Keesokan harinya.
Arisa merasa tubuhnya lebih segar. Ia sudah mandi, sudah berganti pakaian. Tadi malam ia sudah tidur di rumahnya sendiri. Di atas kasur yang empuk dan nyaman. Begitu juga ibunya yang tinggal satu rumah bersama dirinya. Minus Arival. Pemuda itu tentu saja tinggal di rumahnya sendiri, bersama istrinya.
Dan pagi ini, mereka berdua sedang membereskan kamar. Lebih tepatnya kamar ibunya yang sudah lama tidak dihuni. Masih bersih, hanya saja perlu dibersihkan lagi. Rumah ini sudah tidak dihuni nyaris seminggu. Sejak Arisa mengikuti serangkaian prosedur pemanenan itu, pergi ke permainan pikiran.
Dan jangan lupa, Arisa sudah bersama Brownie, bertemu dengan hewan peliharaan kesayangannya itu meskipun ia bukan hewan sungguhan. Brownie nyata, ada, sama halnya seperti Thor. Karena cerita Arival tentang cyborg kemarin, Arisa jadi sering menekan tubuh Brownie sebelum tidur tadi, meraba-raba apa ada mesin di dalamnya. Dan Brownie tidak kesakitan.
Arisa jadi teringat pertama kali menemukan Brownie di kandang ayam ayahnya—atau lebih tepatnya kakeknya—setelah menyadari orang-orang menghilang di pagi hari di permainan pikiran.
Ngomong-ngomong tentang rumah, warga benteng dijatahi sebidang tanah perkepala keluarga. Karena ibu Arisa ilmuwan sibuk, jadilah rumahnya dekat dengan gedung laboratorium di blok perumahan pejabat, berdekatan dengan rumah pemimpin benteng dan ssemacamnya
"Kalau kakakmu udah nikah, berarti kamu tidur sendirian di rumah?" Ibunya tiba-tiba bertanya.
Arisa terdiam, berpikir sejenak.
"Ah iya, ibu lupa kalau kamu nggak inget."
Arisa nyengir. Ia saja lupa jika dirinya tidak iinga. Payah memang.
Berbicara tentang Arival, pemuda itu tadi sempat datang ke rumah, mengantar makanan untuk Arisa dan juga ibunya—katanya masakan Sarah, lalu izin keluar beberapa saat kemudian. Hari ini hari sibuk-sibuknya warga benteng. Ada banyak pembersihan infected yang harus dilakukan. Setiap warga benteng—khususnya pria—tentu saja melakukannya. Terutama Biru yang ikut tim khusus pasukan benteng.
Hei, mengapa Arisa jadi teringat Biru?
"Ibu tahu Arrival udah nikah sejak kapan?" Arisa masih bertanya topik yang sama. Yang ia ketahui kakaknya itu menikah enam bulan yang lalu. Dan ibunya masih ada di penjara bawah tanah saat itu.
"Beberapa hari setelah mereka menikah. Ada petugas penjara yang berbaik hati kasih tahu hal itu ke ibu," terang ibunya. Arisa mengangguk mengerti. Hanya memberi informasi saja sudah di yang disebut baik hati oleh ibunya. Padahal itu sama sekali belum baik bagi Arisa. Baik versinya itu jika petugas penjara itu mau melanggar peraturan sehingga membebaskan ibunya dari penjara. Muluk-muluk sekali, pikirnya.
Arisa duduk di pinggir ranjang, menatap ibunya yang sedang memakaikan sarung bantal pada bantalnya. Teringat suatu hal, Arisa langsung bertanya, "Nama ayahku Aris Adijaya, ya, Bu?"
Ibunya terdiam, mengangguk. "Tahu dari mana? Kamu kan nggak inget."
Arisa tersenyum lebar. Apa yang ia asumsikan di otak ternyata benar. Ia sudah menebaknya jauh-jauh hari, menyambung-nyambungkan hal itu dengan segala hal.
