12 Masih kesukaannya, bukan kesayangan

Belum lima menit setelah bel istirahat dibunyikan, keadaan kantin sudah ramai dengan siswa-siswi yang ingin mengisi perutnya. Sama seperti di kantin kebanyakan sekolah, di SMA Garuda Sakti juga terdapat beberapa meja yang sudah tercap 'milik mereka' sehingga walaupun keadaan kantin ramai dan tidak ada tempat lagi, meja itu tetap tidak akan ditempati. Salah satunya meja yang terletak di ujung kantin dekat taman.

"Duit lu banyak terus sih, Bas."

"Oh, iya dong. Gua kan ada bisnis. Lu kalo mau join, boleh kok. Gua open member."

"Apaan emang?"

Pemuda dengan bekas luka samar di pipi kirinya itu menarik lengan Kagendra untuk membisikinya sesuatu. Setelah selesai, pemuda itu tersenyum lalu meletakkan telunjuknya di depan bibir. Kagendra tercengang sesaat ketika mendengar bisikan Babas.

"Beneran? Parah lu, Bas. Gua bilangin ya." Kagendra menatap Babas dengan pandangan tak percaya.

"Eit, by the way, pendapatannya berapa?" Dan sedetik kemudian pemuda itu menggeser dirinya mendekat ke arah Babas. Ekspresinya berseri. Ia terlihat antusias dengan pembicaraan ini.

"Perbulan satu lebih dapet lah. Kalo valentine atau perayaan lain, bisa dapet dua. Gampang kok, lu juga banyak contact cewe kan? Tawarin aja mereka" jelas Babas.

"Ok, fix. Gua ikut." Babas menjabat uluran tangan Kagendra.

"Lu bisnis apaan, Bas? Valentine? Jualan bunga lu?" tanya Dave heran.

"Ada, deh." Kagendra terkikik kecil.

"Oh, iya Dave. Waktu itu lu kemana? Yang abis nganter Ella," tanya Langit.

Pemuda dengan anting tindikkan di telinga kirinya itu menyeruput jus jambunya hingga tersisa setengah. "Oh, itu. Karena ujannya gak berenti-berenti, ya gua nginep di rumah dia."

Kagendra memajukan tubuhnya. "Hayoo, ngapain lo berdua? Pas ujan-ujan lagi, kan dingin tuh."

Allya mengetuk pelan kepala Kagendra. "Gendra! Pikirannya ya!"

"Ngga, kok. Gua tidur di kamar bawah. Dia di atas sama temennya. Siapa namanya tuh?"

"Cindy." Michaella melebarkan senyumannya. Ia memutar tubuhnya ke samping. "Bian tau Cindy kan? Cindy yang waktu itu kita main bareng di pan–"

"Bentar lagi bel. Gua balik ke kelas." Ziel segera beranjak dari tempat duduknya. Langkahnya panjang dan terlihat terburu-buru.

Keenam orang yang ditinggalkan di meja menatap heran kepergian Ziel. Tidak seperti biasanya Ziel meninggalkan meja sebelum menyelesaikan makannya. Apalagi menu hari ini adalah spaghetti bolognese dengan extra irisan tomat, termasuk makanan kesukaannya.

"Biar aku yang susul, dia pasti masih laper." Allya mengambil piring spaghetti beserta minumannya lalu pergi menyusul Ziel.

~~~

Buk!

Suara itu mengalihkan perhatian beberapa siswa-siswi yang sedang berkutik dengan beberapa lembar kertas ataupun buku-buku di tangannya. Setelah melihat si pembuat suara dan apa yang dilakukannya, mereka kembali fokus pada benda-benda di tangannya. Menganggap hal itu hanya angin lalu.

"Waduh, gak bisa gua. Materinya banyak banget, arghh.." keluh pemuda yang sedang tidur telentang di atas karpet.

Dave mengusap kasar wajahnya. Ia melirik Kagendra yang telentang sambil menaikkan satu kakinya. Kaki pemuda itu menyenggol pelan badan Kagendra untuk sedikit bergeser lalu ikut tidur telentang di sampingnya. "Iya, gila. Apalagi matematika, ngapain suruh cari x nya? Kalo udah putus ya putus aja kali."

Mencari x? Putus? Langit mengerutkan dahinya mendengar penuturan Dave. Namun, beberapa detik kemudian ia ber-oh ria ketika mengerti maksud ucapan Dave. Ex, mantan.

"Kayak Babas, dong. Udah putus masih aja dicari-cari," ledeknya.

Babas yang merasa namanya disebut menutup buku di tangannya lalu turun ke karpet dari sofa yang ia duduki dengan Ziel.

"Tau ah, coba aja si Jesse milih tanding balapan, bukan yang paling romantis. Pasti gua menang tuh. Lagian ya, gua yakin, Jesse pasti dipelet sama si curut. F*ck lah," umpat Babas.

Ziel ikut turun bergabung dengan yang lainnya. "Mereka bukannya udah putus?"

"WHAT? BENERAN? HAHAHHAHAH BAGUS LAH. GUA YAKIN JESSE JUGA MALU PACARAN SAMA–"

"Tapi boong."

"Hah?" Babas mengadahkan kepalanya ke atas. Berusaha mencerna maksud ucapan Ziel barusan.

"HAH? JINGAN YA EL! BENER-BENER LO! GUA–"

"HEH SUARA SIAPA ITU? INI PERPUSTAKAAN, BUKAN PASAR! BABAS YA? SINI KAMU!" Suara ibu penjaga perpustakaan terdengar menggelegar.

"Mati gua."

