webnovel

Bagian 74

Ruang latihan sanggar terasa mencekam. Dua pria kekar mondar-mandir sambil menenteng parang. Bekas luka di pipi dan sorot mata garang menambah kesan seram pada wajah mereka. Anak-anak panti yang terikat bersama Putri, Asih, dan Shinta di tengah-tengah ruangan sangat ketakutan dan mulai menangis. Dimulai dari anak terkecil, hingga isakan mereka bersahutan dan menyebabkan keriuhan. Preman penyekap pun tersulut emosinya.

"Hei, Anak-anak Bodoh! Diamlah kalian! Jika bos kami sudah mendapatkan keinginannya, kalian akan bebas. Ribut lagi, kami habisi kalian satu per satu!" ancam preman berkumis tebal.

Suara tangis anak-anak seketika berhenti. Namun, air mata masih menuruni pipi mereka. Asih terus merapalkan doa. Sementara itu, Putri merapatkan punggungnya ke punggung Shinta yang tengah gemetar ketakutan.

"Shinta, tetap tenang dengarkan rencanaku," bisik Putri.

Shinta tersentak. Dia hampir saja menjerit kaget. Untunglah, Shinta berhasil menguasai diri dan mengangguk pelan sebagai isyarat mengerti ucapan Putri.

"Aku akan melepaskan ikatan tanganmu. Nanti aku akan berpura-pura minta di antar ke toilet sebagai isyarat memulai rencana. Setelah aku dan si penjahat meninggalkan ruangan ini, kamu coba alihkan perhatian penjahat yang tinggal di ruangan sambil melepaskan ikatan Ibu dan anak-anak. Setelah itu, tunggulah sampai isyarat berikutnya. Kalian juga harus tetap berpura-pura masih terikat," jelas Putri panjang lebar.

"Baik, Kak," sahut Shinta juga dengan berbisik.

Mereka pun memulai rencana. Putri segera berakting. Dia berguling-guling di lantai sambil menggigit bibir. Aksinya menarik perhatian salah seorang penjahat. Lelaki dengan tato elang di lengan atas itu menghampiri.

"Lo kenapa, hah? Jangan banyak gaya!" bentak si penjahat sambil mengacungkan parang.

"Saya mau buang air besar, Bang. Aduh! Aduh! Udah di ujung!" jerit Putri berpura-pura panik dengan mimik wajah yang sangat meyakinkan.

Bruuut!

Kentut terlepas, menyebarkan aroma busuk. Putri bersorak dalam hati. Tubuhnya ternyata bekerja sama dengan baik. Akting ingin buang air besar pun menjadi lebih meyakinkan.

"Kutu kupret! Cantik-cantik kentutnya bau!" umpat si penjahat.

"Namanya juga kentut, Bang. Makanya tolong izinkan saya ke WC. Saya sudah tidak tahan," pinta Putri dengan wajah memelas.

Dua penjahat itu saling pandang. Mereka sempat berdebat singkat sebelum memutuskan untuk mengizinkan Putri. Tentu saja, salah seorang penjahat akan ikut mengawasi.

"Cepat berdiri!" perintah si tato elang.

"Bantuin dong, Bang. Susah berdiri kalo tangan terikat gini," keluh Putri.

Si penjahat mendecakkan lidah, lalu membantu Putri berdiri. Sebenarnya, tak sulit bagi Putri berdiri sendiri. Namun, dia memang sengaja berpura-pura menjadi perempuan lemah dan manja agar para preman itu melonggarkan kewaspadaan.

Akhirnya, mereka pun pergi ke toilet. Si tato elang melepaskan ikatan tangan Putri terlebih dulu. Sebelum Putri memasuki bilik toilet, dia mengancam agar gadis itu tak macam-macam.

"Jangan berbuat aneh atau kepalamu lepas dari tempatnya!"

"I-i-ya, Bang."

Putri pun segera menutup pintu dan menguncinya. Selanjutnya, dia langsung menyalakan keran air. Putri tentu tidak buang air besar, tetapi membuka lubang angin setelah menaiki toilet.

"Untunglah, lubang angin ini dibuat cukup besar," gumamnya.

Putri memperhatikan keadaan sekitar terlebih dahulu. Setelah dirasa aman, dia segera keluar dari lubang angin, lalu bergelantungan di pohon akasia yang tumbuh di belakang toilet. Kondisi halaman belakang sanggar benar-benar sepi. Para penjahat belum menyadari Putri berada di sana karena sepertinya mereka fokus berjaga di daerah depan.

