Kasus penahanan Bimasakti, Broto, dan Gilang atas tuduhan beberapa tindak pidana serius terua bergulir. Media massa berlomba-lomba menjadikan berita tersebut sebagai headline. Arus protes dari masyarakat terdampak kejahatan mereka semakin membeludak. Dirja cepat mengambil tindakan dengan memberikan ganti rugi maupun santunan bernilai sepadan sebagai bentuk tanggung jawab. Tak sampai di situ, dia juga melakukan konferensi pers dan permintaan maaf secara terbuka.
Aksi Dirja membuahkan hasil. Meksipun ada guncangan, tetapi tidak sampai menggoyahkan PT. Karya Lestari. Masyarakat bersedia berdamai dan hanya melakukan tuntutan secara pribadi kepada Bimasakti dan komplotannya.
Berbeda dengan PT. Indah Permai Jaya milik Broto. Perusahaan tersebut berangsur-angsur kolaps. Istri maupun anak-anak Broto tidak memiliki kemampuan mumpuni dalam menggantikannya. Kerugian terus meningkat tajam, sementara keuntungan terjun bebas. Ditambah tuntutan masyarakat yang terdampak berbagai proyek, PT. Indan Permai Jaya semakin terpuruk.
Buntut panjang dari terbongkarnya kejahatan Broto tak hanya menimpa perusahaan. Karir Rani di dunia hiburan ikut terdampak. Wajahnya terus menghiasi layar kaca di setiap acara infotainment. Sialnya, berbagai pengakuan dari korban-korban kekasaran Rani juga merebak. Selama ini, mereka hanya diam karena akan di-bully jika berani bicara.
Tangan Rani gemetar saat membaca sebuah ulasan pengakuan seorang dengan nama akun Lilin_Kecil. Akun tersebut mengaku sebagai seorang pelayan restoran. Dia pernah melayani Rani dan disiram dengan jus hanya karena jusnya kurang manis. Anehnya, dia justru dipecat oleh bosnya. Komentar mengandung pun kebencian bertebaran.
"Arggggh! Sial*n!" umpat Rani. "Kenapa bisa seperti ini? Kenapa ...," gumamnya berulang.
Rani menggigit bibir. Dia selalu saja refleks bertingkah merendahkan orang lain, seperti sudah menjadi pengaturan otomatis dalam dirinya. Hal itu terjadi akibat doktrin berulang dari sang ibu. Paramitha memang selalu menanamkan sifat angkuh kepada Rani dengan alasan agar tidak dimanfaatkan oleh orang-orang dari status sosial lebih rendah. Doktrin semakin kuat terpatri setelah Rani benar menemukan teman-teman palsu yang hanya ingin mengeruk keuntungan darinya. Sebenarnya, Tiana sering menegur dengan hati-hati. Namun, Rani tak bisa menerima dan mengambek berhari-hari.
"Ah, Tiana!" seru Rani tiba-tiba.
Dia segera bangkit dari kasur mengganti gaun tidur dengan pakaian yang lebih kasual. Oleh karena sedang menghindari wartawan, Rani juga mengenakan jaket, topi, dan masker. Dia terlebih dulu memeriksa lokasi Tiana dari status wa sang kawan. Tiana memang tidak sedang berada di rumah. Gadis itu tengah mengadakan pameran lukisan di event kebudayaan.
Setelah persiapan selesai, Rani mengendap-endap keluar dari apartemennya. Beruntung, keadaan sekitar memang tengah sepi dan taksi online yang dipesannya cepat datang. Dia pun bisa segera pergi ke lokasi pameran. Tak lupa, Rani mampir dulu ke toko bunga untuk membeli buket dari lili putih, bunga kesukaan Tiana.
Begitu tiba di gedung lokasi pameran, Rani melangkah ragu memasuki ruangan galeri lukisan. Tangannya terkepal kuat, berusaha meyakinkan hati. Namun, tinggal sepuluh langkah menuju Tiana, dia terhenti. Ucapan dua gadis yang tengah mengobrol dengan Tiana di sana seolah-olah sambaran petir di siang bolong. Mereka adalah teman-temannya semasa SMA. Rani pun hanya bisa bersembunyi di balik tembok sembari menggigit bibirnya.
"Kita seneng banget, lho, Tiana. Lo udah enggak deket-deket lagi sama tuh si Rani julid," celetuk gadis yang berambut pendek.
"Iya, Tiana. Aduh, ampun-ampunan dah. Tuh mulutnya keknya seblak level 10 juga kalah," timpal gadis berambut ikal.
"Maaf lho, kita selama ini ngejauhin lo, ya, gara-gara enggak tahan sama mulutnya Rani." Gadis berambut pendek tampak memasang wajah bersalah.
"Sama kelakuan itu juga kek ngerasa lebih tinggi, Seolah-olah dia ratu terus kita budak dari rakyat jelata gitu," tambah si rambut ikal.
Rani yang masih bersembunyi menggemelutukkan gigi. Jika dia yang biasanya, pasti akan keluar dan melabrak mereka semua. Umpatan dan makian juga akan terlontar dari bibirnya. Namun, kali ini, Rani malah meringkuk bagaikan pesakitan. Entah kenapa dia sangat ingin mendengar pendapat Tiana yang sebenarnya.
Tiana tampak hendak menjawab. Namun, sosok lain yang familiar menghamipirinya. Mereka saling menyapa dengan akrab. Rani terbelalak. Dia tak menyangka Tiana akan sedekat itu Putri. Rani merasa patah hati.
"Selamat, ya, Tiana. Keren banget lho kamu," puji Putri sambil menepuk-nepuk pundak Tiana.
