webnovel

Bagian 51

Paijo tahu tak banyak waktu tersisa. Tyas juga tidak akan percaya jika dijelaskan. Dia pun terpaksa merangsek maju, merebut gelas dari tangan Tyas, dan menenggak isinya sampai habis.

"Eh, Anda tidak sop–" Tyas menoleh dan terbelalak, "Bang Paijo? Lo ngapain di sini? Apa-apaan coba ngambil minuman gue?" cecarnya.

Suara yang bernada tinggi membuat mereka menjadi pusat perhatian. Para pengunjung kafe menatap dengan sorot mata kepo, beberapa bahkan hendak merekam kejadian itu. Tyas tak peduli dan terus mengomel. Dia benar-benar kecewa karena Paijo sampai menguntit segala.

Sementara itu, Paijo tak menanggapi omelan Tyas. Kepalanya terasa berat dan sedikit berputar-putar. Suhu tubuh juga meningkat. Dia mengumpat dalam hati saat menyadari obat yang dimasukkan Gilang adalah jenis afrodisi*ka.

"Gue harus pergi secepatnya dari sini! Jangan sampai membahayakan Tyas!" Paijo membatin.

Dengan mengerahkan sisa-sisa kesadaran, Paijo berusaha keluar kafe. Namun, baru beberapa langkah, Tyas malah menarik lengannya. Gadis itu melotot, membuat kepala Paijo semakin tidak karuan.

"Abang mau ke mana? Jelasin dulu maksudnya asal nyelonong kayak tadi!"

"Minumannya diberi sesuatu oleh dia–"

Bruk!

Paijo ambruk. Kakinya sudah benar-benar lemas. Panas tubuh semakin membara. Dia harus susah payah menahan diri.

Amarah Tyas seketika surut. Meskipun tak mau mengakui, sebenarnya ada rasa yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya terhadap Paijo. Saat pemuda itu tiba-tiba jatuh, dia tentu menjadi panik dan ketakutan. Bahkan pesona Gilang sirna tak berbekas dari hatinya. Tyas mencoba menggoyangkan tubuh Paijo.

"Abang! Bang Paijo, kenapa? Abang, jawab Tyas, Bang!"

"Minuman ... hhh ... obat ...," Paijo tersengal. "Pukul Abang ... sampai pingsan ...," pintanya dengan suara memelas.

"Hah? Abang ngomong apaan ah! Sadar, Bang!"

Tyas menepuk-nepuk pipi Paijo dengan mata berair. Gilang mendecakkan lidah. Dia hampir saja bangkit dari kursi dan berakting ikut cemas. Namun, seorang gadis bertubuh mungil mendekat dan memukul Paijo sampai pingsan. Tyas langsung melotot.

"Jangan marah dulu, Mbak! Saya hanya memenuhi permintaan Mas itu."

"Dia itu lagi ngigau, masa Anda pukul beneran!" sergah Tyas.

"Bukan, Mbak. Dia cuma takut melecehkan Mbak. Soalnya minuman yang tadi diminumnya mengandung obat kuat." Gadis bertubuh mungil beralih menatap Gilang. "Bukan begitu, Mas? Bungkus obatnya juga masih Mas simpan di saku celana, 'kan?" sindirnya.

Tyas tersentak. Dia kembali teringat ucapan Paijo. Ternyata, semua itu bukan fitnah karena kecemburuan. Paijo benar-benar melakukannya demi kebaikan.

Sementara itu, Gilang tengah berdebat dengan si gadis bertubuh mungil. Pemuda itu berkelit dengan berbagai dalih. Namun, sungguh sial, bekas pembungkus obat di saku celananya malah jatuh ke lantai tepat di hadapan Tyas.

"Bang Gilang ...." Tyas mendesis tajam, lalu berdiri. "Dasar cowok berengs*k!" umpatnya.

Plak!

Wajah tampan Gilang pun kini memiliki cap lima jari. Tyas menatapnya jijik. Seandainya, dia tak mempertimbangkan norma kesopanan, mungkin akan meludah tepat di wajah tampan itu.

