webnovel

Bagian 50

Tyas senyum-senyum sendiri saat melihat layar ponsel. Pesan baru saja masuk dari nomor Gilang. Pemuda itu mengajaknya pergi kencan. Dia pun dengan lincah mengetikkan pesan balasan.

["Bisa, Bang. Kebetulan hari lagi dapat jatah libur."]

Tyas menyimpan ponsel dan segera masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Dia tak ingin mengecewakan Gilang jika sampai datang terlambat. Meskipun hubungan mereka masih tanpa status, Tyas yakin hanya menunggu waktu akan menjadi resmi.

Meskipun terkadang dia memang merasa sedih karena Putri masih bersikap sama, menentang keras. Adakalanya Tyas juga meragukan ketulusan Gilang. Pemuda itu beberapa kali menatapnya terlalu lekat, menimbulkan rasa risih. Namun, senyuman penuh pesona dan mulut manis Gilang berhasil menyapu resah dalam hatinya.

"Aduh, pakai baju yang mana, ya?" gumam Tyas di depan lemari pakaian.

Dia mengeluarkan tiga lembar gaun kasual, mematut-matut di badan. Akhirnya, pilihannya jatuh pada gaun polos berwarna peach dengan motif kupu-kupu kecil. Tyas berputar-putar di depan cermin memastikan penampilannya sudah paripurna. Sebagai langkah terakhir, dia menata rambut dan berdandan dengan gaya minimalis.

"Sip! Udah oke nih. Semoga bisa tepat waktu." Tyas mengepalkan tangan dan meninju udara. "Semangat, Tyas!" serunya.

Tyas mengambil tas yang tergantung di dinding dan memasukkan ponsel. Sambil memasang jam tangan, dia keluar kamar dengan tergesa. Asih yang tengah menonton televisi mengerutkan kening.

"Lho, rapi bener, mau ke mana, Nak?" tegur Asih.

"Ada janji sama temen, Bu." Tyas menghampiri Asih dan mencium punggung tangan wanita itu. "Tyas pamit, ya, Bu."

"Iya, hati-hati di jalan."

Tyas mengangguk, lalu berlalu dari hadapan Asih. Dia melangkah keluar panti sembari mendendangkan lagu-lagu romantis. Namun, suara merdunya seketika terhenti ketika Paijo berlari dari arah pagar. Tyas yang baru selesai mengenakan sepatu seketika mendecakkan lidah.

"Aduh, Bang Paijo mau ngapain lagi deh!" gerutunya.

Akhirnya, Paijo telah sampai di hadapan Tyas. Dia mengatur napas yang masih tersengal-sengal. Setelah napasnya lebih teratur, barulah pemuda itu angkat bicara.

"Tyas, ada yang mau Abang omongin, bisa kita ngobrol dulu sebentar," pinta Paijo dengan wajah memelas.

Tyas mendengkus. Dia melirik jam tangan dengan wajah cemberut. Sebenarnya, waktu janjian sudah cukup mepet. Namun, Tyas luluh dengan tatapan memohon Paijo.

"Oke, deh. Tapi, paling lama 10 menit, ya, Bang. Gue ada janji soalnya."

Wajah Paijo berubah semringah. "Iya, cuma sebentar aja ini," ucapnya antusias.

Tyas menghela napas, lalu duduk di kursi teras, diikuti Paijo. Mereka sempat terjebak keheningan selama beberapa detik. Paijo seperti berat sekali untuk menyampaikan maksudnya. Tyas hampir saja berdiri karena kesal. Untunglah, Paijo mulai bicara.

"Tyas, Abang pernah liat Tyas jalan ke kafe sama cowok–"

"Terus kenapa, Bang?" potong Tyas. Dia mengibas-ngibaskan tangan. "Abang bukan pacar gue, ya. Jadi, enggak punya hak ngelarang-larang," ketusnya.

Paijo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sudah menduga akan sulit. Ternyata, belum apa-apa Tyas sudah dongkol. Paijo sampai mencengkeram ujung taplak meja untuk mendapatkan keberanian agar bisa melanjutkan obrolan.

"Bukan itu masalahnya, Tyas ...."

Tyas melirik sinis. "Terus?"

"Abang cuma mau mastiin, apa cowok itu namanya Gilang?"

Tyas hanya mengangguk karena malas menjawab. Dia berkali-kali melirik jam tangan. Waktu bicara Paijo tinggal 5 menit lagi.

Paijo mengatur napas sejenak sebelum berkata dengan hati-hati, "Abang emang cemburu kalo kamu sama cowok lain, tapi Abang akan ikhlas kalo cowok baik-baik."

"Maksud Abang?"

"Gilang itu cowok berengs*k, Tyas. Ceweknya ada di mana-mana dan ...," Paijo terdiam sejenak seperti tidak enak untuk melanjutkan ucapannya, "semua cewek itu udah pernah ditidurin sama dia," lanjutnya.

Tyas menggebrak meja. Paijo sampai terlonjak dan hampir saja jatuh dari kursi. Untung saja, dia sempat berpegangan.

"Enggak boleh gitu dong, Bang! Jahat namanya! Kalo Abang suka sama gue, ya, pakai cara yang fair, bukan fitnah gitu!" bentak Tyas geram.

Meskipun sering bersikap jutek, sebenarnya Tyas tidak benar-benar membenci Paijo. Dia bahkan menikmati kebersamaan mereka dan merasa nyaman dengan perhatian pemuda itu. Namun, kali ini Tyas merasa gusar karena merasa kecewa Paijo sampai berbuat picik

"Abang bukan fitnah, Tyas. Gilang itu junior Abang di kampus dulu. Jadi, Abang tau tingkah lakunya! Dia benar-benar player, Dek." Paijo masih mencoba mengingatkan Tyas bahayanya Gilang.