~~~

Seorang gadis berambut hitam kecoklatan itu tak hentinya mengekor di belakang pemuda yang sama sekali tak menghiraukannya. Hingga akhirnya pemuda itu berhenti secara tiba-tiba membuat kepala gadis itu terantuk punggung tegapnya.

"Apa?"

Gadis itu tersenyum. Setelah mengikuti pemuda ini dari lantai 3 ke lantai 1, akhirnya ia dinotice juga.

"Bian, anterin–"

"Lo bisa gak sih? Stop panggil gua 'Bian'."

"Ngga," jawab Michaella polos sambil menggelengkan kepalanya. Senyumnya merekah ketika pemuda di hadapannya mendengus sebal.

"Nanti anterin pulang, ya? Pleasee," pintanya.

"Gak."

"Ih, ayo, Bian.." rengek gadis itu.

"Gak."

Michaella menyipitkan matanya. Ia berkacak pinggang. "Kenapa sih? Sama Allya mau, sama aku kenapa ngga?"

Ziel tak menghiraukan ucapan Michaella. Ia mulai beranjak dari tempatnya.

"Aku bilangin Tante Rosa, ya!" ancamnya.

Mendengar nama mamanya disebut membuat Ziel menghentikan langkahnya. Ia menatap Michaella yang sedang tersenyum aneh padanya.

"Mau ngapain? Ngadu? Ngadu aja, gak takut."

Michaella tertawa dalam hati. Tak takut? Jelas ada nada keraguan di ucapannya barusan. Sepertinya ketakutan diomeli sang mama masih menjadi kelemahan Ziel dibalik tampang datar dan sifatnya yang dingin itu.

"Yakin?" Gadis itu menatap pemuda itu dari kepala sampai ujung kaki dengan tatapan meremehkan.

"Iya!"

"Okayy." Michaella mulai mengotak-ngatik benda pipih di tangannya hingga nada sambung terdengar. Ia sengaja menyalakan speaker agar pemuda di ujung sana mendengarnya.

"Beneran nelfon?" tanya pemuda itu.

Michaella tidak menjawab. Ia malah meledek Ziel dengan mengulang ucapannya barusan dengan gerak bibirnya.

"Halo?" ucap suara di seberang sana.

"Halo, onty."

"Kenapa Ella? Kamu baik-baik aja kan?"

"Baik kok, onty. Tapi.." Michaella menggantung kalimatnya. Ia melirik Ziel yang masih diam di tempatnya berdiri.

"Tapi apa Ella? Jangan bilang Ziel lagi. Mana sini anaknya?!" Gadis itu menjauhkan ponselnya ketika Rosa menaikkan volume bicaranya.

"Nggak kok ma, Ziel gak ngapa-ngapain." Michaella terkejut ketika Ziel sudah ada di sampingnya. Pemuda itu menatap ragu ponsel Michaella persis seperti anak kecil yang ketakutan saat diomeli mamanya.

"Boong, onty. Ella tadi minta dianterin pulang, tapi kata Bian gamau."

Ziel melirik tajam Michaella. Lalu kembali ke tatapannya semula ke ponsel gadis itu. "Tapi Ziel kan hari ini jadwal lari, ma."

"Nggak ada tapi-tapian Ziel. Emang kamu gak bisa minta Ella buat nunggu kamu lari dulu? Ella mau kan nunggu Ziel?" tanya Rosa.

"Mau kok onty."

"Tuh, denger Ziel. Selesai lari kamu langsung anterin Ella pulang."

"Iya ma," jawab Ziel patuh.

"Ya udah. Hati-hati, jangan ngebut."

"Iya, thankyou onty." Sambungan terputus. Michaella tersenyum puas.

"Udah sana lari, Bian." Gadis itu mengibaskan tangannya menyuruh Ziel untuk pergi.

"Dasar ngaduan," gerutu pemuda itu.

"Dasar cemen. Diomelin mama takut."

"Dasar pendek," serang Ziel lagi tak mau kalah.

"Dasar.." Ibu jari dan telunjuk Michaella terangkat, seperti mengukur sesuatu. "Kecil."

Ucapan ambigu Michaella membuat Ziel segera melihat ke arah celananya. Ia mengerutkan dahinya. "Enak aja lo. Jangan sembarangan."

"Bodo. Bye kecil.." Michaella melewati Ziel tanpa menghiraukan tatapan protes yang ia layangkan padanya. Jalannya ia buat berlenggak-lenggok meledek pemuda itu. Senyuman tak bisa gadis itu tahan untuk terpatri di wajahnya. Ia puas setelah me-roasting Ziel.

~~~

Motor ninja bewarna hitam itu berhenti tepat di depan pagar rumah bewarna putih. Seorang gadis di kursi penumpang turun dari motor. Ia merapikan rok pramuka-nya yang sedikit lecek di beberapa bagian.

"Bian mau masuk dulu ga?" tawar gadis itu.

"Nggak. Udah cepet sana masuk."

"Buru-buru banget, sih. Emang mau kemana lagi abis ini?"

"Jalan sama Allya. Kenapa? Mau ikut?"

"Mau." Lagi-lagi jawaban yang tak disangka kembali ia dapatkan.

"Eh, nggak-nggak. Udah sana cepet masuk."

"Ah, Bian mah. Yauda, bye."

Gadis itu merogoh saku roknya dan mengeluarkan kunci gerbang. Gerbang putih itu terbuka. Sesaat sebelum Michaella masuk, Ia membalikkan badannya.

"By the way.. Allya. Masih kesukaan kan? Bukan kesayangan."

Setelah mengatakan itu, tubuhnya menghilang ketika pagar putih itu tertutup. Meninggalkan Ziel yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

avataravatar
Next chapter