''Semua ... sudah aku pijitin, Bang.''
''O, ya ...'' Bang Sam membalikkan tubuhnya, ''bagian depannya belum,'' imbuhnya.
''E ...''
''Kamu tidak keberatan, 'kan?''
''Mmm ...''
Aku terdiam menatap hamparan pemandangan yang begitu indah tercermin di mata. Bahkan terlalu sayang bila dilewatkan meski hanya satu kedipan.

''Tanggung kalau hanya bagian belakang, jadi kuharap kau mau juga memijit saya bagian depan.''
''Ba-baiklah ...''
Bang Sam mengangkat kedua tangannya. Membuka ketiaknya lebar-lebar hingga menunjukan rambut-rambut halus yang tumbuh di sana. Cukup lebat. Bagai rerumputan di padang savana. Hitam pekat. Lurus bergerombol.
''Ayo, pijitlah, Sayang ...''
''I-iya ...''
Bang Sam memejamkan kedua kelopak matanya saat aku mulai membalurkan minyak gosok di wilayah dadanya. Dengan penuh penghayatan. Lembut tapi bertenaga, aku mengusap daging gempal yang terbentuk kokoh membusung. Bidang. Seperti dua roti bantal. Empuk, sekal dan kenyal.
''Darimana kamu memelajari teknik memijat seperti ini, Vo?''
''E ... a-aku ... Cuma autodidak ...''
''O, ya ... kok bisa seenak ini? Hebat!''
''Hehehe ... Abang, terlalu berlebihan memujinya.''
''Tidak. Saya serius. Pijitan tangan kamu tuh, nikmat! Seperti pijitan para terapis yang sudah profesional.''
''Hehehe ... Abang bisa aja!'' Aku tersenyum. Tersipu malu-malu.
''Teruskan, Sayang!''
Aku mengangguk pelan.
Bang Sam menarik napasnya dalam-dalam, ketika telapak tanganku menyentuh kedua lingkaran putingnya yang kemerahan. Di pinggirannya terdapat beberapa rambut halus yang tumbuh memanjang dan kasar. Setiap aku mengusap bagian itu, tubuh Bang Sam bergidik. Menggelinjang seperti tersengat aliran listrik.
''Hmmm ... enak, Vo!'' desah Bang Sam manja.
Dari dadanya, tanganku turun ke bagian perutnya. Kemudian pusar dan pubisnya. Dengan rasa yang gemetar aku mengurut lembut bagian-bagian itu. Jantungku terasa berguncang lebih kencang saat aku mulai menekan dan memijit area paha bagian luarnya. Aku tercengang karena ada yang berdiri menjulang membentuk tenda di balik kain sarung. Mungkinkah itu batang kontol Bang Sam yang sedang terangsang. Mengeras dan memanjang? Ngaceng tak terkendali, diam-diam tak mau bilang-bilang.
Aku jadi menghentikan kegiatan memijitku. Aku tak kuasa untuk melanjutkannya. Tubuhku sudah gemetaran tak karuan. Panas dingin seperti dispenser.
''Vo ... kenapa? Kok diam? Ayo lanjutkan lagi!''
''Ti-tidak, Bang ...''
''Ada apa?'' Bang Sam bangkit dari pembaringannya dan mendekatiku.
Dengan lembut ia menarik daguku dan menatapku dalam-dalam.
''Kamu kenapa, Vo ... kok, jadi aneh gini?''
Aku terdiam dengan kondisi bibir yang gemetar.
''Apa kau menyukai saya?''
Aku menggeleng dan merunduk.
''Jangan membohongi dirimu sendiri, Vo ... saya tahu kamu memendam rasa suka kepada saya, iya, 'kan?'' Bang Sam mengangkat daguku dan memaksaku untuk menatap matanya yang berbinar-binar.
''Tidak ... itu tidak benar!'' tukasku sembari menarik diri dan menjauhi tubuh Bang Sam.
''Vivo ... mendekatlah!''
Aku terdiam dan tak mau melihatnya.
''Oke ... tidak perlu takut, Vo ... sorry, bila aku salah menduga. Namun, perlu kamu ketahui apa pun keadaan dirimu, saya akan selalu meyayangimu, Vo ...''
Bang Sam menghampiriku, lalu tanpa ragu dia mengecup pipi dan keningku. Aku jadi tak berkutik. Tubuhku seolah terpenjara dalam dinding kaca. Terlindungi meskipun aku tak dapat menyentuh. Terlihat namun tak dapat melakukan apa-apa. Aku dan Bang Sam jadi saling mematung. Berdiri di tempat masing-masing. Tanpa bergerak sedikit pun.
''Se-sebaiknya ... aku keluar ...'' ujarku gugup seraya membalikkan tubuhku dan bersiap-siap hendak membuka pintu kamar. Namun dengan cepat Bang Sam menubrukku dan memelukku dari belakang.
''Jangan pergi, Vivo ...'' desah Bang Sam sambil mencumbui diriku. Menjilat leherku. Mengecup pipiku dan mencium bibirku.
Bang Sam melumat halus daging bibirku dengan penuh perasaan. Lembut. Hangat. Nikmat. Ini ciuman yang sama rasanya seperti dalam mimpiku. Ciuman mesra yang penuh kesyahduan. Ciuman yang mampu menggeliatkan jiwa dan ragaku.
