Diwaktu yang sama namun di tempat yang berbeda, Estevan yang telah melakukan joging pagi sudah sampai depan rumahnya. Dia memengang knopi pintu lalu melangkah masuk menuju ke dapur, dengan peluh yang masih menetes di dahinya. Estevan mengambil segelas air hangat lalu pergi ke kursi untuk duduk dan meminumnya.
Kerongkongan yang tadinya kering kini telah basah kembali dan untuk sejenak Estevan rehat sambil meluruskan kakinya. Sudah lima tahun sejak kepergian istrinya, Estevan selalu menghabiskan waktu paginya bukan hanya untuk sekedar olahraga saja.
Melainkan dia menjengung persinggahan terakhir istrinya yang berada tidak jauh dari rumahnya. Setiap pagi Estevan selalu keluar dengan memakai pakaian olahraga sebagai penyamaran agar orangtuanya tidak sedih melihat putranya yang setiap hari selalu pergi ke makan istrinya.
Setelah melepas penat, Estevan yang kembali bugar segera pergi kelantai atas untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Setelan jas berwarna biru tua telah melekat di tubuhnya, tak lupa pula sebuah dasi yang berwarna senada telah melengkapi penampilan Estevan pagi ini.
"Lihatlah kau, Estevan. Sangat tampan dan berwibawa." Estevan menatata dasi yang melingkar dilehernya sambil memuji-muji dirinya sendiri didepan cermin.
"Papa!" teriak anak kecil sambil membuka pintu dan berlari kearah Estevan.
Melihat anak tersebut Estevan langsung tersenyum lalu berbalik dan membuka kedua tangannya. "Anak papa sudah siap sekolah."
Tepat sebelah Noah memeluk Estevan, tubuhnya yang mungil di angkat lalu di gendong. Noah yang sudah memakai seragam dengan atasan berwarna kuning serta celanan bermotif kotak-kotak yang berwarna orange, langsung memeluk leher Estevan lalu mencium pipinya.
"Pasti saat Noah besar nanti, Noah juga ingin seperti papa tapi...." Noah menghentikan perkataannya dan wajahnya mulai nampak murung
Mendengar dan melihat Noah yang cemberut membuat Estevan bertanya, "Mengapa Noah sedih? Apa Noah perlu sesuatu?" Dengan lembut seraya menatap wajah anak semata wayangnya.
Noah yang awalnya menunduk perlahan mulai mengangkat wajahnya dan menatap Estevan. "Noah tidak suka kalau Tante Caroline ikut sarapan pagi bersama kita." Noah sangat membenci wanita tersebut karena dia tidak pernah bersikap baik kepadanya, hanya di depan Kakek, Nenek serta Ayahnya saja Caroline bersikap lembut kepadanya.
Estevan yang tidak peka kepada putranya hanya mengira kalau mungkin saja Noah tidak menyukai Caroline karena dia orang asing bagi Noah jadi Estevan tidak menanggapi perkataan Noah dengan serius.
"Benarkah? Tante Caroline ke sini? Kalo giti tante bawa apa ya kesini." Estevan menggendong putranya yang merengek tidak ingin ikut ke sarapan bersama.
Di depan meja yang penuh dengan makanan Estevan masih bersikap tenang karena yang diketahuinya adalah Ayah dan Ibunya tidak tidak menyukai Caroline dan Estevan juga mengangap alasan orangtuanya sama dengan Noah.
"Pagi om, tante dan juga jagoan kecil kita Noah," sapa Caroline yang baru saja tiba di ruang makan dan duduk tepat di depan Ayah dan Ibu Estevan lalu duduk di samping Estevan. Dengan memakai baju berana biru laut lengkap dengan riasan yang natrulah Caroline mencoba menyapa anak serta orang tua Estevan. 'Calon mantumu datang'
Caroline adalah salah satu model dimajalah harian yang cukup terkenal di Jakarta. Hubungan wanita berusia duapuluh lima tahun ini dengan Estevan yang berusia tigapuluh adalah sebagai sahabat yang dekat sejak kematian istri Estevan.
Ibu Estevan memutar bola matanya--malas. "Ya." Wanita yang telah beruban itu sangat malas melihat teman Estevan.
Begitu juga dengan Noah. "Jagoan kecil? Noah cuma milik Papa, oma dan juga opa bukan untuk orang seperti tante," ejek Noah yang menatap sinis kearah Caroline.