Tyas berdiri dengan wajah merah padam. "Waktu bicara Abang udah selesai!" tegasnya sebelum berbalik dan meninggalkan Paijo.

"Tyas, tunggu!"

Tyas terus berjalan tanpa menghiraukan panggilan Paijo. Dia memberhentikan taksi yang lewat dan pergi ke lokasi janjian dengan Gilang. Paijo segera menaiki motornya dan diam-diam mengikuti dari jarak yang aman.

***

Tyas memasuki kafe dengan terburu-buru. Sudah lewat 5 menit dari waktu janjian. Dia pun mengumpati Paijo dalam hati karena membuatnya datang terlambat. Namun, wajah cemberutnya seketika sirna saat melihat Gilang melambai dari meja nomor lima. Tyas pun cepat-cepat menghampiri.

"Maaf telat, ya, Bang," tuturnya dengan perasaan bersalah.

Gilang terkekeh. "Cuma lewat 5 menit, kayak udah melakukan dosa besar kamu, Dek," candanya. "Ayo duduk dulu."

Tyas menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengan Gilang. "Biar 5 menit juga namanya telat, Bang. Baru kali ini aku bikin orang nunggu."

"Nunggu gadis secantik bidadari, 1 jam juga Abang rela," rayu Gilang.

Tyas mengerucutkan bibirnya, tapi dengan pipi bersemu. "Jangan gombal ah, Bang!"

"Maaf, maaf."

Gilang menyengir lebar, lalu menatap dalam. Dia mendekatkan wajah. Biasanya, gadis-gadis akan terhanyut. Namun, Tyas malah merasa takut. Entah kenapa menjadi terbayang ucapan Paijo sebelum berangkat tadi. Sementara Paijo sendiri yang tengah menguntit di meja lain hampir saja berdiri dan meninju wajah Gilang.

"Mbak, Mbak!" Tyas memanggil pelayan kafe.

Pelayan mendekat. Gilang terpaksa kembali ke posisi semula dan diam-diam menghela napas berat. Sementara itu, Tyas segera memesan minuman dan camilan. Paijo juga mengembuskan napas lega.

Suasana mendadak terasa canggung. Namun, bukan Gilang namanya kalau tak bisa mengendalikan keadaan. Tyas bukanlah gadis polos pertama yang menjadi targetnya. Dia tentu punya seribu cara untuk menaklukkan berbagai tipe wanita, terkecuali orang-orang berhati baja.

Gilang langsung memasang wajah bersalah. "Maaf, ya, Dek. Tadi, Abang khilaf karena terpesona sama kamu," ucapnya lembut, terdengar begitu tulus.

"Iya, Bang. Tapi, jangan diulangi lagi, ya. Bagiku, ciuman itu hanya dilakukan suami istri dan juga tidak di tempat umum seperti ini."

"Iya, sekali lagi Abang minta maaf."

Obrolan terhenti sementara karena pesanan Tyas datang. Pelayan kafe menyajikan es jeruk dan kentang goreng di meja.

"Jadi, bagaimana kondisi ibu kamu?" Gilang kembali melanjutkan obrolan.

"Alhamdulillah, sudah mulai pulih."

Tyas menceritakan kondisi Asih dengan antusias. Kewaspadaannya menurun drastis. Gilang tampak mendengarkan dengan seksama dan berkomentar di saat yang tepat, sampai Tyas benar-benar sudah tidak takut lagi. Setelah dirasa ada celah, Gilang tiba-tiba meletakkan kotak kecil berbungkus pink di meja. Tyas yang tengah mencerocos seketika terdiam.

"Nah, ini hadiah dari Abang," jelas Gilang.

Tyas mengerutkan kening. "Hadiah buat apa, Bang? Ulang tahunku, kan, masih lama."

Gilang mengedipkan matanya. "Emang hadiah cuma pas ulang tahun? Abang liat gelangnya cantik, cocok sama kamu."

"Aduh, jadi enggak enak. Terima kasih banyak, Bang."

"Iya, iya, buka dulu dong, dicoba mudah-mudahan pas."

Tyas pun membuka kotak berbungkus pink itu. Matanya seketika berbinar-binar. Gelang emas putih dengan desain cantik membuatnya terpana. Dia segera mencoba dan ternyata sangat pas.

Saat Tyas asyik mengagumi gelang, Gilang diam-diam mengeluarkan kertas terlipat. Dia membukanya dengan hati-hati, lalu memasukkan serbuk putih dalam kertas ke minuman Tyas. Begitulah hal kotor yang sering dilakukan pemuda itu apabila target tak bisa ditiduri dengan sukarela. Beberapa kali kencan dan ciuman yang gagal tadi, Gilang bisa menyimpulkan bahwa bujuk rayu saja tak cukup, harus dengan jebakan.

"Gelangnya emang cocok di kamu, tapi tuh es jeruk kamu udah meleleh, minum dulu gih," tegur Gilang.

Paijo yang duduk di meja sebelah menegang. Dia berpikir cepat bagaimana caranya mencegah Tyas meminum es jeruk yang telah dicampur entah obat apa. Gadis itu pasti tidak akan percaya jika ditegur. Salah-salah, Paijo malah diusir dari kafe.

Sementara itu, Tyas menyengir lebar. "Eh, iya juga, ya, Bang. Es batunya sampai udah ilang," ucapnya seraya meraih gelas di meja.

***