webnovel

An Empty World (END)

Pernahkan kalian membayangkan bangun di pagi hari dan mendapati dunia kosong tanpa seorangpun? Itu yang Arina Rahmawati rasakan. Gadis 17 tahun yang kebingungan mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan buminya, dunianya. Kejadian yang tidak bisa dinalar dan mengerikan muncul satu per satu. Bertemu beberapa teman yang juga ia rasakan setelah mengembara mencari orang yang tersisa. Tidak hanya itu, kesakitan demi kesakitan menghantamnya. Hal mengerikan muncul tidak kenal lelah. Sampai puncaknya, ia membunuh keluarganya sendiri dengan tangannya. Tapi bukan itu masalah terbesar Arina. Bukan dunianya yang jadi masalah. Ada hal yang lain yang menunggunya. Di dunia lain. Di dunia yang tak tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kebenaran satu per satu muncul. Dunia kosong tidaklah nyata. Itu hanya sebuah percobaan semata. Fresh and original. Start: Mei 2018 End: Desember 2019

IamBlueRed · Sci-fi
Not enough ratings
57 Chs

52-Trip in Ma City pt. 1

Keadaan masih gelap di luar sana. Waktu menunjukkan pukul lima pagi.

Arisa berpamitan pada ibunya, melangkah tergesa-gesa keluar rumah. Biru sudah menunggunya di luar sejak beberapa menit yang lalu. Mereka ada janji. Dan Arisa tidak ingin Biru menunggu lebih lama.

"Mata kamu kenapa merah?" Biru tiba-tiba bertanya ketika Arisa sampai di dekatnya.

Arisa mendongak, mengerutkan dahi. Penglihatan Biru itu tajam sekali. Padahal tidak ada cahaya terang di sini kecuali lampu luar rumahnya.

"Aku habis begadang. Jadi kurang tidur." Arisa meringis. Seharian kemarin ia sibuk mengerjakan proyeknya. Sudah jadi setengah. Semoga ia bisa menyelesaikannya sebelum jadwal pengambilan ingatan besok.

Biru hanya mengangguk mengerti di atas motornya, kembali bertanya, "Nggak pakai jaket?"

"Harus, ya?" Arisa malah balik bertanya.

Biru mengangguk, "Soalnya masih pagi, dingin," jelasnya. Sebenarnya Arisa sudah merasakan sejak tadi. Belum naik motor saja hawanya lumayan menusuk tulang. Bagaimana jika sudah naik motor dan diterpa angin? Wajar saja sih, karena ini daerah perbukitan.

"Bentar aku ambil dulu," kata Arisa, segera masuk rumah.

Biru berencana mengajak Arisa pergi memutari kota, melihat kegiatan pasukan benteng yang membersihkan jasad-jasad infected dan menguburkannya. Tentu saja Arisa mau. Ia ingin melihat keadaan kotanya dari dekat. Terakhir kali melihatnya adalah saat ia berada di loteng markas dua hari yang lalu. Gedung-gedung runtuh di kota hanya terlihat sebagian. Itupun dari jauh dan tidak terlalu jelas.

Jadilah pagi ini Biru merealisasikan ajakannya memutari Jogja. Dan tentu saja, Biru izin tidak ikut melakukan pembersihan infected hari ini.

Arisa keluar rumah, memakai jaket merah miliknya—ralat, kata ibunya itu milik Arival. Makanya sedikit kebesaran.

Biru tersenyum melihat jaket yang Arisa kenakan. "I'm Blue, you're Red," katanya.

Arisa tertawa. Ia jadi teringat kejadian beberapa waktu yang lalu saat di permainan pikiran, saat Biru dan Arisa berbincang untuk pertama kalinya. Arisa ingin dipanggil 'red' agar senada dengan nama Biru. Padahal namanya saat itu—Arina—tidak ada sambungannya sama sekali dengan red kecuali huruf 'r' nya saja.

Arisa segera naik ke atas motor. Beberapa detik kemudian, Biru langsung melajukan motor keluar dari kawasan perumahan. Motor Biru tidak jauh berbeda dengan motornya di permainan pikiran saat itu, di dunia kosong. Gayanya masih terkesan vintage. Hanya saja mereknya bukan Ducati. Sepertinya keluaran beberapa bulan yang lalu—yang tentu saja lebih terbaru dari Ducati yang keluarnya mungkin sudah beberapa puluh tahun yang lalu. Dan jangan lupa, motor itu pasti lebih canggih.

Gerbang benteng terbuka lebar, tidak tertutup seperti sebelumnya. Beberapa kendaraan berlalu-lalang keluar masuk meskipun ini masih terlampau pagi untuk melakukan aktivitas. Penjagaan yang pastinya tidak lagi ketat seperti sebelumnya, mengingat infected sang musuh terbesar telah musnah. Manusia yang tidak kebal tentu saja bisa hidup tanpa antigen yang membentuk antibodi sekarang. Yang lainnya juga bernapas lega, mulai menyongsong masa depan yang lebih cerah.