Putri telah turun dari pohon. Dia mengendap-endap, lalu menyelinap ke kamar melalui jendela. Putri mengambil ponsel cadangannya untuk kemudian menghubungi Tyas yang untungnya sedang tidak di sanggar karena berkencan dengan Paijo. Putri juga mengirimkan pesan kepada Aldi agar tenang dan segera mengirimkan Rama ke sanggar. Tak lupa pula, gadis itu membawa serta tongkat yang baru dipesannya untuk pertunjukan Tari Tongkat.

Awalnya, Putri hendak kembali ke toilet. Namun, ide lain mampir di benaknya saat melihat dua jeriken diletakkan sembarangan oleh para penjahat. Aroma bensin tercium dari sana. Putri pun diam-diam mengambil jeriken lalu membuang isinya. Setelah itu, barulah dia masuk lagi ke toilet melalui lubang angin.

Putri membuka pintu toilet dengan hati-hati. Dia berusaha keras agar tidak menimbulkan bunyi ke kecil apa pun. Nasib baik, si penjahat berjaga sambil membelakangi toilet. Putri pun memusatkan tenaga di kedua tangan, lalu memukul preman bertato elang itu dengan tongkat sekuat mungkin di tengkuk. Tak ayal, si penjahat ambruk tak sadarkan diri.

Tidak ingin mengambil resiko, Putri segera mengikat si penjahat dengan tali. Selanjutnya, dia kembali ke ruang tamu. Langkahnya sangat pelan agar tak menghasilkan suara berisik. Keadaan di ruang tamu tampak tak berubah banyak. Namun, Putri tahu Shinta sudah menjalankan tugas dengan baik. Tali yang menjerat pergelangan tangan Asih dan anak-anak terlihat lebih longgar.

"Ck! Lama sekalian kakak kalian itu boker! Kenapa tidak kembali-kembali juga," gerutu si penjahat. Dia mengelus dagu. "Tunggu, jangan bilang dia mau kabur! Sial*n!" umpatnya. "Rupanya, kalian perlu diberi peringatan dulu."

Si preman melotot ke arah Shinta. Dia mendekat dengan seringaian menjijikan. Lengan penuh bekas luka hampir terulur ke wajah Shinta. Tepat sebelum tangan kasar itu menyentuh pipi yang mulus, satu pukulan kuat menghantamnya.

"Kak Putriii!" seru anak-anak sembari berebutan memeluk Putri yang masih memegang erat tongkat.

Sialnya, pukulan Putri kali ini ternyata tidak seampuh yang pertama, meleset dari tengkuk, sehingga preman berkumis tebal itu tidak pingsan seperti temannya. Dia bangkit mendadak, lalu menerjang ke arah Putri. Anak-anak menjerit histeris. Asih mencoba membawa mereka menjauhi arena pertempuran. Sementara Shinta mencari apa saja yang bisa dijadikan senjata agar bisa ikut memukuli si preman.

"Hey! Masuklah kalian! Bantu gue! Bantu gue!" teriak si preman saat terdesak.

Rupanya, dia cukup kewalahan menghadapi dua gadis dengan tongkat. Parangnya bahkan sudah terlempar entah ke mana. Sayangnya, belasan kali berteriak, bantuan tidak juga datang. Preman itu pun akhirnya pingsan dengan wajah memar. Putri dan Shinta cepat mengikatnya, lalu membantu Asih untuk menenangkan anak-anak.

Sementara itu, kondisi di luar tak jauh berbeda. Preman-preman suruhan Bimasakti juga sedang di ujung tanduk. Rama datang bersama para pasukan pengawal pribadi terbaik yang dibentuk Aldi. Sementara Tyas dan Paijo tiba 5 menit setelahnya dengan membawa Romlah dan murid-murid silat. Para preman kalah teknik bertarung.

"Bakar saja! Bakar sanggarnya!" seru pemimpin preman.

Anak buahnya pun cepat mengambil jeriken. Namun, mereka harus kecewa karena jeriken itu tak ada isinya. Tak kehabisan akal, si pemimpin preman merebut jeriken kosong dan melemparnya ke pendopo. Dia berpikir wadah bekas bensin itu masih bisa terbakar jika disulut api.

"Rasakan kalian!" ejeknya.

Krak!

"Argggh!"

Erangan menyayat mengudara. Tepat sebelum si pemimpin preman berhasil menyalakan pemantik api, emak Paijo memelintir lengannya. Pemantik api jatuh ke tanah. Romlah pun menendangnya ke semak-semak. Akhirnya, para preman berhasil diamankan murid-murid perguruan silat.

