webnovel

Al Kahfi Land 1 - Menyusuri Waktu

Uge, mahasiswa I TB, mengenal Widi, arsitek di Al Kahfi Land, melalui Chatting Lintas Waktu. Awalnya mereka tidak percaya berada di waktu berbeda, karena penasaran Uge mendatangi kantor Widi. Ternyata di sana tidak ada satu pun bangunan, Uge hanya berjumpa kawasan luas hutan pinus dan danau. Tentu saja, karena ia baru ingin membuat rancangan sketsa kantor itu setelah tiba di sana. Berbagai bukti muncul, akhirnya mereka yakin berada di tahun berbeda. Uge di tahun 1999 dan Widi di tahun 2004. Simak novel romantis yang akan membawa pembaca menuju suasana rentang waktu tahun 1999 - 2004.

penakopihitam · 历史
分數不夠
29 Chs

Kilau Bintang Setelah Hujan

Al Kahfi Land Office, Depok, 2004

Sejak pagi hingga malam, langit menumpahkan air lebih banyak dari biasanya, seolah ingin membersihkan udara dari polusi pembangunan yang mulai menjepit di luar kawasan hutan pinus.

Kantor telah sepi. Seperti biasa, Widi merupakan salah satu penghuni malam paling setia di kantor Segitiga selain petugas keamanan. Setelah seharian menanti, akhirnya seseorang yang ia tunggu muncul di dunia maya.

"Sukses ya, ngerjain! Tega banget! Dari Bandung ke Depok kan jauh, Wid," tulis Uge.

"Kamu beneran datang?" tanya Widi.

"Iya. Aku udah ketemu sama jalan terusan Kahfi yang ada di sepanjang hutan pinus, di sana enggak ada bangunan sama sekali."

"Mungkin kelewat, posisi kantorku memang enggak dipinggir jalan, kamu harus turun ke bawah, nanti bangunannya baru kelihatan. Tapi gerbangnya besar kok. Oh iya! Aku lupa ngasih tahu nama kantornya! Maaf ya, Ge."

"Aku udah 3 kali bolak-balik, tapi enggak ketemu gerbang. Karena ngelihat ada jalan setapak, aku berhenti. Ternyata itu jalur buat nurunin lembah. Sampai di bawah sana, cuma ada danau dan satu dataran kecil semacam pulau. Kawasan hutan pinus itu memang belum kesentuh bangunan. Aku malah udah ketemu sama yang punya tanah."

Widi bersandar lemas di kursinya, dengan malas, ia mengetik. "Semakin terbukti. Kita memang beda waktu."

"Kenapa nyimpulin gitu sih?"

"Kemarin aku telpon ke kosan, kata Kang Ujang kamu udah pergi 5 tahun yang lalu. Hari ini kamu datang ke kawasan hutan pinus, ternyata kantor aku belum ada."

"Ah itu sih kamu ngarang aja. Ternyata kamu yang terobsesi sama hal lintas waktu."

"Oke, kemarin kamu sempet konfirmasi enggak ke Kang Ujang, kalo dia nerima telpon dari aku?"

"Udah. Katanya, kemarin dia seharian enggak angkat telpon. Lagian nama Ujang kan pasaran banget di Bandung, hehe."

"Kalo gitu, aku salah sambung. Orang yang pakai nama Kang Ujang itu bilang, Oh, Den Uge nu alim seperti ustad, nu getol ka masjid, gondrong, tinggi, kasep tapi awut-awutan, suka di kamar terus dan sebagainya. Maap Neng, Kang Ujang banyak nanya teh, karna takut ketuker sama Den Agi."

Uge terkejut. "Kayaknya kamu bener. Kang Ujang kosan Bodas memang suka nyerocos kaya gitu. Si Agi itu juga memang sering dianggap mirip sama aku, walau sebenarnya enggak."

