"Bagaimana hari ini?" tanya Mas Anton sembari mengambil posisi duduk di tepi meja makan, berhadapan dengan beberapa menu yang baru saja ku hidangkan.
Aku yang turut duduk segera menimpali. "Tidak banyak yang terjadi. Aku hanya berdiam di rumah, Mas," ucapku.
Kulihat Mas Anton mengangguk paham. Tentu pria di depanku ini harusnya sadar, jika bukan hal yang mudah untukku beradaptasi dengan lingkungan baru. Terlebih, bukan hanya sejak dua kali aku mengeluhkan soal tetangga baru. Terakhir tentang jemuran yang aku minta untuk dipindahkan ke halaman belakang setelah teguran Bu Rani waktu itu.
"Apa kau memesan makanan lagi malam ini?" tanya pria di hadapanku sembari menerima piring berisi nasi.
Pelan aku mengangguk. "Ya. Habisnya aku bingung mau belanja di mana, Mas," ujarku terdengar seperti keluhan. "Aku bahkan hampir tidak berani keluar menyapa para tetangga." Aku melanjutkan, kali ini diakhiri dengan helaan napas panjang.
"Kau harus membiasakan diri, Sayang." Mas Anton menatap mataku dengan lembut. Sepertinya pria itu tahu betul jika tatapan salah satu cara terampuh untuk membujuk istrinya dalam situasi seperti ini.
"Bukankah akan semakin sulit beradaptasi jika terus menahan diri seperti itu? Apa kata tetangga jika kamu tidak pernah keluar rumah?"
Aku menarik napas dalam, lalu membuangnya dengan sedikit kasar. "Siapa peduli dengan apa yang orang lain katakan?" ujarku ketus, tapi tangan tetap menyendok lauk untuk pria yang sangat aku cintai.
Mendengar penuturanku barusan, bisa kulihat Mas Anton hanya bisa menggeleng pelan. Sepertinya ia tidak menyangka jika aku sulit beradaptasi. Namun mau bagaimana lagi, rupanya memang tidak semudah yang dibayangkan.
"Sayang." Kali ini Mas Anton meraih tanganku lembut, seolah mengabaikan piring dengan makanan yang siap disantap. Pria di depanku menatap dengan lekat, mencoba menautkan mata, tapi yang terjadi malah aku tersipu dengan pipi yang perlahan merona.
"Bukankah mama bilang jika kita harus ramah dengan tetangga?" tanya suamiku. Menjawab pertanyaan itu tentu aku segera mengangguk, masih ingat betul wejangan yang mama lontarkan berulang sebelum pulang.
Masih dengan tatapan yang sama, Mas Anton tersenyum. "Kalau begitu, kenapa istriku takut untuk bergaul dengan para tetangga, hm?"
Aku terdiam sejenak. Namun lagi-lagi menghela napas panjang. "Mau bagaimana, Mas? Habisnya aku memang benar-benar belum bisa terbiasa jika tidak ada Mas Anton," keluhku jujur.
Mendengar itu, Mas Anton terlihat ikut berpikir. Ya, dia memang pria yang sangat pengertian padaku. Meski aku tahu jika yang dia harapkan adalah aku yang berbaur dengan lingkungan. Namun lihat, suamiku seperti tengah memikirkan solusi terbaik untuk kami semua.
"Kalau begitu ..." Benar, kan. Mas Anton pasti akan mengusulkan sesuatu. "Bagaimana kalau besok kita pergi belanja bersama? Mas besok libur."
Suamiku benar-benar pria terbaik. Ia tidak hanya menuntut, tapi juga mau mengerti apa yang istrinya rasakan.
Untuk beberapa saat aku menimbang. Tidak menolak ataupun mengiyakan. Akan tetapi setelah dipikir, rasanya saran dari Mas Anton ada baiknya juga. Aku harus berbaur, dan satu-satunya cara adalah dengan dibantu oleh suamiku tercinta.
Akhirnya aku mengangguk setuju. "Baiklah jika suamiku yang meminta," ucapku dengan nada menggoda. Tentu saja, pria di depanku hampir kehilangan wajah tenangnya. Mas Anton salah tingkah, dan aku sangat menikmatinya. Ah, tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaanku terhadap pria yang satu ini. Selain cinta, apalagi?
"Kalau begitu, kita selesaikan makan malam sekarang?" tanya Mas Anton. Namun hanya aku yang merasa, ataukah kini tatapannya beralih menggoda?
Kedua mataku memicing. "Sekarang? Bahkan nasi di piring belum Mas sentuh sama sekali," ujarku sembari menunjuk piring dengan isi yang masih utuh. Bagaimana bisa makan malam diselesaikan sekarang.