"Di otakku, aku punya kakak kelas keren namanya Aris Adijaya." Arisa menerangkan, membuat ibunya langsung menoleh ke arahnya. "Dia pinter, jenius, dan baik banget. Orang pertama yang bilang ke aku kalau mimpi harus diperjuangkan."
Ibunya tersenyum. Arisa tahu wanita yang mempunyai ingatan sama seperti dirinya itu pasti langsung mengadakan nostalgia dadakan di otaknya. Mengingat dirinya saat SMA. Mengingat Aris Adijaya dan segala kenangannya.
Arisa sebenarnya tidak sengaja mengingat sosok itu saat Arival berkata ia adiknya. Nama belakang mereka sama. Aris Adijaya dan Arival Adijaya. Terlebih ketika ia menyadari wajah mereka nyaris seperti pinang dibelah dua. Nama Arisa juga hanya seperti tambahan dari nama Aris. Jadi, setelah itu... Arisa langsung berasumsi kakak kelasnya—atau lebih tepatnya kakak kelas ibunya—adalah ayahnya saat muda. Jodoh Arina Rahmawati atau ibunya.
"Ibu tahu, aku suka Kak Aris, tapi nggak berani bilang." Arisa masih saja bercerita.
Ibunya tambah tersenyum lebar. "Mau sampai kapan godain ibu, heh?"
Arisa langsung tertawa, merangkul wanita di sampingnya. "Ayah ganteng, ya, Bu. Shawn Mendes aja kalah... Arival agak mirip ayah, tapi entah kenapa dia nggak ganteng. Padahal ibu sama Arisa sama-sama cantik."
Ibunya yang gantian tertawa sekarang. Jika Arival mendengar perkataannya, Arisa yakin pemuda itu akan menjitaknya detik ini juga.
Hei, ngomong-ngomong Arival pasti iri dengannya karena ia bisa melihat ayah saat muda. Nanti-nanti mungkin ia akan cerita bahwa dirinya tidak tampan seperti ayah. Hahah. Arisa tidak tahu. Ia seperti punya dendam kesumat pada kakaknya.
"Jadi, kapan Ibu bilang suka ke ayah?" Arisa bertanya. Ia masih tidak ingin tahu kisah percintaan kedua orang tuanya.
"Ibu nggak pernah nyatain perasaan." Ibunya menjawab.
"Terus gimana?"
"Tahun pertama Ibu sekolah pascasarjana di Stanford, ayah kamu tiba-tiba dateng," katanya. Ibunya tersenyum, menerawang masa lalu, menatap jendela kamar yang mulai terkena sinar matahari pagi. "Kita berdua dulu sama-sama tinggal di Amerika, sama-sama jadi mahasiswa di sana. Bedanya, ibu kuliah di Stanford, sedangkan ayahmu di Harvard."
Arisa berdecak kagum. Di ingatannya, kedua universitas itu masuk dalam universitas top di dunia. Lihatlah... Ibunya yang dulu pesimis tentang mimpinya, pada akhirnya bisa masuk universitas sekeren itu. Arisa tidak tahu dan hanya menduga-duga, tapi sepertinya peran Aris Adijaya atau ayahnya sungguh besar di kehidupan ibunya. Mungkin pemuda itu yang menyemangati ibunya untuk mewujudkan mimpinya.
"Tapi meskipun begitu, Ibu jarang ketemu ayahmu saat itu," terang ibunya. Arisa mengangguk mengerti. Stanford dan Harvard itu di ujung barat dan di ujung timur Amerika Serikat, berjauhan sekali. Stanford di California, sedangkan Harvard di Massachusetts.
"Ayahmu udah selesai program S2 saat itu. Ibu pikir, Ayahmu masih mau lanjutin program doktoral di Harvard. Tapi ternyata, dia tiba-tiba dateng ke rumah ibu di Palo Alto, nyatain perasaan yang nggak pernah Ibu duga sebelumnya. Tahun itu juga ibu dan ayah menikah. Tanggal 6 Juni 2036 di Indonesia," ujar ibunya. Arisa mencatat dalam hati. Tanggal 6 bulan 6 tahun 2036. Lumayan cantik.