"Terima kasih, Kak Putri. Apalagi Kakak sampai ikut meramaikan acara tadi."
Dua gadis yang sebelumnya mengobrol dengan Tiana tampak terperangah. Mereka menatap Putri dengan tatapan kagum.
"Lho, Tiana, lo kenal sama Kak Putri yang punya akun YouTube Sanggar Adi Luhur?" tanya gadis berambut pendek, teman SMA Tiana.
"Kami kenalnya enggak sengaja, kok.Sama-sama pas lagi makan di warung bakso. Ternyata asyik ngobrol," sahut Tiana sekenanya.
Gadis berambut ikal mengacungkan jempol. "Wah, mantap! Habis ngelepasin temen toksik, lo langsung dapat kenalan yang keren," pujinya.
Rani sudah tak tahan berada di tempat itu. Dia bergegas meninggalkan gedung tanpa menyapa Tiana. Bunga yang tadi sempat dibeli dilemparnya ke tempat sampah.
Sementara itu, Tiana menghela napas berat. Dia menatap tajam teman-teman SMA yang tengah heboh menanyai Putri. Tangannya terkepal kuat dengan gemeletuk gigi yang terdengar samar.
"Cukup!" seru Tiana dengan suara bergetar.
"Eh, Tiana? Lo kenapa?"
"Kayaknya kalian udah keterlaluan ngomong soal Rani."
"Kita itu belain lo, Tiana. Kok, lo malah belain Rani?"
"Justru gara-gara temen kayak kalian Rani jadi makin julid. Apa kalian lupa gimana sikap penjilat kalian ke Rani, hah?" geram Tiana. Dia menyebutkan satu per satu kesalahan teman-teman SMA-nya itu.
Si rambut pendek seketika berwajah masam. "Ah, lo enggak seru beudh!"
"Ketularan Rani kali, dia. Ayo kita pulang aja deh," timpal si rambut ikal.
Dua kawan SMA-nya telah pulang. Tiana masih menggeram. Dadanya tampak naik turun. Beruntung, Putri bisa perlahan-lahan menenangkan gadis itu. Baru saja Tiana merasa tenang, matanya tak sengaja menangkap lili putih di tempat sampah. Dia pun segera menyadari jika Rani sebelumnya ada di sana.
"Kak, maaf aku harus pergi ke apartemen Rani. Firasatku enggak enak banget," cetus Tiana setelah menggigiti ujung kuku selama 5 menit.
"Aku ikut! Jika memang terjadi hal berbahaya, akan lebih mengatasinya berdua."
Awalnya, Tiana ragu. Dia takut Rani akan semakin mengamuk jika melihat kedatangan Putri. Namun, setelah memikirkan berbagai pertimbangan, gadis itu setuju. Jadilah, mereka meninggalkan pameran dan bergegas menuju apartemen Rani.
***
"Ran! Rani! Buka pintunya, Ran!" jerit Tiana panik.
Dia terus menggedor pintu, juga berkali-kali memencet bel. Sudah 10 menit, mereka berdiri di depan pintu, tetapi Rani tak menunjukkan batang hidungnya. Tiana terus menghiba, juga mebujuk Rani.
"Apa kamu tidak punya sandi apartemennya?" celetuk Putri.
Tiana seketika menepuk kening. Dia memang memiliki sandi kamar apartemen Rani. Namun, Tiana terlupa katena terlalu panik. Setelah mengatur napas sejenak, dia pun segera menekan 6 angka. Terdengar bunyi pelan, lalu pintu terbuka. Mereka pun merangsek masuk.
"Ran! Rani!" panggil Tiana lagi.
Tak ada sahutan. Rani juga tidak ditemukan di mana pun. Tiana berkeliling ruangan dengan panik. Firasat buruk menghampirinya begitu medengar suara air mengalir dari kamar mandi. Tiana berlari dengan panik. Beruntung, pintu kamar mandi tidak terkucnci.
"Ya ampun, Rani!" jerit Tiana panik.
Dia berlari ke arah bath up di mana Rani terbaring dan hendak menyayat nadinya. Pergelangan tangan gadis itu sudah tergores sedikit. Darah merembes. Tiana memeluk Rani dengan erat, memaksanya melepaskan pisau. Diperlukan waktu setengah jam, hingga Rani berhasil dibujuk.
"Gue udah enggak tau harus gimana? Semuanya hancur, Tiana, hancur ...," lirih Rani setelah Tiana membantunya berbaring di kasur.
"Lho ikut gue aja, Ran!"
"Ikut?"
"Gue dapat kesempatan belajar di Paris. Lo bisa ikut gue. Bukannya impian lo jadi pemain teater yang hebat. Mungkin saja hancurnya karir lho bisa jadi titik balik buat gapai impian itu," cerocos Tiana panjang lebar.
Rani terdiam. Dia tentu ragu dan merasa akan membebani Tiana. Lama, mereka terjebak keheningan, hingga akhirnya Rani mengangguk. Dia tak kuasa menolak tatapan memelas Tiana. Dua sahabat itu pun berpelukan. Putri masuk ke kamar dan berdeham. Rani terbelelak melihat kedatangannya.
"Apa lo datang mau balas dendam?" tanyanya takut-takut.
"Tidak. Aku datang ingin kau menebus kesalahanmu dengan lebih produktif dan menguntungkan juga buaatku," sahut Putri santai.
"Menebus? Dngan apa?"
"Nanti akan kuberitahu setelah kondismu pulih. Sekarang, istirahatlah dengan benar." Putri melirik arlojinya. "Aku tak bisa berlama-lama di sini. Aku permisi dulu, ya," pamit Putri meninggalkan dua sahabat yang harus berjibaku lagi menjalin tali persahabatan yang sempat putus.
***