''Bang ... apa yang kau inginkan dariku?'' Aku melepaskan ciumannya dan memalingkan mukaku.
''Lihatlah saya!'' Bang Sam memutar balik tubuhku.
Aku tak berani menatapnya.
''Vivo ... lihatlah!'' Bang Sam melepas kain sarungnya. Membiarkan sekujur tubuhnya terbuka. Menampakan keindahan tubuh seluruhnya. Membiarkan tubuh telanjangnya menjadi tontonan gratis buatku. Tontonan segar yang membuat jantungku berdebar-debar. Hebat. Aku tak pernah menyangka, Bang Sam akan berbuat seperti itu. Nekat.
''Mendekatlah!'' Bang Sam menarik lenganku dan merapatkan tubuhku ke tubuhnya.
''Pegang!'' Bang Sam menuntun tanganku untuk menjamah perkakas pribadinya.
Dengan gemetar aku memegang kontol Bang Sam. Panas. Keras. Mengganas. Kedat-kedut. Seolah tak sabar ingin diseruput.
''Sepongin!'' Bang Sam menekan kepalaku agar turun merunduk hingga tubuhku terjongkok. Wajahku tepat menghadap organ kelaminnya yang sudah ngacung bagai penunjuk arah.
Aku memperhatikan dengan seksama benda bulat panjang yang menggantung di selangkangan Bang Sam. Ukurannya standar, namun tebal dan kencang. Seperti buah pisang. Batangnya lurus penuh dengan urat-urat yang kehijauan. Kepalanya merona. Mengilap seperti buah apel. Jembutnya sangat rimbun. Seperti hutan belantara. Menutupi kedua bijinya yang bergelayutan seperti buah salak. Mulutku jadi kedutan seolah tak sabar untuk melumatnya.
''Buka mulutmu, Vo!'' komando Bang Sam seraya mengarahkan batang kontolnya ke organ oralanku.
Meski ragu akhirnya aku membuka mulutku, lalu tanpa banyak kata aku pun segera mencaplok kontol Bang Sam. Hmmm ... yummy. Pelan-pelan aku mengisap dan mengulum kontolnya hingga tubuh Bang Sam merinding kelojotan. Matanya merem melek. Otot-otonya meregang dahsyat.
''AAAAAACCCCKKKKHHHH .... Enakssss ... Sayanggggssss ...'' desis Bang Sam merancau.
Mendengar rancauan Bang Sam aku jadi semakin bersemangat untuk memanjakan kontolnya. Kujilat kepalanya. Kuusap manja batang beruratnya. Kugigit gemas biji-biji pelernya. Hingga laki-laki berbadan kekar ini menggelinjang tak karuan. Merasakan sensasi-sensasi kenikmatan yang bertubi-tubi.
''WIK WIK WIK WIK ... AH ... AH ... AH ... OH ... OH ... OH ...''
Hanya suara desahan kenikmatan yang terdengar dari mulutnya yang menganga.
Aku terus mengerahkan seluruh kemampuanku dalam mengeksekusi alat kelamin laki-laki. Hingga aku merasakan tubuh Bang Sam mengejang hebat. Dalam tubuhnya seolah ada badai topan yang mangamuk. Bergemuruh kuat ingin menerjang. Menggulung dan memporakporandakan ketenangan jiwa yang tercemar nafsu syahwat.
''AAAAACCCKKKHHHHH ....''
Bang Sam menjerit. Ia menarik kontolnya dari dalam mulutku. Kemudian dengan gesit ia mengangkat tubuhku dan melucuti semua pakaianku. Hingga aku bugil. Tak ada sehelai pun benang yang menempel di tubuhku. Kini aku dan Bang Sam sama-sama telanjang. Sama-sama dikuasai ke-horny-an. Sama-sama sange. Sama-sama ingin menumpahkan lahar yang sudah berada di ujung kawah.

Tubuhku dan tubuh Bang Sam saling menempel. Saling menggesek. Saling mencumbu. Menyerang dan merangsang. Bergulingan. Bergulung-gulung. Seperti ombak yang menghantam karang.
Kebringasan tubuh Bang Sam bertemu dengan ketenangan tubuhku. Bersatu padu. Bagai angin lesus bertemu badai salju. Membelah lautan. Mencipta gelombang kenikmatan. Saling mencengkram. Merampok. Memburu. Membentur dan meringsek. Hingga kami berdua merasa ada yang hendak meledak. Menggetarkan seluruh sendi-sendi tubuh. Kami mengerang. Sama-sama memekikan suara kemesuman.
''AH ... AH ... AH ...''
Gunung berapi itu pun akhinya marah. Memuncratkan sebagian isinya. Menyemburkan magma putih yang menyebar bersama derasnya keringat membasahi tubuh. CROOT ... CROOT ... CROOOT ... CROOT ... Kami sama-sama menang. Sama-sama ngos-ngosan. Sama-sama puas. Sama-sama lemas. Sama-sama terkapar bermandi peluh.
OH ... AH ...
''Saya sayang kamu, Vo ...'' Bang Sam mengecup bibirku sebelum mengakhiri pergulatan ranjang yang penuh sensasi ini.
''Aku juga sayang, Abang ...'' balasku.
Aku termangu tak berdaya. Karena apa yang kualami ini bukanlah sebuah mimpi. Ini kenyataan. Bahwa aku telah bercinta dengan Bang Sam, Ayah Tiriku, Idolaku. Unbelievable!