"Setelahnya kita balik ke Amerika, ayah kamu kerja di sana, sedangkan ibu nyelesaiin kuliah S2. Setelah Ibu lulus, kita balik lagi ke Indonesia, netap di kota tempat ayah dan ibu lahir, Yogyakarta." Ibunya memberi jeda.
"Setahun kemudian, 30 Desember 2038 , kakakmu lahir. Dua tahun setelah itu, ibu hamil kamu. Semua masih baik-baik aja, sebelum akhirnya, berita mengerikan pertama datang, perang dunia ketiga pecah. Ayahmu yang berencana ngelanjutin program doktoralnya di Harvard gagal, Amerika Serikat nggak aman." Ibu menghela napas. "Delapan bulan selanjutnya, bulan Agustus, puncak kengerian terjadi. Rusia untuk pertama kalinya luncurin senjata biologi ke pangkalan AL Amerika Serikat tanpa percobaan. Beberapa detik kemudian, kamu tahu kan, Arisa... Virus Moscow mengubah dunia. Dan Ayahmu nggak selamat karenanya."
Arisa terdiam, menelan ludah. Suasana tiba-tiba berubah menjadi tidak mengenakan. Kematian selalu saja menyakitkan.
"Kita bisa selamat karena Ayah punya temen yang kerja di Pearl Harbor. Kamu tahu kan, Arisa... Lagi-lagi Pearl Harbour. Entah di Perang Dunia Kedua ataupun Ketiga. Temen ayah yang saat itu belum kejangkit langsung kasih tahu apa yang terjadi di sana. Indonesia masih kelihatan baik-baik aja, tapi ayah udah punya firasat lain. Saat itu juga, ayah suruh Ibu yang hamil tua sama Arival yang masih balita pergi ke daerah perbukitan sebelah barat Jogja, antisipasi kalau ada hal buruk terjadi. Ayahmu sendiri masih di kota, masih berusaha ngehubungi pemerintah buat evakuasi penduduk. Tapi itu terlambat. Penyebarannya cepat, Arisa... Nggak sampai dua jam virus itu sampai Indonesia," terang Ibunya.
"Pearl Harbour emang jauh dari sini. Indonesia juga dibatasi Samudra Pasifik sehingga infected nggak bisa sampai sini. Tapi saat itu kita belum tahu, kalau virus Moscow juga menyebar lewat udara. Pasien di rumah sakit yang kekebalannya turun langsung ke jangkit. Di situlah awal mula virus Moscow nyerang Indonesia."
Hanya mendengarkan cerita ibunya, Arisa bisa membayangkan bagaimana ngerinya keadaan kota saat itu. Infected di mana-mana. Tidak ada tempat berlindung sama sekali.
"Saat tahu berita itu, yang ibu harapkan pertama kali keselamatan ayahmu. Ibu khawatir, tapi nggak bisa berbuat apa-apa karena ibu sendiri luntang-lantung di hutan. Berusaha lari kalau ada infected yang asalnya emang penduduk bukit ngejar ibu dan Arival. Tiga hari kemudian, setelah jalan jauh karena mobil itu nggak bisa naik bukit, akhirnya ibu sampai ke kamp pengungsian yang temboknya proses dibangun. Dan seminggu kemudian, tanggal 2 September 2042 hari Selasa, kamu lahir."
Arisa tersenyum getir. Itu cerita menyenangkan, kelahirannya. Tapi terasa pahit ketika ia mengingat ayahnya.
"Ibu tahu Ayah nggak selamat dari mana?"
Ibunya menghela napas, tapi tidak terlihat berekspresi sedih seperti yang ia ekspektasikan. Ini peristiwa 20 tahun yang lalu. Ibunya pasti telah menerima kenyataan yang ada, berlapang dada. Bahkan bangkit dan bergerak untuk mencari solusi menyelamatkan dunia.
Arisa jadi teringat ucapan Biru beberapa waktu yang lalu, bahwa tidak baik bagi seseorang mengharapkan kembali mereka yang sudah pergi. Lagi pula, takdir sudah ditetapkan. Tidak bisa diubah-ubah dan ditentang.