"Ge, kita memang beda waktu! Kantorku ada di dekat danau itu, persis di depan pulau kecil itu. Hari ini aku sengaja enggak mau ninggalin kantor dan bolak-balik terus ke lobi untuk mastiin ke resepsionis siapa aja tamu yang datang. Kebetulan di catatan mereka, enggak ada tamu yang asing. Kamu tadi datang saat kantor ini belum ada."

Tiba-tiba Pak Jajat datang, ia mengetuk pintu kaca ruangan Widi. Widi tersenyum mempersilakannya masuk.

"Mbak Widi, maaf saya mengganggu nih," ujar Pak Jajat.

"Enggak lah. Ada apa, Pak Jajat?" tanya Widi.

"Mbak Widi dipanggil Pak Erlangga di rumah kotak."

"Tumben. Waduh, serem nih."

"Tadi sih tampangnya lagi adem. Saya ambil payung dulu di depan ya, Mbak."

"Enggak usah Pak Jajat, saya punya jas hujan motor kok," sahut Widi.

"Masa ke rumah Segi Empat pake jas ujan? Entar dikira Bapak, ada astronot, hehe. Tunggu di teras aja, entar saya anterin payungnya."

"Ya udah, terimakasih Pak Jajat," jawab Widi sambil tertawa.

"Sama-sama, Mbak Widi," sahut Pak Jajat sambil meninggalkan Widi.

Widi membaca tulisan Uge di monitor komputer.

"Wah, kabar baik nih! Kalo kamu ngantor di sana, kemungkinan besar aku bakal jadi bos kamu," ujar Uge.

Widi tertawa, kemudian ia mengetik.

"Mudah-mudahan kamu memang bisa jadi bosku. Soalnya sekarang aku lagi dipanggil dia. Mungkin mau ngomongin soal chatting lintas waktu ini, hehe. Enggak apa-apalah, dari pada manggil buat marah-marah."

"Ya udah, setelah ketemu aku yang ada di masa depan, nanti kamu ceritain ya."

"Ada-ada aja, hehe. Uge, besok hari sabtu, seharusnya libur, tapi aku akan tetep masuk untuk ngelanjutin denger cerita soal kedatangan kamu, soalnya situs chatting ini cuma bisa diakses dari kantor."

"Sama, aku juga cuma bisa akses dari kosan Bodas. Oke, besok kita malam mingguan ya,"

"5 tahun yang akan datang aja, nanti aku traktir deh, tapi malam ini gajiku kamu naikin dulu ya, Bos! Catet biar enggak lupa, masih lama soalnya, hihihi."

"Hahaha! Lupa sih kayaknya enggak, cuma itu kan baru rencana. Doain aja biar beneran bisa jadi bos kamu."

*****

Widi menunggu Pak Jajat di teras yang menghadap rumah kotak. Kalau hujan ini tidak terlalu lebat, Widi pasti sudah menembusnya. Ia sangat kuatir, ia menduga pasti ada hal yang sangat penting, sehingga Erlangga memanggilnya langsung, biasanya semua urusan pekerjaannya disampaikan melalui Desmond.

Derasnya hujan menghalangi pandangan Widi, tetapi ia masih bisa melihat bayangan samar seseorang berjalan di jembatan ala dermaga menuju kantor Segitiga.

Widi berusaha memastikan sosok yang semakin mendekat itu. Wujudnya agak terlihat, tetapi Widi tidak dapat melihat wajahnya karena tertutup payung besar yang condong ke depan. Orang itu tampak berusaha menghindari terpaan hujan yang tertiup angin kencang dari arah depannya.

Setelah sampai di teras, laki-laki itu menutup payungnya. Sekarang Widi bisa melihat wajah orang itu, ia pun terkejut.

"Selamat malam, Widi?" sapa Erlangga.

Widi tercengang memandangi Erlangga seolah melihat hantu.

"Ada yang mau saya bicarakan di rumah Segi Empat, yuk ke sana," ajak Erlangga.

Widi masih terkesima. Apa cuma mirip? Rasanya enggak mungkin.