Sementara itu, Rama berlari ke dalam sanggar. Dia terus memanggil nama Shinta dengan panik. Begitu melihat sang gadis pujaan hati, tanpa sadar pemuda itu mendekap erat. Shinta yang tadi baru saja memukul penjahat sampai puas seketika tersentak, lalu tersipu. Tongkat terlepas dari tangan.

"Dek, kamu baik-baik saja, 'kan? Katakan kamu baik-baik saja. Jika terjadi sesutau padamu, Abang tidak tau harus bagaimana menjalani hidup ini," bisik Rama dengan suara bergetar hebat.

"Memangnya kenapa, Bang?" tanya Shinta sengaja memancing.

Rama yang masih panik tanpa sadar menjawab, "Karena Abang sayang Shinta. Karena Abang cinta Shinta."

"Shinta juga cinta, kok, sama Abang," balas Shinta dengan senyuman nakal.

Rama tersentak dan dengan cepat melepaskan pelukan. Wajahnya seketika merona. Shinta menyeringai, membuat pemuda itu merinding.

"Abang harus tanggung jawab lho sudah peluk-peluk."

"Eh? Tapi, Abang ...."

"Harus nikahin Shinta lho, Bang," desak Shinta.

Rama hendak bicara, tetapi Tyas merangsek masuk. Dia langsung memeluk Putri, Asih, dan anak-anak panti secara bergantian. Suara tangis harunya begitu nyaring merusak momen. Namun, Rama diam-diam menghela napas lega karena bisa menunda jawaban untuk permintaan berani Shinta.

"Nanti kita lanjut di rumah, lho, Bang, pembicaraan yang tadi," bisik Shinta, membuat Rama menelan ludah.

***

"Sekian presentasi dari saya. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih. Salah dan khilaf, saya mohon maaf," tutur Aldi mengakhiri presentasinya.

Dia mengucapkan salam, lalu kembali ke tempat duduk diiringi dengan tepuk tangan. Bimasakti mendelik tajam, lalu berbisik bahwa dia sudah membakar sanggar. Namun, Aldi tak mengacuhkan ancaman sang paman, malah asyik melihat-lihat ponsel.

Sementara itu, Dirja, para petinggi, dan para investor melakukan diskusi yang cukup alot. Suara pendukung Aldi dan Bimasakti hampir seimbang. Mereka pun saling beradu pendapat. Namun, pada akhirnya Aldi keluar sebagai pemenang.

Bimasakti diam-diam mengepalkan tangan. Namun, dia tetap berpura-pura ikut bahagia dan menyalami Aldi sembari mengucapkan selamat. Rapat penentuan penerus pun berakhir. Satu per satu peserta rapat meninggalkan ruangan. Bimasakti keluar paling awal. Namun, bukannya kembali bekerja, dia malah pergi dari perusahaan dan menuju rumah rahasianya.

Brak!

Pintu dibanting dengan kasar. Bimasakti masuk ke rumah dan menghempaskan badan di sofa, lalu menghubungi Broto dan Gilang agar segera berkumpul. Baru beberapa menit terlelap, bel rumah berbunyi. Bimasakti mendecakkan lidah.

"Gilang selalu lupa membawa kunci cadangan," keluhnya sembari bangkit dari sofa dan membukakan pintu.

Bimasakti terperanjat. Saat pintu terbuka bukan wajah putranya yang tampak, tetapi dua pria berseragam cokelat. Mereka menunjukkan lencana kepolisian dan surat tugas. Tertulis namanya di sana.

"Saudara Bimasakti Permana, Anda kami tahan atas tuduhan beberapa tindak pidana serius."

"Enak saja! Saya tidak bersalah! Kalian jangan asal menuduh! Saya bisa menuntut balik kalian!" geram Bimasakti.

"Harap kooperatif, Pak. Hak pembelaan diri tetap akan Anda dapatkan. Silakan digunakan pada saat persidangan," sahut polisi tenang.

Bimasakti mendengkus. Dia mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menghubungi pengacaranya. Umpatan dan makian terlontar dari bibirnya. Kedua petugas sampai menggeleng melihat tingkah Bimasakati.

Usai Bimasakti menelepon, Polisi kembali memintanya bersikap kooperatif. Bimasakti tentu saja masih menolak. Terjadilah perdebatan sengit, hingga petugas terpaksa bertindak lebih tegas. Akhirnya, Bimasakti mau menurut.

"Ck! Sial*n! Kalian akan tahu berurusan dengan siapa!" ancam Bimasakti sebelum masuk ke mobil polisi dengan terpaksa.

***