"... for the rest of my life, say yes, say yes, 'cause I– Allya mau kemana?" Gadis si empunya nama yang sudah berada beberapa langkah darinya berhenti dan berbalik menghampirinya. Ia terlihat bergembira. Bisa dilihat dengan senyuman yang tak henti ditampilkan dan lompatan ringan di tiap langkahnya.
"Mau abisin uang jajan Babas, hihi. Kemarin kan dia kalah, jadi harus traktir kita selama seminggu ke depan. Ayo ikut, Ella, mumpung belnya masih lama." Allya menarik lengan Michaella untuk mengikutinya.
"Tunggu, aku taro tas dulu, sebentar." Gadis itu segera masuk ke dalam kelas dan meletakkan tas ranselnya di samping tempat duduknya. Tak lama kemudian Michaella menghampiri Allya dan mengikutinya menuju kantin.
"Silahkan di pesan sarapannya nona-nona. Ini menunya," sambut Babas sembari memberikan daftar menu ketika kedua gadis itu sampai di kantin. Sepertinya ia sudah pasrah dengan keadaannya. Sudah jatuh tercebur kolam ikan, harus mentraktir selama seminggu penuh pula.
"Aku tadi uda sarapan di rumah. Kamu aja yang pesen," ucap Michaella kepada Allya ketika ibu penjaga kantin datang menghampiri mereka.
"Susu coklat aja." Beberapa menit kemudian pesanan Allya datang. Minum susu coklat hangat terasa sangat pas apalagi dengan cuaca pagi ini yang mendung.
"Bas gua mau saos. Ambilin dong," suruh Langit.
"Lo buta ya?! Itu di depan lo botol saos!" sewot Babas.
"Gua gak mau. Mau nya yang itu." Langit menunjuk botol saos di meja yang letaknya di ujung kantin. "Ambilin ya? Babas kan anak baik."
"Terserah!"
"Terserah, terserah, tapi diambilin juga," celetuk Dave ketika Babas kembali dengan botol saus di tangannya.
"Tolong kesadarannya ya, tuan-tuan sekalian," sindir Babas ketika beberapa pemuda di mejanya hendak memesan lagi.
Kagendra melayangkan tatapan protes. "Ih, gua mau pesen minum doang."
"No."
"Udah, gakpapa Gen. Ini hari Rabu, istirahat kita tiga kali." Kagendra tersenyum mendengar ucapan Dave lalu bertos ria dengannya.
"Gila lo ya, bener-bener mau buat gua bangkrut."
"Abang Babas kan kaya." Kagendra mengedipkan matanya.
"Buat motor bisa, masa buat sahabat sendiri gak bisa," tambah Ziel.
"Tapi–"
Kringg!
"Ok sudah bel. Mari kita pergi ke kelas masing-masing teman-teman." Langit bangkit dari duduknya diikuti yang lainnya lalu mulai beranjak keluar kantin.
"Woi tungguin!" seru Babas. Saat ia hendak menyusul, ibu penjaga kantin menghampirinya dengan nota makanan yang telah mereka pesan.
"Hey, ini bayar dulu!"
"Aduh, ini." Pemuda itu menyerahkan selembar uang bewarna merah.
"Kembaliannya nanti aja. Bye ibuu." Babas mengkiss-bye ibu penjaga kantin lalu lari menyusul yang lainnya.
~~~
Ziel membenci ini. Ia membenci ketika membuka loker dan yang ia temui adalah barang-barang dari para siswi yang mengaguminya. Coklat dan surat adalah dua barang yang selalu ada di sana. Entah bagaimana para siswi itu bisa membuka lokernya, padahal ia sudah beberapa kali mengganti kunci loker yang bahkan bentuknya ia kostum sendiri agar tidak mendapati barang-barang itu lagi di lokernya. Tapi nihil. Lokernya masih saja penuh dengan kedua barang itu.
"Wii Ziel, masih penuh aja lokernya. Banyak yang suka nih." Pemuda itu sedikit terlonjak kaget ketika mendengar suara seorang gadis yang amat dikenalnya. Dengan cepat ia menyembunyikan rasa terkejutnya dan kembali memasang wajah datar.
"Ayo, ke kantin." Ziel meraih tangan gadis itu.
"Gak mau!"
"Kenapa?" tanya pemuda itu heran.
"Ke perpus aja. Yang lain juga ada di sana kok."
"Tapi aku maunya berdua aja sama kamu."
Blush
Pipi Allya memerah. Ini bukan kali pertama Ziel menggoda dirinya, tapi rasanya masih sama. Ia masih tidak bisa menahan semburat merah di pipinya serta kedutan di bibirnya untuk membuat senyuman.
"Pipi kamu merah. Kayak tomat. Kesukaan aku."