"Ada apa?" tanya Erlangga. ia heran melihat Widi yang mematung. "Widi."

"Oh maaf. Iya, iya, bisa pak," sahut Widi gugup.

Akhirnya Widi memutuskan untuk menganggap Erlangga hanya seorang yang sangat mirip dengan seseorang yang pernah dikenalnya, tetapi ternyata ia masih punya kebingungan lain. Erlangga hanya membawa satu payung, rasanya canggung berjalan dipayungi orang yang paling dihormati di kantor ini.

Tidak ada pilihan!

Widi melangkah cepat menembus hujan. Tanpa ampun, hujan langsung mengguyurnya hingga basah kuyup.

Erlangga segera menyusul. Setelah dekat, ia merangkul Widi agar berada di dalam naungan payung besar yang ia pegang. "Kok malah ditembus? Padahal saya sengaja jemput kamu supaya enggak kehujanan."

Widi diam seribu bahasa. Sejuta rasa berkecamuk dalam pikiran Widi saat dipayungi Erlangga. Hatinya masih belum terima jika laki-laki di sebelahnya ini bukan orang yang pernah singgah di hatinya. Sesekali Widi melirik wajah Erlangga, ia semakin bingung menghadapi situasi aneh ini. Erlangga melepas rangkulannya, ia mengira Widi berkali-kali memandanginya karena risih.

Sampai di rumah Segi Empat, Erlangga bergegas masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan membawa handuk.

"Keringin dulu sebisanya, biar kamu enggak sakit," ujar Erlangga sambil menutup tubuh Widi dengan handuk.

Widi masih berusaha mencari perbedaan pada fisik dan sikap Erlangga, agar ia yakin bahwa orang ini memang baru ia kenal hari ini.

Tiba-tiba hujan mendadak reda dan berangsur berhenti.

Erlangga tertawa. "Udah kuyup, hujannya mendadak berhenti. Kayaknya emang cuma mau nyuruh kamu mandi, biar enggak dekil-dekil banget."

Nah! Sekarang aku yakin, dia emang Si Ucup. Ternyata mulut manusia ini memang kaya enggak pernah disekolahin, gerutu Widi di dalam hati.

"Yuk ke dalam," ajak Erlangga.

Widi mengikuti Erlangga masuk ke dalam rumah sambil mengeringkan wajah dan rambutnya. Ia memperhatikan seluruh isi ruangan yang masih sesuai dengan penataannya, tanpa ia sadari, Erlangga memperhatikannya dan tersenyum geli. Masih aja pake jaket butut yang sama.

"Kenapa, Pak?" tanya Widi, ia merasa risih dipandangi.

"Wajah kamu kok enggak asing, ya?" tanya Erlangga.

Widi terkejut. Duh! Ini siapa sih sebenarnya?

"Kamu pikir, kita baru ketemu malam ini?' tanya Erlangga.

Nah! Iya, kan? Aku bilang juga apa. Kini Widi yakin, ia memang berhadapan dengan laki-laki yang pernah melamarnya.

Dengan percaya diri Widi menatap Erlangga dengan wajah kesal. "Sebenarnya dari tadi aku tuh mau nanya, kamu itu kemana aja? Aneh banget, kita udah di sini bertahun-tahun di tempat yang sama, tapi baru sekarang kamu mau nemuin aku."

Erlangga merasa aneh mendengar kalimat Widi. "Maaf ya, saya baru sempet mampir ke ruangan kamu, maklum urusan saya kan enggak cuma datengin karyawan. Tapi kamu bener, kita udah di sini bertahun-tahun di tempat yang sama, jelas aja wajah kamu enggak asing. Kita itu pertama kali ketemu, ya pas kamu jatuh, hahaha. Maaf juga ya, karena aku enggak nolongin."

Widi sangat malu, benaknya jadi ramai dengan percakapannya sendiri. Ini orang emang si ucup! Sudahlah Wid, walau sangat mirip, tapi dia memang orang lain.

