Desi mengerahkan tenaganya dua kali lipat lebih dari biasanya, agar dapat menyelesaikan semua pekerjaannya lebih awal. Desi tidak sabar untuk meminta anak perempuannya kembali padanya.
Semangatnya mengalahkan semua rasa pegal yang hinggap di pundaknya. Tangannya tidak berhenti mengetik dan terus membolak-balikkan dokumen.
"Selesai!" Desi meregangkan seluruh tubuhnya yang kaku.
Tak lama, Desi segera memasukkan barang-barangnya kedalam tas. Tak lupa merapikan semua dokumen yang berantakan diatas mejanya.
Tok!Tok!
"Masuk."
Seorang wanita muda, yang diketahui sebagai sekretaris Desi ini melangkah masuk.
"Bu, sudah selesai?"
"Iya, hari ini kau cepet kan? Kamu juga bisa pulang cepet hari ini. Ayo!"
"Tapi bu, barusan saya dapat telfon dari sekretaris pak Edy. Beliau bilang ingin bertemu dengan ibu sekarang." Kenapa harus sekarang? Disaat Desi terburu-buru untuk pulang kerumah.
"Maksud kamu Pak Edy kepala bagian Marketing?"
"Bukan bu, maksud saya pak Edyson. Pemilik perusahaan ini bu."
"Sekarang? Kira-kira ada apa ya?"
"Saya kurang tahu bu, sekretarisnya hanya meminta saya hanya untuk menyampaikan seperti itu."
"Ya sudah, karena pekerjaan saya udah selesai kamu bisa pulang, mungkin habis menemui pak Edy saya juga langsung pulang. Jadi biar saya yang urus setelah ini."
"Beneran bu? Gak saya tunggu saja? Siapa tahu ibu diberi tugas."
Desi melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. "Ini jam pulang kantor, adapun tugas biar kita kerjakan saja besok."
"Baiklah bu, saya undur diri."
Desi menghembuskan nafasnya kasar. Pemilik perusahaannya tumben sekali ada dikantor saat musim seperti ini, biasanya pemilik perusahaan akan berkeliling ke cabang-cabang.
Sudahlah, tidak ada gunanya juga menduga-duga. Lebih baik Desi segera menemuinya dan segera pulang kerumahnya. Desi tidak ingin kemarahannya berlangsung terlalu lama untuk anaknya.
Desi mengetuk pintu paling besar dan paling megah yang ada di gedung perusahaannya ini.
"Permisi."
Seorang pria yang sedikit lebih tua darinya berdiri dari tempat duduknya. Sudah lama semenjak Desi tidak melihat CEO tempatnya bekerja ini. Dulu CEO-nya ini selalu ada dikantor bersama anak lelakinya.
Desi ingat betul bagaimana tatapan mata anak yang seperti ingin minta tolong. Setahu Desi anak itu dipaksa, diajarkan segala hal tentang perusahaan.
Padahal masih kecil, jika Lily pasti dia sedang bermain bersama anak tetangganya. Saat itu Desi tidak memiliki keberanian karena masih bisa dibilang, saat itu Desi hanya karyawan biasa.
Itulah yang menyebabkan Desi tidak bisa melupakan wajah anak malang itu, karena rasa bersalah tidak menolongnya saat-saat dulu. Desi ingat dengan betul, bahkan Desi tahu siapa nama anak yang kini sudah tumbuh itu.
Angkasa.
Anak yang Desi lihat saat itu adalah Angkasa. Anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja, Desi tahu itu.
Inilah yang menyebabkan Desi tidak suka bila Angkasa berdekatan dengan anak perempuannya. Desi takut, Lily akan bernasib sama seperti anak kecil yang dulu selalu mengelilingi Angkasa.
Keila, anak dari seorang office girl di perusahaan ini yang terpaksa dibawa kerja oleh ibunya karena office girl itu adalah orang tua tunggal. Semua dalam perusahaan tahu, ini sudah menjadi rahasia umum.
Keila meninggal akibat rasa tidak suka CEO itu padanya. Desi takut Lily akan mengalami hal yang sama seperti Keila.
Untuk itulah Desi selalu mati-matian mencegah Lily semakin dekat bersama Angkasa. Walaupun Lily mengartikannya sebagai rasa tidak suka terhadap Angkasa. Tapi Desi ingin memberi jarak sedikit saja diantara mereka, meskipun tidak berhasil.
Lagipula, Desi tidak bisa mengusir Angkasa begitu saja dari kehidupan Lily. Disaat Angkasa membwa kembali senyum cerah Lily yang sempat hilang akibat kejadian tidak menyenangkan yang Lily alami.
Apa sekarang Desi dipanggil karena masalah anak mereka?
"Kenapa diam saja? Silahkan duduk." Suara itu menyadarkan Desi dari lamuman panjangnya.
"Maaf." Desi segera duduk tepat didepan Edy.
"Sepertinya anda sedang banyak fikiran."
"Iya, banyak membebani fikiran saya akhir-akhir ini. Tapi pak Edy tenang saja, itu tidak mengganggu kinerja saya di perusahaan ini."
Edy tertawa. "Aku tahu pekerjaanmu memang sangat hebat. Tapi tidak perlu seformal itu, kita sedang tidak wawancara kerja."
"Jadi.. ada urusan apa bapak sampai memanggil saya kemari?"
Edy terdiam sejenak. "Saya mendengar ada permasalahan dalam perceraianmu."
