webnovel

Anindira

Cinta buta dan tuli, tak bisa membaca situasi... Cinta datang dari hati, siapapun tidak dapat menghindari Walau kadang .... Cinta tidak harus memiliki, melihat orang yang sangat di cintai bahagia itu sudah cukup untuk kita mengerti, bahwa bahagianya bukan bersama kita. *** Sebuah perjalanan untuk mendapatkan cinta sejati, penuh pengorbanan bahkan selalu dipermainkan keadaan. Harus mengorbankan Rey, hingga terjerat ke kehidupan Ezza yang membuat Dira berantakan. Menjauh dari Ezza, Kin membawa Dira ke kehidupan yang panjang. Penuh liku, tangis, luka dan air mata. Bukan tidak saling mencintai, juga bukan Kin tidak memperlakukan Dira dengan baik, tapi keadaan yang membuat mereka saling tersakiti. Kehidupan, permainan hati, cinta dan keikhlasan Sungguh rumit ... UNTUK PEMBACA 18+

Yanti_Wina · 现代言情
分數不夠
288 Chs

Melepaskan Rey

"Dira... Saya tau kesulitanmu akhir- akhir ini. Bagaimana kalau saya menawarkan bantuan untukmu? tapi, tentu itu semua tidak gratis."

Seorang wanita paruh baya duduk di kursi kebesarannya menatap Dira yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, Dira sedang berada di kebimbangan dan juga berada di jalan buntu yang pada akhirnya terlihat ujung yang curam semua.

Tabungannya untuk masa depan dia dan Rey telah terkuras habis untuk pengobatan Rey yang tidak kunjung membaik, rumah bahkan aset yang lainnya juga telah habis tidak tersisa, segala macam cara telah Dira lakukan, bekerja dimalam hari juga di kerjakannya namun, semua itu tidak cukup,

"Saya tidak punya apa- apa untuk membalasnya bu," Jawab Dira menatap atasannya,

"Bercerailah dengan suamimu dan menikahlah dengan anak saya! Saya akan jamin pengobatan suamimu sampai tuntas." Bagai di sambar petir di siang bolong mendengar tawaran atasannya itu. Apa dia sudah gila? Menyuruh orang bercerai dengan gampangnya.

"Tapi saya sangat mencintai Rey..." Jawab Dira, airmatanya seketika keluar,

"Kamu mau mempertahankannya namun tidak bisa membuatnya sembuh, kamu mau kehilangan dia? bukankah dengan tawaran saya barusan adalah jalan terbaiknya?" Suara lantang atasannya lagi- lagi membuat Dira sakit,

Sejenak Dira tertegun dengan kata- kata Bu Maya atasannya, "Apa alasan ibu memilih saya menjadikan saya istri dari anak ibu?" Dira menatap penuh tanya, kenapa tidak mencari wanita yang satu level dengan keluarganya? atau wanita yang tidak berkeluarga? Kenapa harus dirinya?

"Karena kamu kandidat terbaik dari semuanya." Jawab Maya. Dira terbengong mendengar Jawaban atasannya, yang menurut dirinya tidak masuk akal.

"Saya memberimu waktu satu minggu, kamu tinggal pilih, mengorbankan perasaanmu atau nyawa orang yang kamu cintai?" Dira membeku mendengar ucapan atasannya yang memang masuk akal, tapi... meninggalkan cinta pertamanya dan suaminya adalah hal yang tersulit dan tidak pernah Dira bayangkan sebelumnya.

"Akan saya pertimbangkan bu... Permisi," Maya mengangguk dan mempersilahkan Dira keluar  dari ruangannya.

Dira berjalan seperti orang linglung, yang Dira lakukan hanya menundukan kepalanya melihat ke lantai.

"Kamu baik- baik saja Ra?" Nida sahabat sekaligus saudara satu- satunya, mendekat kearah Dira,

Dira menatap Nida, malah balik bertanya, "Apa salah jika aku pada akhirnya melepaskan Rey?" Nida memeluk Dira dan mengusap punggungnya,

"Kamu sudah berusaha Dira... Ibu Rey juga tidak peduli, jika kamu sudah tidak sanggup menanggungnya, berhentilah!" kata Nida.

