nama pendeknya, itu adalah Bima." Kata Fanya.

"Memang, tapi saat ini berbeda."

"Apa yang berbeda?" Tanya Ara.

"Pasti gara-gara Kak Bima." Tebak Fanya.

"Kamu sungguh tidak normal." Ucap Ara.

"Justru kalian yang tidak normal. Kak Bima hanya diam dan sesekali berbicara, itu pun hanya kritikan pedas yang ia lontarkan. Kalian justru suka dengan hal itu."

"Justru itu daya tariknya!" Seru Ara dan Fanya secara bersamaan dan Sinta memutar bola matanya.

Perkuliahan pun dimulai pukul sebelas lewat beberapa menit. Dosen menjelaskan materi sampai pukul setengah satu siang sebelum pada akhirnya pergi meninggalkan kelas. Fanya dan Ara bersiap untuk meminta penjelasan kepada Sinta.

"Ini waktunya." Kata Ara kepada Sinta yang dibalas dengan cibiran.

"Kita mengobrol di kursi yang ada di dekat tangga saja." Usul Fanya dan mereka pun berjalan ke tempat yang telah disepakati.

"Ayo, jelaskan." Kata Ara membuka topik.

"Jadi, ponselku kemarin malam memang sengaja aku matikan supaya aku tak perlu membaca pesan dari kalian." Perkataan Sinta dibalas dengan pelototan oleh kedua temannya dan Sinta melanjutkan, "Tunggu dulu, dengarkan dulu. Aku tahu jika kalian akan amat sangat ingin tahu tentang kejadian malam itu. Malam itu aku sudah sangat kesal dengan kehadiran Kak Bima, jika aku menyalakan ponselku dan membaca pesan kalian yang menanyakan tentang hal itu, malamku akan semakin buruk. Jadilah aku memutuskan untuk mematikan ponselku dan menjelaskan hal itu kepada kalian keesokan harinya, yaitu hari ini."

"Lalu sebenarnya apa yang terjadi di antara kamu dan Kak Bima?" Tanya Ara. Ara adalah orang yang daya keingintahuan yang tinggi. Sebenarnya sama saja dengan Fanya, hanya saja, Fanya tak mempertanyakan hal itu. Sebab ada Ara yang sudah pasti mempertanyakannya lebih dulu, ia hanya akan menjadi pendengar.

Sinta pun menjelaskan kejadian malam teater dua tahun lalu. Ketika dirinya untuk pertama kalinya bertemu dengan Bima. Ketika Sinta menyelesaikan ceritanya, Ara dan Fanya tertawa lepas.

"Kamu bercerita tak sampai dua puluh menit. Pantas saja selama ini kamu kesal dengan Kak Bima dan mati-matian menghindarinya." Kata Fanya sambil melihat jam tangannya.

Sinta mencibir, "Tentu saja, aku tidak ingin bertemu dengannya yang nantinya hanya memancing emosiku. Lagipula, bercerita hal ini bukan perkara dua puluh menit atau lebih, namun berkaitan dengan lokasi. Aku tak mau jika aku bercerita di tempat yang salah, bagaimana jika orang lain yang tidak aku kenal mengetahui hal ini? Atau lebih tepatnya bagaimana jika Kak Bima yang mendengar ceritaku ini? Bisa-bisa dia mengejekku lagi." Kata Sinta dengan kesal.

Saat ia mengatakan hal itu, ia tak menyadari ada sekelompok orang yang berjalan menaiki tangga. Sinta baru menyadari hal itu ketika didengarnya suara seseorang yang mirip dengan suara Prada. Sinta pun melihat ke arah tangga dan merasakan akan terjadi sesuatu yang tidak enak. Menyadari sikap Sinta, Ara dan Fanya menatap ke arah yang ditatap oleh Sinta. Di sana terlihat Prada, Nuca, Ino, dan tak lupa Bima, sedang berjalan menaiki tangga ke arah tempat duduk mereka.