"Maaf pak, rupanya saya yang keliru, bapak mirip teman saya, kalimat saya jadi ambigu," sahut Widi dengan suara yang terdengar gemetar, malu sekalgus kedinginan.

"Santai aja. Tuh, kamu makin kedinginan, tapi kebetulan banget." Erlangga menunjuk tas-tas kantong belanja di atas sofa. "Saya memang mau kasih semua barang-barang itu untuk kamu, ternyata langsung berguna, jangan nolak!"

"Itu buat apa, Pak?" tanya Widi.

"Nanti saya ceritakan. Kamu kelihatan makin kedinginan, di dalam bungkusan-bungkusan itu, ada banyak setelan pakaian, tas hingga sepatu baru. Kamu salin aja dulu dengan yang kering, saya tunggu di tepi danau," perintah Erlangga.

*****

Di kamar mandi Widi menganalisa alasan Erlangga membelikannya banyak barang.

Apa karena penampilanku memperburuk citra perusahaan? Si Ucup sampe turun tangan segala. Gawat!

Widi memeriksa isi tas-tas belanja dari Erlangga.

Wah, ini sih barang-barang mahal, brand cewek-cewek jetset kaya Soffie. Ukurannya kok bisa pas gini? Tahu dari mana si Ucup?

Widi memandangi dirinya di cermin sambil menempelkan salah satu baju di bagian depan tubuhnya. Harga enggak bohong, belum dipakai aja aku langsung kelihatan beda, tapi kenapa malah jadi mirip Soffie?

Widi memandangi wajahnya yang sudah lama tidak tersentuh perabotan pembersih. Setelan baju mahal ini membuatnya merasa harus mengoreksi hal-hal yang tidak sesuai. Ia memperhatikan isi rak kaca, di situ terdapat banyak produk perawatan wajah, badan, rambut dan sebagainya, sangat lengkap.

Mudah-mudahan dia enggak keberatan perabotannya diberdayakan.

*****

Erlangga duduk di kursi yang berada di tepi danau. Ia terkesima melihat Widi yang berjalan menghampirinya, bagai melihat ulat yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.

Erlangga memang sudah melihat kecantikan tersembunyi di balik bungkus lusuh. Setelah Widi menanggalkan kamuflasenya, ia malah lebih cantik dari perkiraan Erlangga.

"Pak. Maaf. Tadi saya pakai segala macam perawatan yang ada di rak kamar mandi, supaya enggak kebanting sama setelan baju ini."

"Oh? Itu sih harusnya buat cowok. Oke, kalo gitu nanti saya beliin juga yang khusus cewek. Silakan duduk, Wid," ujar Erlangga sambil memberikan tempat untuk Widi.

Widi malu sekali, terbukti ia memang sudah lama tidak pernah mengurus diri, sehingga tidak tahu bahwa segala perabotan pembersih itu kini punya gender.

"Wid. Serius, saya pangling. Ternyata kamu cantik banget."

"Berarti karena pengaruh baju mahal."

Erlangga tertawa. "Mindset yang salah! Harusnya dijawab, saya terlihat cantik karena pakai sesuatu yang sesuai dengan saya."

"Iya, ya. Enggak kepikiran," sahut Widi santai. Ia tidak mau terkesan seperti kebanyakan pekerja di sini yang suka menjilat atasan. Widi ingin Erlangga menghargainya karena kualitas pekerjaannya.

"Wid. Kita ini kan arsitek! Kamu pasti tahu, kalo sekedar bikin bangunan biasa, tukang juga bisa. Jualan utama saya adalah keindahan estetika. Makanya, saya sangat peduli pada semua aspek keindahan kantor ini. Mulai dari bangunan, sampai ke hal yang sekecil-kecilnya, termasuk SDM. Sehingga tanpa banyak omong, orang sudah percaya, bahwa kita yang terbaik."

