Arisa berdiri di atas reruntuhan kota, menatap sekelilingnya yang sepi dan... hancur. Matahari sudah condong ke arah barat. Pukul dua, membuat teriknya tidak terasa sepanas beberapa jam yang lalu.
Ini kota tempat Arisa tinggal, tapi ia sama sekali tidak mengenalinya. Kata Biru, sebelum virus Moscow menyebar di kota Jogja, pembangunan besar-besaran diadakan, membuatnya persis seperti kota metropolitan di beberapa tempat. Arisa bersumpah daerah yang ia pijaki sekarang hanyalah kawasan motel kecil untuk wisata wisatawan 34 tahun yang lalu. Daerah rumahnya—atau rumah Ibunya saja membingungkan, sangat berbeda di ingatannya ditambah kondisi bangunan di sini yang sudah hancur. Membuat bingung plus-plus.
Tadi Arisa sudah melewati dan mengunjungi banyak tempat. Candi Prambanan, Monumen Jogja Kembali, titik nol Malioboro, juga dua alun-alun kota. Beberapa masih sama seperti di ingatannya, beberapa juga terlihat berbeda. Yang pasti bangunan-bangunan kokoh dan belum hancur yang ia lewati sepanjang perjalanan tadi seperti tak terurus—memang tak terurus. Tumbuh-tumbuhan liar mulai tumbuh dan merambat, menutupi hampir seluruh bangunan yang warnanya telah luntur dan
tampak kusam.
Jalannya apalagi. Retak dan mulai ditumbuhi rumput liar di mana-mana. Pemandangan yang tidak pernah Arisa bayangkan sebelumnya.
"Kapan tempat ini bakal dibersihin, Blue?" Arisa bertanya, duduk di atas puing-puing yang hancur, menatap beberapa gedung yang berdiri kokoh jauh di depannya—hanya ambruk dan rusak di beberapa tempat. Arisa yakin ribuan mayat infected tergeletak di dalam sana.
Unit pembersihan infected memang belum sampai ke tempat ini. Beberapa mayat masih tergeletak di jalanan, belum diapa-apakan. Jika antivirus disebar saat siang hari, kemungkinan pembersihan lebih mudah karena saat itu infected sedang bersembunyi di tempat gelap, berkumpul. Tapi karena antivirus itu diaktifkan saat malam—waktu di mana infected berkeliaran dan keluar, maka dari itu mayat yang tergeletak juga di mana-mana.
Tapi meskipun begitu, bau busuk tidak menyengat seperti sebelumnya. Mungkin karena mayatnya yang belum dikumpulkan dan gedung-gedung penuh mayat infected itu masih jauh di seberang sana.
"Belum tahu, Sa. Mungkin besok. Prosedur pembersihan kita emang tempat yang paling banyak mayat infected dulu." Biru yang juga berdiri di atas puing-puing tak jauh dari tempat Arisa duduk menjawab.
Arisa mengangguk mengerti, ber-oh ria. "Stadion Sultan Agung masih ada?" tanya Arisa. Ia jadi teringat saat ia dan biru menjemput Susan di sana, mencari manusia yang tersisa di dunia kosong. Susan di Bantul, sedangkan Merapi di Gunung Merapi daerah Sleman.
Dan nyatanya, itu tidak nyata.
Biru mengangguk. "Masih ada, belum hancur. Mungkin cuma ditumbuhi semak-semak tinggi dan tumbuhan lain. Jadi nggak kelihatan," jawabnya. Arisa langsung membayangkan tempat itu, juga stable tempat Susan berada—stable milik tante Ausans dulu saat menjadi atlit equestrian.
Ariaa jadi ingin bertanya tentang Brimob juga, tapi malas. Jadilah ia bertanya tentang hal lain. "Setelah ini mau kemana, Blue?"
Biru tertegun, berpikir sejenak. "Tempat yang bagus dan cocok buat orang yang udah capek lihat pemandangan mayat infected di mana-mana."
Arisa mengernyitkan dahi. "Itu tempat apa?"
"Menurutmu?"
Arisa menggeleng tidak tahu. Ia tidak ada sama sekali tempat seperti apa itu.
"Gimana kalau ke sana sekarang?" tawar Biru.
Arisa mengangguk antusias, bangkit berdiri. "Ayo!"
***
Perjalanan yang ditempuh hampir memakan waktu satu jam. Itu dikarenakan jalannya yang naik turun dan berkelok-kelok dengan tebing putih di sepanjang jalan. Terlebih jalan yang sedikit mengerikan karena telah rusak tanpa perbaikan sejak 20 tahun yang lalu.
Arisa dan Biru lagi-lagi melewati perbukitan, tetapi perbukitan yang berbeda. Bukan perbukitan Kulon Progo, melainkan perbukitan lain—atau lebih tepatnya pegunungan. Tanahnya lebih kering dan tandus, juga berwarna putih karena berasal dari kapur—atau batu gamping. Arisa benar-benar noob daerah di luar kotamadya sehingga baru menyadari Biru membawanya pergi ke Gunung Kidul!