Caroline tersebut namun di dalam hati dia bergumam, 'Sabar ini semua demi Estevan. Aku harus tetap bersikap ramah pada anak kecil ini'
"Ssttt Noah tidak boleh berkata seperti itu," tegur Estevan dengan lembut kepada putranya yang berada tepat di sampingnya.
Noah memajukan mulutmua, melipat kedua tangannya di atas dada lalu membuang mukanya dan menoleh kearag Neneknya. "Papa sudah tidak sayang lagi sama Noah."
"Loh, papa 'kan cuma sayang dengan Noah saja," kata Estevan yang melihat Noah tengah merajuk kepadanya.
"Buktinna Papa malah membela dia dari pada Noah."
Sejujurnya melihat Noah yang sedang marah seperti ini membuat Estevan gemas namun dia harus menghilangkan perasaannya itu dan mengikuti permainan dari putranya. "Kalau begitu Papa harus bagaimana agar Noah tidak marah lagi."
"Telfon sekertaris Zefa sekarang juga," pinta Noah.
"Sekertaris Zefa?" Caroline bingung karena melihat Noah yang lebih memilih orang bernama Zefa dari pada dirinya.
Di kesempatan inilah Ibu Estevan mengambil keuntungan dari cucunya yang marah untuk membuat Caroline merasa panas. "Nah, benar apa yang dikatakan Noah, kalau bisa ajak juga sekertaris Zefa kemari."
"Apa?" Caroline juga terkejut melihat tanggapan Ibu Estevan mengenai Zefa.
Tidak hanya anaknya bahkan ibunya sendiri juga mengharapkan Zefa datang kerumahnya dan hal itu membuat Estevan kesal. 'Kenapa harus Zefa? Belum genap satu bulan dia bekerja denganku kenapa harus sekertaris berhati dingin itu yang dipilih?" Estevan mengerutkan dahi.
Noah yang masih membuang mukanya berkata, "Kalau tidak menghubungi tante Zefa, Noah tidak akan mau berbicara dengan Papa." Dibalik rajukannya itu, Noah sebenarnya juga ingin melihat ayahnya dengan dengan Zefa dari pada dengan Caroline.
'Ishh siapa sih wanita berana Zefa itu? Berani-beraninya dia merebut posisiku sebagai calon nyoya Estevan disini dan seharusnya yanh dicari itu, aku Caroline calon ibu sambunmu Noah' gerundel Caroline dafi dalam hati.
"Estevan, sebaiknya kau segera menghubungi sekertarus Zefa agar Noah tidak merajuk lagi." Ibu Estevan hanya ingin cucunya tidak marah dan juga ingin membuat wanita yang tengah marah itu semakin tambah marah.
"Cepat turuti kemauann anakmu, dulu saat kecil kau meminta sebuah mainan mobil-mobilan yang mahal lalu kami menurutinya. Apa kau juga tidak ingin melakukan hal yang sama untuk putramu yang hanya memintamu menelfon sekertaris Zefa?" sambung Ayah Estevan lalu menyeruput teh hangat.
Estevan tidak ingin menelfon wanita berhati dingin itu oleh karenanya dia membuat sebuah alasan yang masuk akal. "Mungkin saja dia sedang sarapan bersama keluarganya."
"Sekertaris Zefa tinggal sendiri di apartemen," jawab Ibu lalu memakam sesuap nasi.
"Apa? Ba-bagaimana mungkin Ibu bisa tahu?" Estevan terkejut.
Setelah menelan habis nasi yang dimulutnya Ibu berkata, "Sebelum kau pindah kesini Ibu sudah mengenalnya karena dia adalah sekertaris ayahmu juga."
"Meskipun semua karyawan menganggapnya sebagai wanita berhati dingin tapi sebenarnya dia hanyalah seorang wanita yang lemah, kau tidak tahu itu karena kau baru mengenalnya. Estevan," sambung Ayah.
'Aku yakin Zefa memiliki maksud tersendiri dengan bersikap ramah kepada Ayah dan Ibu' batin Estevan yang menuduh Zefa
"Kalau Papa tidak menelfon tante Zefa, Noah bakalan marah dengan Papa," marah Noah yang masih memalingkan wajahnya.
To Be Continued...