"Nih, ambil lagi hadiahnya!" Tyas meletakkan gelang di meja. Dia hampir saja mengomel panjang, tetapi bahunya tiba-tiba ditepuk pelan.

"Mbak, kayaknya temennya mesti diamanin dulu, deh," tegur si gadis bertubuh mungil yang tadi membongkar kejahatan Gilang sambil menunjuk Paijo yang terkapar di lantai.

Emosi Tyas pun surut. Dia berterima kasih kepada gadis itu. Tyas segera memesan taksi online, lalu meminta bantuan kepada pelayan kafe untuk membantu membawa Paijo masuk ke taksi. Tentunya, dia membayar dulu makanan dan minuman yang tadi dipesan. Gadis itu tak sudi kalau termakan uang Gilang.

Setelah perjalanan yang penuh ketegangan, taksi tiba di depan rumah dengan warung makan di depannya. Tyas memanggil beberapa pelayan warung laki-laki dan meminta tolong untuk membawa Paijo. Romlah, ibu Paijo yang tengah melayani pembeli langsung syok.

"Astaghfirullah, Paijo! Lu napa lagi dah?" jeritnya panik.

Pembeli terpaksa dialihkan kepada pegawai. Sementara itu, Paijo diangkut hingga ke kamarnya dan dibaringkan di kasur. Romlah terisak-isak di sisi tempat tidur.

"Lu emang, ya, Jo! Ada-ada aja kelakuan lu yang bikin Emak jantungan!" omelnya di antara isak tangis.

Tyas jadi merasa bersalah.

"Ini bukan salah Bang Paijo, Tante. Bang Paijo begini gara-gara nolongin aku dari orang jahat."

Tyas pun menceritakan kejadian di kafe. Dia meminta maaf telah menjadi penyebab Paijo terluka. Namun, hal mengejutkan terjadi. Romlah malah menjewer telinga putranya yang tengah pingsan.

"Ya Allah, Paijo, Paijo, nekat bener! Kenapa enggak lu kasih tau si Tyas baek-baek, malah diminum!" serunya kesal.

Tyas merasa semakin bersalah. Dia menduga Paijo berbuat nekat karena tak ada jalan lain. Tyas pasti tidak percaya jika hanya diberi tahu secara baik-baik, bahkan mungkin akan marah dan mengusir.

Romlah menatap Tyas dengan cemas. "Tapi, lu enggak kenapa-napa, 'kan? Paijo enggak ngapa-ngapain, 'kan? Kalo kenapa-napa lu bilang aja, Yas, Emak paksa dia tanggung jawab," cerocosnya.

Tyas menggeleng cepat. "Bang Paijo langsung pingsan habis dipukul sama cewek penyelamat itu."

"Syukurlah kalo begitu. Emak emang kepengen lu jadi mantu, tapi caranya harus baik-baik." Romlah menutup mulut, lalu cepat mengalihkan pembicaraan. "Oh ya, lu makan dulu, ya. Si Paijo biarin aja di kamar, biar istirahat dia."

Tyas tampak tak enak hati. Dia sudah membuat Paijo celaka, tetapi ibu pemuda itu tetap bersikap sangat hangat. Tyas merasa ingin pulang saja karena malu. Namun, tatapan penuh harap Romlah membuatnya tak kuasa menolak.

***

Putri masuk ke kamar sembari memijat-mijat bahu sendiri. Rasa lelah menggerogoti tubuh. Dia memang sudah mulai bekerja lagi karena jadwal dengan Aldi sudah tidak terlalu padat. Sulistyawati merekomendasikan toko bunga temannya dan Putri sangat menyukai tempat kerja barunya itu.

Pemilik toko yang ramah dan ikatan persaudaraan antara karyawan benar-benar seperti surga dunia. Meskipun banyak pesanan seperti hari ini, dia tetap bekerja dengan senang hati. Jauh berbeda saat di toko sepatu dulu, bukan hanya lelah fisik, juga tersiksa batin.

