webnovel

Apologize

"Aku mencintaimu...."

"JOSHUA!" Tiba-tiba saja Zefa meembuka matanya dan terbangun dari tidurnya, nafasnya bergerak dengan cepat hingga membuatnya terengah-engah serta tangan kirinya yang terangkat seolah hendak menggapai sesuatu. Zefa sadar kalau suara bisikan yang baru didengarnya hanyalah sebuah mimpi dan halusinasi.

'Namun, suaranya jelas terdengar di telingaku.' Perlahan Zefa menurunkan matanya dan menatap cincin yang ada di jari manisnya. "Mengapa mimpi buruk ini selalu datang padaku?"

Zefa mengambil gelas air mineral yang berada di atas nakas lalu meneguknya dengan sangat cepat. 'Sudah seminggu sejak kejadian itu, dimana saat itu Pak Estevan dan Lucas datang kemari.' Zefa menurunkan kedua kaki ke atas dinginnya lantai.

Gelas yang di genggamnya di lempar begitu saja kearah dinding kamarnya, terdengar suara pecahan serta gelas yang dilemparnya hancur menjadi kepingan-kepingan kecil.

"Kalau kau mencintaiku seharusnya kau jangan meninggalkanku dan kau juga telah mengikat serta menutup mataku di dalam ruangan yang gelap." Zefa memandang datar pecahan gelas yang belum dibersihkannya akhir-akhir ini.

Zefa berdiri, kakinya yang telanjang melangkah melewati pecahan kaca yang sebagian bertebaran di depan pintu kamarnya. Jlep! Sebagian pecahan itu menancap di telapak kaki.

Zefa menyadarinya oleh sebab itu dia menghentikan langkahnya lalu mencabut pecahan tersebut dan membuangnya kearah pintu kamarnya. Sakit, perih terasa menusuk kakinya akan tetapi Zefa berfikir, 'untuk menghilangkan rasa sakit aku juga harus menyakiti dibagian lainnya agar rasa sakit itu tidak terasa.'

Jejak berwarna merah terlihat jelas di atas lantai yang putih. Zefa berjalan menuju ke dapur, bukan untuk memasak sarapan pagi namun mengambil sebuah susu pisang yang ada di dalam lemari pedingin lalu membawanya ke ruang tamu lalu duduk sofa.

"Menyedihkan sekali kehidupanku." Zefa menusuk kotak susu itu dengan pipet lalu mulai meminumnya. 'Sialan! Kenapa kau harus muncul ke dalam mimpiku.'

Langit yang belum sepenuhnya terang membuat Zefa dapat menghapuskan rasa sedihnya. Dia mengakat kedua kakinya lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.

Dengan tangan kirinya yang digunakan untuk bantalan kepala, Zefa mencoba memejamkan matanya lagi sambil menunggu sang mentari menampakkan cahaya. 'Aku garap semuanya akan baik-baik saja.'

Mulut Zefa yang jarang sekali tersenyum tiba-tiba saja mulai melengkung serta mulutnya juga bergumam, "Aku ingin semua ini hanya mimpi, sejujurnya dalam lubuk hatiku aku juga mencintaumu Singa kecilku, Joshua."

~

Pukul enam kurang sepuluh menit Zefa membuka matanya, dia sendikit bingung saat mengetahui tubuhnya yang sudah terbaring di atas sofa. Dia tidak mengingat dengan jelas apa yang terjadi, Zefa duduk termenung dan mencoba mengingat apa yang terjadi semalan.

"Apa yang terjadi semalam? Aku tidak ingat sama sekali." Zefa mengerahkan semua pikiranya untuk mengingatnya dan setelah berusaha cukup keras akhirnya potongan memori yang sempat hilang telah kembali.

"Benar, semalam aku melakukan tindakan yang menyedihkan seperti biasanya." Saat itu juga Zefa mengangkat kaki untuk melihat kondisi telapak kakinya. "Ishh lihatlah ini, bagaimana mungkin semalam aku tidak merasakannya."