"Kantor ini memang terasa seperti etalase, terlihat dari pilihan karyawannya, kebanyakan adalah mereka yang cocok dan mau dijadikan manekin untuk dipertontonkan," sahut Widi tegas, ia tidak mau ditundukkan Erlangga hanya karena sedang memakai baju pemberiannya.

"Kalimat kamu ekstrim, tapi tepat! Saya memang mau orang luar yang datang, tidak hanya kagum, tapi juga jadi rendah diri melihat kita."

"Kalo gitu, Bapak berhasil. Kesan tinggi hati itu mudah saya tangkap dari arsitektur kantor segitiga."

Erlangga tertawa. "Dari mana kamu bisa nangkap kesan itu?"

"Arsitek Kantor segitiga sengaja membuat area terbuka untuk mempamerkan kemegahan ruang-ruang khusus para petinggi di atas sana. Orang-orang yang melihatnya dari bawah tentu merasa kecil. Banyak detail di bagian atas yang membuat orang-orang di bawah penasaran, sayangnya hanya orang tertentu yang boleh menjangkaunya. Jenius, sekaligus terasa dingin."

Erlangga tersenyum. Rupanya ia malah senang mendapat perlawanan argumentasi. "Kalo rumah Segi Empat, gimana?"

"Arsitektur Rumah Segi Empat sangat sederhana, tapi terasa hangat. Arsiteknya sengaja membuatnya hampir tanpa sekat, supaya yang jauh pun terasa dekat. Masing-masing bangunan di sini tampaknya berhasil mewakili karakter arsiteknya."

"Wah, dalem juga nih sindirannya. Tapi saya justru kangen dengan suasana diskusi seperti ini. Udah lama enggak ketemu orang yang nyambung. Jadi, kantor segitiga itu terasa dingin, ya?"

"Bukannya nyindir, Pak. Cuma berusaha jujur aja. Menurut saya sih terasa dingin, tapi belum tentu orang lain juga ngerasa hal yang sama."

"Kalo gitu, kita butuh sesuatu yang hangat dari rumah kotak buat ngobrol di sini. Sebentar ya, saya mau bikin teh dulu. Kamu mau?" tanya Erlangga sambil berdiri.

Widi ikut berdiri. "Tenang. Bapak duduk aja, biar saya yang bikin. Sehebat apapun meraciknya, teh buatan bos pasti terasa pahit kalo anak buahnya cuma duduk-duduk aja. Mumpung masih alus cara nyuruhnya. "

"Hahaha. Siapa yang nyuruh? Kalo gitu, mending kita bikin bareng aja, yuk."

*****

Di dalam rumah Segi Empat, Widi sigap membuka lemari, mengambil cangkir, teh dan gula, lalu memanaskan air dengan ketel listrik.

"Kamu akrab banget sama rumah ini, Wid," komentar Erlangga.

"Oh, rumah ini pasti bikin semua orang ngerasa akrab. Hebat kan arsiteknya?"

"Ah, bangunan kotak doang aja dibanggain," canda Erlangga.

"Dari pada bangunan njlimet yang di seberang? Di tengah hutan, masih aja narsis," balas Widi.

"Itu bangunan paling berkelas di tempat ini. Enggak takut bilang begitu di depan arsiteknya?"

"Terbuktikan? Rumah Segi Empat bisa menghilangkan semua sekat. Makanya, arsitek yang bilang cuma bangunan kotak doang itu, betah di sini setiap malam."

Erlangga tertawa sambil mengambil beberapa cemilan. "Oh iya, Wid. Kamu kok sering kerja sampe malem? Rajin amat."

"Sebenernya, cuma ngulur waktu. Saya kan ngekos, kalo pulang cepet, saya males ditanya-tanya urusan pribadi. Bapak sendiri, kok betah sampe malem di sini?

"Suasananya enak."

"Betul kan? Kalo gitu, kenapa enggak tinggal di sini aja?"