Arisa kembali melewati jalanan saat Biru membawanya pergi ke markas. Jalan yang membelah hutan dengan pohon-pohon tinggi di kanan kirinya. Kali ini tidak ada yang perlu ditakutkan meskipun gelap. Tidak akan ada infected yang mengajar. Arisa tidak perlu menembak makhluk apa pun seperti malam saat Biru menyelamatkannya.

"Kemarin pagi, sebelum dibersihin, mayat-mayat infected masih banyak di sini. Jumlahnya ribuan. Butuh waktu setengah hari buat ngumpulin mereka semua karena kita kekurangan tenaga kerja," ujar Biru, fokus menatap jalanan yang tersorot lampu motor.

Arisa tahu itu. Perbandingan infected dan orang yang hidup benar-benar tidak seimbang. Bisa jadi perbandingannya 1:1.000.000 di dunia ini. Terlebih yang membersihkan kebanyakan laki-laki, meskipun ada beberapa wanita juga yang ikut. Kata Biru, tidak semua wanita hanya tinggal di benteng dan menjadi ilmuwan. Banyak juga menjadi pasukan keamanan yang bertugas di luar benteng. The real heroines—sesuatu yang Arisa elu-elukan sampai sekarang.

Contoh nyatanya seperti Sarah. Wanita yang ternyata kakak iparnya itu sempat bergabung dan bertugas beberapa hari di luar benteng, sebelum akhirnya ketahuan Arktik dan dilarang.

Ngomong-ngomong tentang Arktik, Arisa jadi ingin tahu bagaimana kabar pria itu sekarang.

Bunyi klakson terdengar. Dari sebalik arah, beberapa orang lewat menyapa Biru yang pastinya dikenal banyak orang. Arisa tidak menyangka orang-orang mulai bekerja sepagi ini. Selelah apa pun, tentu saja mereka akan melakukan pembersihan mayat infected secara cepat. Itu hal yang mereka impikan seumur hidup. Jadi lelah sama sekali bukan halangan.

Setengah jam mengendarai motor, Arisa dan Biru akhirnya benar-benar turun dari perbukitan—daerah Kulon Progo jika orang-orang benteng masih ingat nama daerahnya. Sepanjang perjalanan tadi, Arisa sama sekali tidak melihat rumah. Hanya pos penjaga yang berjarak beberapa meter satu sama lain. Satu dua bangunan runtuh memang terlihat, tapi lebih banyak yang sudah ambruk dan dimakan tanah. Dua puluh tahun memang bukan waktu yang sebentar. Pelapukan tentu saja terjadi di mana-mana. Hanya bangunan kokoh saja yang masih bertahan puing-puingnya.

Matahari benar-benar memunculkan diri saat motor Biru sampai di jalan utama yang cukup besar—belum di kota Yogyakarta sungguhan, masih di Kabupaten Kulon Progo jika dilihat berdasarkan pembagian daerah di masa ingatan ibunya.

Beberapa puluh meter di depan sana kerumunan terlihat. Kendaraan yang berlalu lalang juga cukup ramai. Semakin dekat, Arisa semakin bisa merasakan bau busuk yang berputar di dadanya, membuat mual. Dari kejauhan, Arisa akhirnya sadar puluhan baris mayat infected tergeletak di pinggir jalan, seolah memang dikumpulkan di sana.

Sekarang Arisa tahu masalah terberat orang-orang yang melakukan pembersihan infected: bau busuk dan jasad mereka yang benar-benar mengaduk perut. Tetapi Arisa yakin mereka orang yang sudah terbiasa menghadapi sosok infected itu, membuat mereka ikut terbiasa dengan bau dan kondisi jasadnya yang tidak lagi tampak seperti manusia.

Biru menghentikan motor jauh dari barisan mayat tersebut.

Arisa turun, memandangi aktivitas orang-orang dari tempatnya berdiri. Ia berkali-kali menelan saliva, menekan rasa mualnya saat menghidu bau busuk yang tidak bisa hilang meskipun berada di luar ruangan. Mayat infected itu terlampau banyak.

"Kamu kuat, Sa?" Biru bertanya. "Harusnya tadi bawa masker."

"It's oke, Blue. Aku masih tahan," jawab Arisa, memandangi mayat-mayat beberapa meter di depannya. Ia ingin berjalan mendekat, tapi ragu.

Di ingatan ibunya, Arisa—atau lebih tepatnya Arina—selalu biasa saja saat menonton fisik menyeramkan dan menjijikkan zombie di film. Tetapi sekarang, dalam bentuk nyata, rasanya Arisa tidak mampu. Mayat-mayat di depan sana seperti infected yang telah terjangkit lama, membuat tubuhnya menghitam karena darah yang membusuk dan nampak seperti tulang yang dilapisi kulit hitam saja.

Arisa tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi infected yang telah terjangkit sejak 20 tahun lamanya. Tidak, ia tidak akan membayangkan.

