webnovel

Part 35 : Mengalah

Suasana di ruang tidur ini hening. Tembok dan seluruh ornamennya bungkam. Menutup rahasia yang telah mereka saksikan. Menyaksikan ganasnya perang ranjang. Antara dua insan. Antara Si Ceking dan Si kekar. Antara Ayah dan anak tirinya. Antara aku dan Bang Sam.

''Vivo, maafkan saya ... karena telah memaksamu berbuat demikian.'' Bang Sam mengusap lembut pipiku.

Aku hanya menatap pancaran bola mata lelaki di hadapanku ini yang tampak jernih. Seperti kristal suci yang tak pernah ternoda. Meneduhkan sekaligus menghanyutkan.

''Kau boleh membenci saya, bila kau tidak menyukainya ...''

''Aku suka, Bang, tapi ... bagaimana perasaan Ibuku bila seandainya beliau tahu.''

''Ibumu tak perlu tahu, Vivo ... biarlah ini menjadi rahasia kita berdua.''

Aku terdiam dan menggigit pelan bibirku. Pandanganku terpekur menatap lantai.

''Vivo, berjanjilah kau tidak akan menceritakan hubungan kita kepada siapa pun, terlebih pada ibumu ...''

Aku perlahan mengangguk. Menyetujui. Akan menyimpan rapat-rapat rahasia hubungan kasih ini. Seperti aib yang tak perlu digemborkan. Biarkan terkunci di tempatnya. Di dasar hati. Tersimpan rapi bersama perjalanan waktu yang tak pernah mengingkari.

''Aku sayang kamu, Vivo ...'' Bang Sam mengecup bibirku dan mengulumnya perlahan-lahan. Sikap Bang Sam memang benar-benar manis. Mampu membuaikan pikiran dan rasa ketakutanku.

Untuk beberapa saat kami kembali bergumul dalam atraksi ciuman hangat yang penuh dengan kenikmatan. Membangkitkan gairah yang sempat meredup. Membakar gejolak yang hampir padam.

Tok ... Tok ... Tok!!!

Ketika kami mulai melancarkan serangan ranjang ronde kedua, kami dikejutkan dengan suara ketukan pintu rumah. Awalnya kami menghiraukan suara itu. Namun semakin kami tidak menggubris, suara ketukannya semakin keras. Hampir menggedor-gedor. Hingga akhirnya aku dan Bang Samsung memutuskan untuk menunda gerilya peperangan ini.

''Vivo, kenakan pakaianmu!'' titah Bang Sam. Aku menurutinya. Sementara Bang Sam sendiri langsung mengenakan kain sarungnya kembali untuk menutupi separuh tubuhnya. Terutama daerah pusar hingga lutut.

Setelah aku berpakaian lengkap. Aku bergegas keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang depan. Kemudian dengan sigap aku membukakan pintunya yang sedari tadi terketuk tanpa henti.

''KLIK!'' Pintu rumahku terbuka. Dan aku langsung menyaksikan kemunculan sosok tubuh seorang wanita. Tinggi semampai berbadan sintal. Aku jadi tercengang karena aku tahu sosok di depanku ini merupakan ibuku.

''Lagi pada ngapain aja sih, di dalam. Lama banget membuka pintunya!'' gerutu ibuku langsung dengan oktaf yang lumayan tinggi.

''Maafkan Vivo, Ibu ... Vi-vivo tadi lagi ada di toilet,'' sergahku beralibi. Berusaha bersikap tenang. Mengutarakan dengan mimik kejujuran untuk menutupi kebohongan. __Maafkan aku, Ibu, karena aku pandai berakting.

Ibuku mengernyit. Memperhatikan raut wajahku yang sudah kemerahan. Kacau dan tertekan.

''E ... kenapa Ibu pulang lebih awal? Bukankah seharusnya Ibu baru pulang besok pagi?'' ujarku untuk mengalihkan perhatian Ibu.

''Acaranya dipercepat. Lagipula perasaan ibu lagi tidak enak, jadi ibu memutuskan untuk pulang lebih awal,'' jawab Ibu sembari menyerahkan sebuah tas yang berisi sejumlah barang ke tanganku.

''Oh ...''

''Iya ...''

''Ibu, ini apa?'' Aku menjinjing tas yang diberikan Ibu.

''Oleh-oleh khas dari Semarang. Lumpia dan bakpia.''

Aku mengernyit dan manggut-manggut seraya memperhatikan oleh-oleh ini yang terbungkus rapi di kardus.

''O, ya, Vo ... di mana Ayahmu?'' tanya Ibu.

''Ada ... di kamarnya, Bu ...'' jawabku.

Ibu mengangguk dan tersenyum, ''Oke, Ibu temui Ayahmu dulu, ya!'' ucap Ibu sembari mengelus pipiku. Lembut. Penuh kasih dan sayang. Membuatku jadi terenyuh. Merasa sangat bersalah. Durhaka.

''I-iya, Bu ...''

Ibu berjingkat menuju ke kamarnya. Menemui Bang Sam. Suaminya. Selanjutnya aku tidak tahu apa yang terjadi di sana. Aku cuma mendengar suara cekikikan mereka. Renyah. Kriuk-kriuk. Wik wik wik wik. Penuh canda tawa. Namun itu semua malah membuat hatiku jadi terluka. Tawa mereka seolah duri sembilu yang menyayat-nyayat pedih perasaanku. Perih dan lara.

Dan tanpa aku sadari, aku menitikan air mata. Aku menangis karena merasa dipermainkan oleh ombak kehidupanku sendiri. Terombang-ambing tak jelas di lautan asmara terlarang. Cinta segitiga antara aku, Ibuku dan Ayah Tiriku. Entahlah, apa yang musti aku lakukan. Memperjuangkan cinta ini atau menyerah tanpa permisi. Biarkan aku kalah dalam eligi cinta begini. Membiarkan kebahagiaan seutuhnya untuk Ibuku sendiri.

Termenung Jauh

Termenung Jauh

Terkenang Ibu Yang Selalu Memanjakanku

Termenung Jauh

Termenung Jauh

Terkenang Ayah Yang Selalu Membanggakanku

Termenung Rindu,

Kau Bimbing Aku Meraih Cita Kau Tuntun Aku Mengukir Dunia Kau Yakinkan Ku Mengenal Rasa Keimanan Serta Keikhlasan,

Perjuanganmu Tiada Terbatas Pengorbananmu Tiada Terbatas Kasih Sayangmu Tak Tergantikan Selamanya Di Dalam Hati Ku,

Hanya Doa Slalu Ku Panjatkan Untuk Ayah Ibu Ku Tersayang,