"Kakaaak, maaaf."

Seruan histeris mengejutkan Putri. Terlebih, Tyas mendadak memeluk erat, lalu terisak-isak. Gadis yang lebih muda 2 tahun darinya itu terus mengucap maaf dan terbata-bata menceritakan kejahatan Gilang dan aksi heroik Paijo.

Putri mengusap rambut Tyas dengan lembut. "Akhirnya, kamu sudah mengerti maksudku," gumamnya setelah tangis Tyas mereda.

Tyas melepaskan pelukan dan menyeka sisa-sisa air mata. "Iya, Kak. Kak Putri bener, Bang Gilang itu jahat. Untung, Bang Paijo ngikutin aku!" serunya berapi-api. Namun, dia tiba-tiba menunduk. "Tapi, jadinya Bang Paijo sakit deh."

Putri mencubit ujung hidung Tyas. "Biar sakit, dia pasti bangga banget bisa nyelamatin gebetannya."

Tyas tersipu. "Aku jahat banget, ya, selama ini sama Bang Paijo. Sebenarnya, aku bukannya benci, cuma malu aja karena kadang Bang Paijo tuh norak."

Putri terkekeh. "Yang itu, aku juga setuju. Tapi, kayaknya akhir-akhir ini dia lebih kalem deh."

"Iya, juga, sih," sahut Tyas. "Nanti aku bikinin kue kesukaan dia deh sebagai ucapan terima kasih."

"Boleh tuh. Tapi, permintaan maaf kamu tadi, aku terima enggak, ya?" goda Putri.

"Ih, Kak Putri!"

Putri tergelak. Tyas hanya bisa bersungut-sungut. Suasana tak mengenakkan di antara mereka telah berakhir.

***

Paijo tersenyum dengan pipi merona. Berkali-kali dipandanginya kotak plastik berisi potongan kue. Ya, Tyas baru saja mengantarkan kue sebagai ucapan terima kasih dan permintaan maaf. Sorot mata gadis itu tak lagi penuh kejengkelan seperti dulu, tetapi tampak malu-malu. Rupanya, tak sia-sia aksi heroik berbahaya yang dilakukannya.

"Apa gue tega makan nih kue dari Ayang Tyas?" gumam Paijo dengan mata berbinar.

Baru saja Paijo akan mencomot sepotong kue, ponselnya berdering. Dia mengernyitkan kening ketika melihat nama Aldi di layar yang menyala. Paijo segera menerima panggilan.

"Iya, Al, ada apa?"

"Lo ada waktu luang seharian besok, Jo?" tanya Aldi to the point.

Paijo berpikir sejenak mengingat jadwalnya untuk besok. "Kalo dari pagi sampai jam 4 sore kosong. Cuman jam setengah 5 ada janji sama pemasok susu."

"Oh oke, berartinya, cukup waktunya," sahut Aldi

Paijo mengerutkan kening. "Cukup buat apaan, Al?"

"Elo lupa, ya? Katanya mau dibantu make over," keluh Aldi.

"Eh iya, ya!" seru Paijo seraya menepuk kening. Akibat terlalu fokus mengawasi Tyas dan Gilang, dia sampai lupa dengan hal itu. "Jadi, mau berangkat jam berapa?"

"Barbershop buka jam 8. Jadi, jam setengah 8 gue jemput."

"Oke, siip. Gue tunggu."

Sebenarnya, Paijo ingin mengobrol lagi, menceritakan peningkatan hubungan dengan Tyas. Namun, ibunya berteriak-teriak memanggil minta bantuan untuk mengantarkan pesanan. Dia pun terpaksa memutuskan panggilan.

"Tunggulah, Tyas! Abang akan berubah menjadi pangeran tampan impianku!" serunya berapi-api.

"PAIJOOO!"

"Iya, Mak, iya!"

Paijo berlarian panik ke luar kamar.

***