Zefa menurunkan kakinya lalu berdiri dan berjalan dengan sedikit pincang ke arah rak sepantu untuk mengambil sendal. Setelah mendapatkan benda tersebut Zefa langsung memakainya dia langsung berjalan menuju kamar. Di sepanjang jalan dia melihat lantai yang penuh dengan jejak kalinya yang berdarah dan mengabaikannya.

Kebiasaan buruknya sebagai seorang wanita berkarir adalah malas memberikan apartemennya sendiri meskipun apartemen itu hanya kotor karena pecahan kaca. Sudah lima pekerja kebersihan yang membersihkan tempat ini selama beberapa tahun belakangan ini namun, mereka semua memilih berhenti karena tidak kuat melihat kamar Zefa yang selalu ada pecahan gelas ataupun peralatan lain di dalamnya.

"Ishh para pekerja ini malas sekali, kenapa mereka datang setiap dua hari sekali padahal aku sudah membayarnya dengan harga penuh," gerutu kesal.

Zefa membuka pintu kamarnya lalu mengambil gawai yang ada di meja riasnya, segera setelah menemukan kontak nama yang akan dihubunginya Zefa menarik ikon hijau lalu menempelkan gawainya ke telinga kiri.

Beberapa menit kemudian nama yang di telfon Zefa mulai tersambung. "Apa kalian sudah bangkrut? Atau kalian sudah mati? Bukankah kalian juga tidak buta dan dapat melihat kalau akh membayar jasa kalian dengan harga yang penuh? Jika kalian tidak membersihkan apartemen ini setiap hari aku pastikan dalam waktu dua puluh empat jam perusahaan kalian akan gulung tikar," ucap Zefa yang mengutu jasa pembersih rumah itu.

"Ba-baik, pukul tujuh kami akan kesana," jawab pihak yang ditelfon Zefa.

Setelah mendengar jawabannya Zefa langsung mematikan telfon secara sepihak lalu menjauhkan gawai dan menatap layarnya. "Ck. Menyebalkan."

Zefa meletakakan gawainya kembali ke tempat semula lalu bersiap-siap untuk berangkat bekerja.

~

Dengan memakai kemeja cream sera celana berwarna hitam lengkap dengan hiasan wajah yanh natural, rambutnya yang dikuncir kuda serta sepatu heels yang sudah terpasang kakinya membuat penampilan Zefa sangatlah sempurna, tak lupa dia menyemprotkan parfum vanila ke seluruh tubuhnya dan bersiap untuk berangkat bekerja.

Seperti janji yang pernah diucapkan kepada Agus bahwa dia akan menjadi pelanggan setia cafe miliknya, tempat yang dituju Zefa saat ini adalah cafe milik Agus. Pagi ini jalanan masih terasa sepi karena hanya ada anak sekolah yang berlalu-lalang melewati mobil hitam miliknya.

Tepat di pemberitahuan lampu merah Zefa melihat pasangan muda-mudi yang sedang menaiki matic, meskipun berbeda namun saat melihat kedua pasangan itu mengingatkannya pada kenangan dimana dirinya dan Joshua sedang menaiki motor berdua.

"Kenangan yang manis dan pahit," gumannya sambil meremat kemudi mobil serta menatap dingin pasangan di depannya.

Lampu hijau sudah menyala, Zefa menyalakan klakson mobil untuk membuat kedua pasangan di depan segera menyingkir dari depan mobilnya. "Dasar beban keluarga." Zefa melihat wanita yang sedang membongceng itu menoleh kearah Zefa lalu tersenyum dan menjulurkan lidahnya.

Merasa dihina, Zefa menjilat jari tengannya lalu mengeluarkan ke luar jendela lalu mengacunngkannya. "Makan tuh cinta." Segera setelah memihat tindakan yang dilakukan Zefa, mereka berdua langsung melajukan motonya. Saat ini Zefa cukup puas karena telah meluapkan amarahanya kepada anak berseragam putih abu-abu itu, dia menginjak gas dan melanjukan perjalannya menuju cafe Agus.

"Pukul enam tiga lima, aku masih punya waktu beberapa menit lagi untuk pergi ke kantor." Zefa menurunkan tangan yang awalnya diangkatnya saat hendak melihat jam arloji lalu mulai fokus dengan jalan di depannya.

To Be Continued