"Aku akan meninggalkan Rey Nid, jika memang akan membuatnya hidup kembali." Nida mengerutkan keningnya,

"Apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Nida, merasa sangat kasian dengan apa yang di alami Dira.

"Mungkin aku akan terima tawaran si Bos," Dira menundukan kepalanya,

"Si Bos menawarkan apa?" Nida sangat penasaran, "Memberi kehidupan untuk Rey dengan menjamin kesehatannya," jawab Dira

"Aku pulang duluan Nid, mau ke temu Rey," Dira membereskan mejanya kemudian mengambil tas lalu di taruh di bahunya.

"Okey... sampai ketemu besok Dira," Dira mengangguk dan berlalu dari hadapan Nida.

Turun dari taxi, Dira berjalan menuju ruang ICU tempat Rey terbaring dengan berbagai alat medis di tubuhnya.

Dira masuk dan duduk di samping Rey, meraih tangan Rey dan mengusapnya,

"Rey... Hubungan yang kita rencanakan dan tertata rapih berakhir seperti ini, tapi... Aku masih mau berjuang untukmu, selama aku bisa, aku tidak akan membiarkanmu seperti ini...

Rey... Tidakkah kamu tau, kalau aku merindukan kebersamaan kita, rindu suaramu, rindu manjamu dan rindu tawa indahmu,

Rey... Tidakkah kamu tau segala cara telah aku lakukan untuk kesembuhanmu dan mungkin ini jalan terakhir kita, semoga jika suatu saat nanti matamu terbuka, kamu mau menerima kehidupan barumu tanpa aku,

Semoga kamu bahagia Rey, cepat sembuh!"

Dira mengajak Rey bicara walaupun Rey tidak merespon apapun. Dira mengecup kening Rey, lalu keluar dari ruangan Rey menemui Dokter yang menangani Rey.

"Dokter apa ada jalan lain selain operasi? Karena untuk operasi lagi, biayanya tidak sedikit," Dira mencoba bernegosiasi, dokter Aldi tersenyum menatap Dira, lalu menggelengkan kepalanya,

"Sayangnya tidak bisa Dira, suamimu harus cepat di tangani, kalau selama satu minggu ini tidak ada tindakan lanjutan, pengobatan sebelumnya akan sia- sia." Dira menarik nafas berat.

"Baiklah dok, terimakasih. Akan saya usahakan." Dira terlihat lesu.

Dira berjalan gontai menyusuri lorong rumah sakit, mengingat kondisi Rey yang mirip mayat hidup, membuat hati Dira sesak. Air matanya yang tiba- tiba jatuh, di usapnya dengan kasar.

"Rey apa ini memang jalan hidup kita? Tuhan akan memisahkan kita pada akhirnya. Ini sangat sulit Rey... Ma'af jika aku tidak bisa memperjuangkan untuk selalu bersamamu, tapi setidaknya aku memperjuangkan hidupmu." Gumam Dira,

Dira naik taxi pulang ke Apartemen kecilnya  satu- satunya yang tersisa, setelah rumah masa depan Dira dan Rey di jual untuk biaya pengobatan Rey.

Dira menangis meluapkan beban berat yang ditahannya selama ini, beban yang ditanggungnya sendiri.

Sempat datang kerumah orang tuanya Rey untuk meminta bantuan tapi, mama Rey malah mengusirnya.

Disela- sela tangisnya tiba-tiba ponsel Dira berbunyi, di layar muncul nama dokter Aldi. Dira segera mengangkatnya, "Selamat malam dok, bagaimana keadaan Rey?" Dira sudah mengira itu berhubungan dengan Rey,

"Rey, besok harus segera di tangani." suara dokter Aldi dari ujung telponnya. Dira menarik nafas panjang.