Lagi. Pemuda itu menggodanya lagi.
Tangan Allya terangkat, memukul pelan dada pemuda di hadapannya. "Ah, Zielll. Suka banget si kayak gitu."
"Karena kamu lucu," ujar pemuda itu sembari mencubit pipi Allya.
"Aw, sakit tau. Udah, ayo ke perpus." Allya menarik tangan Ziel. Namun, pemuda itu masih belum juga beranjak dari posisinya.
"Gak mau."
Allya membalikkan badannya. Wajahnya terlihat kesal dengan tangan dilipat di depan dada. Tapi menurut Ziel, gadis itu malah terlihat sangat menggemaskan.
"Yaudah!" ketus Allya. Ia berjalan meninggalkan Ziel dengan kaki yang dihentak-hentak. Ia kesal.
Beberapa langkah gadis itu berjalan, menambah jaraknya antara Ziel dan dirinya. Tepat sebelum gadis itu menaiki tangga, ia berbalik badan.
"ZIEL," rengek gadis itu. Tersirat nada kesal dan merajuk di dalamnya.
"Hahah.. iya-iya. Ayo, tuan putri."
~~~
Dentuman bola basket dan decitan sepatu mendominasi lapangan indoor SMA Garuda Sakti. Terlihat 10 orang siswa menempati lapangan saling memperebutkan bola.
Pritt!
"Aduh, Langit, kurang power!" Coach berusia 40an itu mengkoreksi permainan Langit.
"Biasanya kamu three point masuk. Turun 25!" Kagendra terkekeh kecil melihat Langit yang disuruh push up 25 kali.
"Ketawain Langit? Turun 10!"
"Ih, coach," rengek pemuda itu.
"Nawar? 15." Tanpa basa-basi Kagendra segera push up 15 kali. Ia tidak mau hukumannya bertambah lagi.
"Yang lain istirahat 10 menit. Abis ini last game."
"Selesai ujian ada event kayak biasa kan?" tanya couch Ifan.
"Iya. Ini kemarin udah rapat OSIS bahas event itu," jawab Babas.
"Tahun ini ada peluang kita. Kemarin sayang banget itu. Di last minute lagi. Kalo mereka ga berani shoot kita yang menang."
Dave mengencangkan tali sepatunya. "Tahun ini yang jago-jago udah pada lulus kan, coach? Yang botak itu."
"Oh, iya itu. Waduh three point shoot sama lay up kirinya. Untung kakak kelas kalian bisa imbangin."
"Tahun ini kelas 12 kok gak main sih, coach?" tanya Kagendra.
"Ya kan mereka siapin buat ujian segala macem."
Ziel ikut bergabung setelah bermain horse dengan Langit. "Tapi kita gak bisa remehin Dirgantara. Katanya Adrian sekolah di sana."
"Adrian anak club itu?" tanya coach Ifan tak percaya. Ziel mengangguk menanggapinya.
"Wah, susah nih. Makanya, kalo mau menang, disuruh lari, lari. Tiap hari nambah satu menit. Biar kuat sampe quarter 4. Ya kan, Gendra?" Ifan menepuk pundak Kagendra.
"Hehe, iya coach."
"Coach kita gak main lagi?" tanya seorang siswa kelas X.
"Udah jam segini, udahan aja ya, mendung juga. Yang mau ganti baju atau mandi, sana buruan. Yang ngga, langsung pulang."
"Ok, coach."
Mereka semua membubarkan diri dan langsung bersiap untuk pulang. Melihat langit yang gelap karena mendung, sepertinya akan membuat mereka terjebak hujan di sekolah jika membersihkan diri terlebih dahulu. Dalam waktu kurang dari 20 menit, lapangan indoor SMA Garuda Sakti sudah kosong.
~~~
"Gimana hasilnya?" tanya seorang gadis berambut coklat.
"Lumayan ada perkembangan," jawab gadis yang lainnya sambil tersenyum tipis.
"Bagus, dong. Kenapa muka lu lesu gitu?"
Gadis itu menghela napasnya. "Lo tau kan bulan depan ulang tahunnya siapa?"
"Tante Rosa, right?"
"Ulang tahun ke 50 nya, and as always, party. Lo tau siapa aja yang bakal dateng. Gimana kalo temen-temennya Bian tau gua sahabat masa kecilnya Bian? Apalagi Al–"
"Chel, c'mon. Lo gak bisa sembunyi kayak gini terus. Semuanya pasti akan tau."
"Tapi–"
"Gak, Chel. Gua tau lo. Lo nggak akan diem aja kan liat kedekatan Ziel sama Allya. Gua tau hati lo sakit. Dan gua yakin suatu saat tanpa sadar lo sendiri yang akan bongkar fakta itu."