Desi membulatkan matanya. Gosip dalam kantor benar-benar menyebar bagai kentut orang yang menyengat.
"Bapak mendengarnya? Saya minta maaf jika itu menimbulkan citra buruk bagi perusahaan."
"Tidak. Aku bermaksud membantumu tentang masalah itu. Aku tidak ingin gosip itu terlalu lama menyebar dan aku tidak bisa diam saja."
"Membantu bagaimana pak?"
"Akan ku kenalkan dengan pengacara kondang yang biasa menangani masalahku padamu. Bagaimana? Tentu kau tidak ingin hak asuh anakmu jatuh pada suamimu bukan? Maaf. Maksudku mantan suamimu." Orang ini benar-benar menakutkan, ia tahu dengan rinci permasalahan perceraiannya.
"Tentu pak. Ibu mana yang rela berpisah dari anaknya."
Edy tersenyum miring. "Bagaimana? Mau menerima tawaranku?"
"Tapi pak, saya tahu tidak ada yang gratis didunia ini. Tidak mungkin juga bapak melakukan ini hanya untuk meredam gosip yang menyebar."
"Kau memang berbeda dengan pegawaiku yang lain. Kau memang benar, ada yang kuinginkan darimu."
Desi memejamkan matanya sejenak, berusaha memendam kemarahannya. "Jadi apa yang harus saya lakukan?"
"Kamu tinggal menjauhkan Rei anakku dari anakmu." Bingo, dugaan Desi benar. Tidak mungkin Edy diam terlalu lama melihat anak kesayangannya berdekatan dengan Lily.
"Jauhkan mereka dengan cara mengambil alih cabang di Kalimantan, maka akan kubantu kau menyelesaikan permasalahan perceraian."
Desi terdiam cukup lama.
"Kenapa? Aku tahu kau sedang kesulitan mencari dana tambahan terlebih dengan putramu yang membutuhkan banyak biaya untuk mengikuti olimpiade basket, jangan lupakan putrimu yang seharusnya pergi kedokter tanpa harus mendapatkan bantuan dari selingkuhan suamimu." Desi tercengang, tangannya menggenggam erat roknya. Orang ini tahu terlalu banyak.
Edy menatap Desi yang berdiri dengan tatapan bingung.
"Apa bapak bisa berikan saya waktu?"
"Aku akan tunggu. Tapi tidak lama. Sebisa mungkin sebelum tahun ajaran baru dimulai."
Desi membungkukkan badannya, memberi salam kemudian pergi keluar dari ruangan.
Dengan cepat Desi mengambil tasnya yang masih ada didalam ruang kerjanya. Tak lupa memesan taksi online untuk mengantarnya pulang.
Mana bisa Desi membuat Lily menjauh dari Angkasa, orang yang membuat Lily tersenyum lagi. Akankah hatinya tega membuat Lily kembali bersedih karena harus berpisah dari Angkasa?
Haruskah Desi merenggut kebahagiaan mereka?
Desi merasa seperti berada di atas perahu yang berlayar di luasnya lautan dan terombang-ambing oleh derasnya ombak.
Kenapa hidup harus begitu kejam kepada putri kecilnya?
Putri kecilnya sudah kehilangan ayah yang sangat dekat dengannya. Haruskah Desi membiarkan Lily kehilangan orang yang disayangnya lagi?
Dunia ini sangat kejam pada gadis sebaik Lily.
Desi mengusap air matanya, semua pilihan yang diambilnya mungkin akan sama-sama menyulitkan Lily. Jika Desi memilih untuk menjauhkan Lily dari Angkasa, baik Lily maupun Angkasa akan tersakiti. Jika Desi memilih membiarkan mereka dan berjuang dengan kemampuannya sendiri, mungkin Lily akan tetap berpisah dari Angkasa karena Arya akan membawanya bersama Aster.
Kemungkinan terburuknya jika Desi keluar dari perusahaan, keluarganya akan hidup pas-pasan, Aster tidak bisa melanjutkan basket, dan Lily tidak bisa menemui dokter. Lalu bagaimana uang kuliah kedua anaknya? Bahkan Edy-pemilik perusahaannya akan semakin tidak menyukai Lily karena terus berdekatan dengan Angkasa.
Desi melihat Lily yang berdiri didepan rumahnya sembari menatap rumah dengan ragu.
Dengan cepat Desi turun dari taksi dan menghampiri Lily.
"Lily." Lily menoleh dengan senyuman cerah itu. Bagaimana cara untuk menjaga senyuman itu?
Desi langsung memeluk anaknya dengan erat dan menangis dengan keras sembari mengucapkan kata maaf. Lily bahkan tiak bisa membalas pelukan mamanya karena mamanya memeluk Lily dengan sangat erat.
"Maafin mama Ly."
"Kenapa mama minta maaf mulu? Lily gak apa-apa kok." Ucap Lily ikut menangis karena mamanya.
"Maaf ya Ly, mama salah. Mama kangen sama kamu."
Pintu rumah terbuka, Aster berlari memeluk mamanya dan kakaknya.
"Jangan ribut lagi." Ujar Aster.
Desi beralih mengelus pipi Aster yang meneteskan air matanya, sama seperti Lily yang sangat merindukan keluarga kecil ini
"Mama janji, bakal jaga sisa keluarga kita." Aster dan Lily menganggukkan kepala.
"Sini anak mama." Desi kembali memeluk kedua anaknya dengan erat. Ia tidak akan biarkan siapapun menghancurkan keluarganya lagi.