Akan tetapi bukannya menjawab, kulihat Mas Anton malah mendekat, memajukan wajah melewati beberapa hidangan di atas meja. Dengan nakal pria itu berbisik, "Sepertinya aku berubah pikiran ingin melahapmu sekarang, Sayang."
Deg! Rasa-rasanya jantungku hampir mencelos dari tempatnya. Bagaimana bisa satu kalimat seperti itu membuatku mematung di tempat? Sementara Mas Anton semakin mendekatkannya wajah, aku hanya bisa terdiam dengan napas yang tertahan. Tuhan, mungkinkah rendang yang aku beli malam ini menjadi saksi dari cinta kami?
Pelan tapi pasti, sebuah kecupan ringan mendarat di bibirku yang masih basah dengan lipbalm. Jantungku gusar, genderang mengusir kupu-kupu untuk berterbangan di dalam sana. Hatiku benar-benar terasa tidak karuan.
"Kau sangat cantik, Mayangsari," ucap suamiku dengan lirih, tapi tekanannya mampu membuat jantungku tak berirama.
Seolah belum cukup mengecup bibir, kini Mas Anton beralih mengitari meja makan, menghampiriku yang masih mematung di tempat. Jas yang masih dikenakannya segera tanggal, tersampir di atas kursi begitu saja.
Mas Anton meraih tubuhku, menariknya dalam pelukan, hingga akhirnya berakhir duduk di atas meja makan. Tangannya bergerak masuk ke dalam piyama yang ku kenakan. Sementara bibir kami sudah saling bertaut. Seperti benar, kami akan kenyang dengan saling melahap seperti ini. Aku tidak peduli bahkan jika Mas Anton belum mandi sepulang kantor tadi.
Perlahan tangan Mas Anton meraih pundak, menurunkan tali baju yang ku kenakan. Lalu aku? Tentu hanya pasrah menerima sentuhan memabukkan dari pria ini.
Hingga tiba-tiba ... "Mba Sari!" suara pintu yang terbuka dengan panggilan keras membuat kami kalang kabut.
Dengan cepat Mas Anton melepaskan tangannya dari tubuhku. Suamiku langsung terduduk salah tingkah, sedangkan aku bergegas turun dan membenarkan baju yang hampir terlepas. Kami benar-benar panik. Terlepas dari seseorang yang masuk tanpa permisi, aku lebih takut jika kepergok tengah bermesraan dengan suami.
"Iya, sebentar," ucapku gugup dari dalam. Jika ditebak dari suaranya, itu pasti tetangga sebelah rumah.
Benar saja, begitu aku keluar, Bu Rani sudah tersenyum tanpa dosa di ruang tamu.
"Aku sudah memanggil di luar dari tadi, tapi tidak ada jawaban. Eh pintu tidak terkunci, akhirnya aku masuk saja. Takut terjadi apa-apa dengan kalian," jelas wanita di depanku tanpa diminta.
Untuk beberapa saat aku masih mencoba untuk tenang. Jujur tadi sangat mengejutkan hingga aku tidak mempermasalahkan Bu Rani yang datang dan masuk seenaknya.
Setelah dirasa cukup tenang, aku tersenyum canggung. "Ada apa ya, Bu? Datang malam-malam begini?" tanyaku.
"Oh, iya!" Bu Rani seperti baru mengingat sesuatu. Tak lama ia melanjutkan, "Aku mau meminjam gula dua sendok. Suamiku baru pulang dan minta kopi. Tapi aku lupa gula ternyata habis. Mau ke warung malas sudah malam. Apa kau punya gula yang bisa kupinjam?"
Astaga. Aku tidak salah dengar, kan? Bu Rani tiba-tiba masuk hanya untuk meminjam gula?
Namun aku yang tidak ingin berlama-lama berbincang segera mengangguk. "Sebentar aku ambilkan."
Tak lama aku kekuatan dengan gula pasir seperempat kilo sisa stok yang ku siapkan. Tidak masalah memberinya lebih asalkan Bu Rani cepat pulang dari rumah kami.
Beruntung, setelah mengucapkan terima kasih wanita itu pulang. Katanya suaminya sudah menunggu di rumah.
Aku yang merasa lega segera berlalu menutup pintu dan memastikan menguncinya rapat. Sial sekali kami harus berhenti karena tetangga yang masuk rumah tanpa permisi.
"Ah, mengejutkan sekali," gumamku pelan.
Setelahnya aku kembali ke ruang makan. Apakah kami akan melanjutkan yang tadi tertunda?
Sepertinya belum sekarang. Sebab begitu aku masuk, suamiku nampak tengah menyantap makan malam dengan lahap.
"Aku benar-benar lapar setelah 'itu' tidak diselesaikan tadi," ucap Mas Anton, ia merajuk.
Aku meringis, menghela napas dan meminta maaf. "Akan aku pastikan pintu terkunci rapat lain kali, Mas."