"Baik dok, untuk administrasinya saya selesaikan besok pagi." Suara Dira pelan,

"Semoga ini terakhir dan Rey segera sembuh," kata dokter Aldi,

"Iya dok, saya juga berharap begitu." Jawab Dira.

Setelah sambungan telpon terputus, Dira menarik dan membuang nafas beberapa kali, walau air matanya tidak hentinya mengalir, di tekannya  nomor bu Maya Atasannya.

"Hallo Dira... Saya senang kamu menghubungi saya secepat ini, Apakah sudah mendapatkan jawabannya?" Suara bu Maya terlihat senang,

"Ya ... Sa- ya... Setuju." Jawab Dira pelan, "Rey harus segera di tangani sesegera mungkin, jadi saya mohon ibu bisa mengurusnya!" Dira memastikan agar Maya segera menangani Rey.

"Datang kerumah saya sekarang!" perintah bu Maya tegas,

"Baik bu," Dira tidak dapat menolaknya,

Dira mandi dan berganti baju, lalu berangkat ke kediaman Atasannya sekaligus pemilik perusahaan PH group,

Dira mengenakan dress tanpa lengan di padukan dengan jeket jeans, menggunakan taxi menuju rumah atasannya, taxi berhenti pas di depan pintu gerbang rumahnya, setelah meminta izin security, Dira masuk dan menekan bell.

Tidak membutuhkan waktu lama, pintu sudah di buka dan Maya sendiri yang membukanya,

"Langsung ke ruang kerja saya!" Ajak Maya. Dira mengangguk patuh dan mengikuti langkah Maya.

Setelah keduanya duduk barhadapan Maya meletakan map di atas meja di depan Dira,

"Silahkan baca dulu Dira dan setelah setuju, segera tanda tangan karena lebih cepat Rey akan segera di tangani."

Dira menatap map di depannya, dengan sedikit gemetar, Dira membukanya satu persatu membaca persyaratan yang harus di patuhi, Dira membacanya dan air matanya jatuh dari sudut mata Dira tanpa bisa di cegah.

"Lepaskan dia Dira! biarkan dia menjemput kehidupan barunya, kamu membutuhkan uang untuk pengobatannya, sementara Saya membutuhkanmu untuk kelangsungan hidup anak Saya yang semakin tidak terkendali, Dia pewaris satu- satunya PH Group, saya mohon kamu mengerti. Itu nominal yang tertera 2 M. tapi, bisa lebih jika memang Rey memerlukan lebih banyak lagi. Jika pengobatan kurang dari 2 M saya akan masukan ke tabunganmu," Maya menatap Dira dan berharap Dira tidak berubah pikiran.

"Saya tidak memerlukan uang itu bu, yang saya inginkan hanya satu, ibu mengobati Rey hingga sembuh." Dira menatap Maya meyakinkan dirinya sendiri, kalau Bosnya tidak akan ingkar janji.

"Baik kalau begitu, setelah di tandatangani segera kirim surat gugatan cerai, nanti biar pengacara saya mengurusnya." Dira menarik nafas panjang lalu mengambil pena dan menandatanganinya.

"Pernikahanmu akan segera di laksanakan setelah surat cerai kamu keluar." Maya memberi tahu Dira. Dira hanya mengangguk patuh,

"Saya permisi bu, terimakasih." Dira berpamitan dengan bu Maya, berdiri dan bersalaman.

"Kamu anak yang baik, semoga kamu dapat menaklukan hati Ezza." Maya mengusap kepala Dira. Dira hanya di lalu keluar dari rumah Maya dan segera pulang ke Apartemennya.

Di dalam Apartemen semua kenangan bersama Rey, Dira simpan di box. Lalu berdiri di balkon menatap langit,

"Selamat tinggal Rey, selamat tinggal kenangan, selamat tinggal kebahagiaan." teriak Dira seperti orang kesurupan.

Dira tertawa dan menangis secara bersamaan dan berakhir duduk di lantai dan memeluk kakinya sendiri.

"Tuhan... kuatkan aku menjalani semua ini..."gumam Dira.