"Kan butuh ganti suasana juga. Masak mau di kandang burung merpati terus?"

Keduanya tertawa.

Ketel listrik mendidih. Erlangga mengambil baki, memasukkan teh ke cangkir, lalu menuangkan air mendidih ke cangkir.

"Biar saya aja yang bawa, Pak," ujar Widi.

"Ssst. Katanya bangunan ini mampu ngilangin sekat? Saya lagi berusaha sehangat rumah kotak nih."

Widi tertawa melihat Erlangga mau membawa baki teh menuju tepi danau.

*****

Erlangga dan Widi kembali duduk berhadapan di tepi danau sambil menikmati teh dan cemilan.

"Udah punya pacar, Wid?"

"Hah?"

"Udah punya pacar?" ulang Erlangga lebih keras.

"Pertanyaannya kenapa jadi pribadi gini?" tanya Widi.

"Jawab aja sih."

"Ih, enggak sopan kali pertanyaannya."

"Justru karena aku sopan. Aku kan ngajak kamu ngobrol malam-malam. Kalo ditunggu suami atau pacarnya gimana? Ternyata setelah keluar rumah kotak, obrolan kita jadi ada sekat lagi."

"Saya enggak pernah pacaran, tapi pernah dilamar."

"Oh, udah mau merit. Kapan rencananya?"

"Orangnya udah bertahun-tahun hilang setelah ngelamar."

"Hilang? Ada fotonya enggak, Wid? Mungkin, aku bisa bantu cari."

Widi memandangi wajah Erlangga. Sampai detik ini, aku masih sulit ngebedain kamu sama dia. Makanya jadi kebablasan gini.

"Malah ngeliatin?"

"Dia aja enggak nyari, ngapain aku nyari?"

"Setuju! Menurut kamu, kalo aku ngajak kamu pacaran, gimana?" tanya Erlangga dengan wajah santai.

"Ini sih bukan tanpa sekat, tapi ngaco."

Erlangga tertawa. "Orang nanya kok dibilang ngaco sih? Oke! Anggap aja itu tawaran jangka panjang. Tapi aku punya tawaran menarik yang enggak boleh kamu tolak."

"Naik gaji, ya?" canda Widi.

"Otomatis. Bahkan kamu dapat jatah mobil, supir dan semua hal yang dikasih perusahaan untuk Desmond. Kamu gantiin dia."

Widi merasa aneh. "Tunggu, tunggu! Ini enggak ada hubungannya sama tawaran sebelumnya?"

"Ge-er banget sih. Kalo kamu pake jaket norak itu lagi, tawaran jangka panjang itu bakal aku kaji ulang, kok."

"Ternyata bapak ini enggak segalak seperti rumor yang beredar, lebih tepatnya ngeselin," ledek Widi.

Erlangga tertawa. "Ya udah. Biar enggak dikira becanda, sekarang aku jadi bos kamu lagi ya. Intinya aku manggil kamu ke sini, karena mau ngasih kamu tanggung jawab baru. Semua yang saya kasih malam ini adalah tanda terima kasih atas effort kamu selama ini. Saya sudah suruh Jajat taro kunci mobil kantor di meja kamu, nanti kamu boleh bawa pulang mobil paling baru yang ada di parkiran."

Widi terkejut. "Oh beneran? Alhamdulillah, terimakasih Pak Erlangga."

"Sama-sama Wid. O, Iya. Tolong tatap masa depan, buanglah benda-benda butut yang selalu menyertai hidupmu."

Widi tertawa.

"Heh, jangan ketawa! Sekarang aku lagi jadi bos kamu. Oke, selamat untuk jabatan baru kamu. Wid, aku seneng ngobrol sama kamu, jadi saya minya di luar urusan kantor, kita tetap bisa jadi teman yang tanpa sekat, ya."

"Insya Allah, Pak."

Erlangga berdiri, ia menyodorkan tangan, Widi berdiri, mereka bersalaman.

*****