"Setengah bulan tinggal di benteng, Ibu masih nunggu ayah dateng." Ibunya melanjutkan cerita. "Tapi semua itu selesai setelah rombongan kecil yang selamat dari kota datang ke benteng. Mereka kenal ayahmu. Dan bagian menyakitkannya, mereka bilang Ayahmu nggak selamat."
Arisa menatap ibunya dari samping. Ibunya memang menceritakan hal menyedihkan, tapi wanita itu tidak terlarut di dalamnya. Ia hanya mengisahkan sebuah fakta, peristiwa masa lalu tentang suaminya yang wajar ia kenang.
"Ibu terpukul. Beberapa hari setelah tahu kabar itu, banyak pertanyaan yang terngiang-ngiang di kepala ibu. Kenapa Ibu enggak mati barang ayahmu? Kenapa Ibu masih hidup sampai sekarang? Dulu Ibu pikir cinta sejati itu sehidup semati. Tapi ibu tahu itu pikiran dangkal. Ibu punya kamu sama Arival. Dan setelah lihat kalian berdua, Ibu semakin ngerti apa alasan kenapa ibu tetap harus bertahan. Cinta sejati itu nggak harus selalu tentang kebersamaan, tetapi juga menjaga apa yang dimiliki bersama. Menjaga komitmen, menjaga hati, dan dalam kasus Ibu, menjaga buah hati. Namanya bukan cinta sejati kalau Ibu lebih pilih bunuh diri dan nyia-nyiain kalian berdua."
Hening sejenak. Arisa beringsut memeluk ibunya, lagi. Ia terharu untuk kesekian kalinya. Arisa memang belum merasakannya. Tapi ia tahu seorang ibu akan mencintai anaknya lebih dari siapa pun, bahkan dari suaminya sendiri. Ikatan mereka terlampau kuat.
Hening kembali menjalar. Kepala Arisa masih bersandar di bahu ibunya. Ia terdiam, berkutat dengan pikirannya.
"Setelah ini...," Arisa teringat suatu hal. "Aku bakal lupa banyak kejadian, kan, Bu?"
Ya, ingatan Arisa yang sesungguhnya akan dikembalikan. Ia tidak akan ingat tentang dunia kosong. Ia tidak akan ingat petualangan menyenangkan di sana. Ia tidak akan ingat kejahatan Arktik dan tipu dayanya. Ia tidak akan pernah menjadi bagian dalam penyelamatan dunia. Ia tidak akan ingat pernah duduk seperti ini, bersandar pada bahwa ibunya seperti anak kecil. Dan yang terakhir, ia tidak akan ingat memori ibunya. Ia tidak akan ingat bagaimana sosok Aris Adijaya, ayahnya.
Ini bagian menyesakkannya. Arisa asli kembali bangunan dan tidak mengetahui apa-apa.
Ia ingin ibunya mengatur sedemikian rupa agar ingatannya beberapa waktu ini tetap berada di otak, memanipulasinya. Tetapi ibunya tentu saja tidak ingin mengambil risiko. Hal itu tentu saja akan mengacaukan pikiran dan menimbulkan disorientasi, merasakan kenangan yang satu bertimpang tindih dengan kenangan lain, membingungkan. Arisa bisa jadi akan kehilangan kewarasan jika tetap keras kepala melakukannya.
Ibunya menggangguk. "Ibu tahu kamu pasti sedih, tapi itu satu-satunya yang harus dilakuin. Kamu nggak mungkin selamanya di ingatan Ibu."
Arisa mengangguk. Ia sungguh mengerti hal itu.
"Pengembalian ingatan 42 orang penyumbang kekebalan masih besok lusa. Masih ada waktu buat nulis jurnal peristiwa penting supaya Arisa asli nanti bisa baca dan paham. Mau dicoba?" kata ibunya.
Arisa tertegun. Ia sudah memikirkannya sejak lama, tetapi waktu semakin menipis. Ia harus bergerak cepat.
"Ibu punya laptop?" Arisa bertanya.
Ia rasa ia punya rencana besar.