Arisa pernah membaca sejarah Gunung Kidul saat SMP dulu—lebih tepatnya ibunya yang membaca. Dulu, di masa lalu, Gunung Kidul adalah laut, melihat struktur tanahnya yang terbuat dari batu gamping seperti bekas karang. Berubah menjadi daratan karena pengangkatan tektonik dan vulkanik sejak kala miosen 23-5 juta tahun yang lalu.
Gunung Kidul seperti namanya, dominan dengan pegunungan yang merupakan bagian dari pegunungan Jawa bagian barat. Punya banyak wisata yang indah dan mengagumkan. Tetapi setiap kelebihan suatu daerah, pasti juga mempunyai kekurangan. Gunung Kidul terkenal dengan daerahnya yang selalu mengalami kekeringan sepanjang tahun. Wilayah paling kering di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tuhan Yang Maha Esa itu selalu adil. Ada kelebihan, pasti ada kekurangan.
Tetapi tunggu, wisata yang indah dan mengagumkan? Biru akan mengajaknya ke mana?
Beberapa menit kemudian, Arisa dan Biru melewati tanjakan agak tinggi. Di sebelah kanan jalan, tebing putih dari batu gamping nampak.
Arisa melebarkan mata ketika sampai atas. Di bawah sana pantai indah berpasir putih terlihat. Terlebih lautnya yang biru sejauh mata memandang. Angin segar langsung menerpa, menyejukkan badan.
Pantai. Tempat yang bagus dan cocok untuk orang yang lelah melihat pemandangan infected di mana-mana.
Biru benar. Tidak mungkin ada infected di lautan sana.
Arisa turun dari motor, begitu juga dengan Biru. Tempat ini seperti tanah lapang dan... sepi, tentu saja. Hanya satu dua mayat infected yang tampak di sekitar Arisa. Mungkin karena tidak ada tempat teduh di sini, sehingga hanya sedikit infected yang berkeliaran pada malam hari. Arisa yakin dulunya ini tempat wisata. Dan tanah yang ia pijaki sekarang mungkin tempat parkir atau toko yang menjual makanan laut serta pernak-perniknya.
Iya, dulu... Dua puluh tahun yang lalu.
"Pelan-pelan." Biru berkata.
Arisa melewati jalanan turun menuju pantai di bawahnya. Agak rusak. Mungkin karena pasang tinggi yang beberapa kali terjadi sehingga meng-abrasi. Arisa juga bisa melihat beberapa serpihan kayu tersebar. Itu pasti bekas kapal nelayan yang hancur sebelumnya.
"Serunya di pantai, nggak mungkin ada infected renang-renang sejauh mata memandang." Biru melawak, membuat Arisa membayangkan betapa lucunya jika infected benar-benar berenang di lautan sana. Apa mereka akan tenggelam?
Arisa melepas alas kaki, membuat telapak kakinya menyentuh pasir putih lembut. Ia mendekat ke laut, tersenyum ketika air laut mengenai kakinya. Arisa lupa kapam terakhir kali ia—atau ibunya—pergi ke pantai. Mungkin beberapa bulan yang lalu bersama keluarga besar. Yang ia datangi itu pun pantai pasir hitam di daerah Bantul. Sama-sama bagus. Yang berbeda mungkin pantai di pantai Gunung Kidul memiliki pemandangan lebih indah dengan tebing-tebing tinggi di sekelilingnya.
"Kita berdua dulu sering pergi ke sini," ucap Biru.
Arisa menoleh, menaikkan sebelah alis. "Berdua aja?"
Biru mengangguk. "Lebih sering berdua."
Arisa tertegun. Ia jadi ingin tahu sedekat apa Arisa asli dan Biru sebenarnya. Dan parahnya, ia mendadak teringat kejadian beberapa hari yang lalu, saat Biru menyatakan suka padanya di gedung laboratorium blok B. Berhenti, Arisa. Jangan diingat-ingat, batinnya.
"Hampir jam empat. Kita harus pulang nanti sebelum jam setengah lima." Biru menerangkan.
Arisa mengernyitkan dahi. "Kenapa?"
"Jalanan pulang naik turun. Lumayan rusak juga. Lebih-lebih nggak ada lampu jalan di sana. Bahaya kalau pulangnya waktu gelap."
Arisa ber-oh ria, mengangguk mengerti. Tentu saja tidak ada lampu jalan. Tiangnya saja tidak ada. Apa lagi listriknya yang tidak lagi mengalir.
Arisa lagi-lagi menatap laut di depannya.
Biru.
Rasanya ia sedang memandangi satu-satunya hal indah yang tersisa di dunia yang hancur ini.