"Mayat-mayat yang ditemuin dikumpulin dulu di sana. Setelah itu diangkut di tempat penguburan. Ada beberapa titik penguburan di Jogja. Salah satunya di pelataran Candi Prambanan. Kita nggak mungkin kuburin mereka satu-satu. Jadi dibuat lubang besar, dan nantinya mereka dikuburin di satu tempat." Biru menjelaskan.

Arisa mengangguk mengerti. Itu yang paling mungkin, juga paling efektif. Setidaknya untuk penghormatan terakhir. Dan berbicara hal itu, Arisa jadi teringat pemakaman Papa dan Mama Biru kemarin. Tidak jauh, hanya beberapa meter dari benteng—juga merupakan tempat dimakamkannya para warga benteng yang meninggal selama 20 tahun ini.

"Baru sedikit wilayah Jogja yang udah dibersihin. Nggak mungkin selesai dalam satu bulan. Apa lagi seluruh Indonesia atau dunia... butuh bertahun-tahun lamanya mungkin. Dan permasalahan yang bakal datang, jasad infected yang makin lama makin membusuk, juga baunya. Yang dikhawatirin, hal itu malah nimbulin penyakit lain, masalah lain. Waktunya manusia di dunia bersatu, kerjasama cari solusi dan jalan keluar." Biru yang masih duduk di jok motor kembali berkata.

Arisa terdiam. Ucapan biru memang benar. Jika sebelum peristiwa virus Moscow manusia di dunia saling bermusuhan dan menghancurkan, kini saatnya mereka bersatu dan menyembuhkan. Memperbaiki kerusakan yang telah diperbuat para pendahulu mereka.

Arisa tersenyum pahit. Siapa yang berbuat? Siapa juga yang repot?

Hal itu mengingatkan Arisa permasalahan di masa ibunya, tahun 2028, di mana air bersih benar-benar minim. Hampir semua sungai tercemar limbah dan tertutup sampah. Siapa pelakunya? Tentu saja manusia yang hidup sebelumnya. Orang-orang yang mewariskan sampah pada anak cucu mereka.

Arisa tidak berniat menyalahkan. Karena yang ia ingat, akhir tahun 2020, Indonesia telah melakukan revolusi besar-besaran.

Hukum lebih ditegakkan. Pengeluaran sampah ditekan habis-habisan. Pendauran ulang wajib dilakukan banyak pihak. Selain itu, alternatif lain mulai ditemukan satu persatu. Mulai dan wajib diterapkan oleh semua kalangan.

Arisa tidak mengerti mengapa 'sesuatu yang menyelamatkan' baru benar-benar dilakukan saat semua telah rusak? Mengapa tidak dilakukan sebelumnya saja? Pencegahan sebelum hal itu terjadi?

"Kalian berdua di sini?" Tiba-tiba suara seseorang terdengar.

Arisa menoleh, menatap seorang pria yang di belakangnya.

"Gimana kabarnya, Arisa? Paman lama nggak lihat kamu. Bahkan setelah kejadian heboh dua hari yang lalu. Ibumu baik, kan?" Pria yang memakai seragam pasukan keamanan itu berucap.

Arisa tersenyum kikuk. "Arisa baik. Ibu juga," jawabnya. Arisa asli pasti mengenal pria di depannya.

Biru yang sadar Arisa tidak ingat siapa yang diajak bicara sekarang berucap, "Ini Paman Pasifik, Arisa. Papa V, pamanku juga."

Arisa langsung membuka mulut, menatap pria di hadapannya. Ia baru tahu hal itu. V sama sekali tidak mirip dengan papanya—juga tidak dengan mamanya.

Arisa tempat bertemu dengan mama V kemarin, mengobrol sebentar. Mamanya berwajahkan Asia Timur, Korea asli dan sangat cantik. Tapi tidak ada mirip-miripnya dengan pemuda kembaran Kim Taehyung member BTS boyband asal Korea itu.

Mungkin ada saatnya DNA orang tua tidak menurun sama sekali pada anaknya. Arisa jadi teringat pernyataan bahwa manusia punya enam kemarin lain di muka bumi ini. Entah itu benar, entah itu tidak.

"Ah iya, Arisa masih di ingatan Bu Arina, ya?" Papa V bertanya.

Biru mengangguk. "Pengembalian ingatan baru dilakuin besok," jawabnya.

Papa V mengangguk paham, lalu berucap, "Yasudah, paman duluan. Ada urusan lain," katanya, lalu berjalan berbalik arah menemui dua pria berwajah western tak jauh dari tempat Arisa berpijak.

Dua pria itu sepertinya memang dari luar negeri. Karena papa V bercakap-cakap dengan mereka menggunakan bahasa internasional—masih bahasa Inggris. Sepertinya Jogja akan kedatangan banyak orang dari luar setelah peristiwa penyebaran antivirus kemarin.

"Mau lanjut perjalanan?" Biru di sebelah Arisa bertanya.

Arisa menoleh, mengangguk. Ia segera naik ke atas motor, menatap barisan mayat yang di depannya untuk terakhir kali.

Hatinya mendadak perih.